Ada rindu yang aku hirup
dalam petang teramat redup
bercampur rasa takut
beraduk sejuta kalut
*****
"Ya udah, ngapain lo di sini? Pulang aja. Kan gue yang pengen makan mie. Udah deh, jangan ribet. Besok kita kontakan lagi ya. Bye. My second love." Lady membisikkan kalimat terakhir dengan lembut di telinga Broto. Ia berlalu sembari melambaikan tangan.
Broto melihat kepergian wanita itu dengan sedikit heran. Lady seolah tak memiliki beban sedikitpun tentang semua ini. Dia menjalani seolah normal-normal saja dan memang tidak ada apa-apa.
Pria itu tidak tahu bahwa banyak hal berkecamuk dalam diri Lady. Hanya saja dia sangat pandai menutupi dan mengendalikan.
Kalau dia bisa, gue juga pasti bisa, batin Broto.
Broto berbalik arah menuju mobilnya, dan melaju dengan kecepatan tinggi, agar Ningrum tidak terlalu lama menunggu. Hampir satu jam perjalanan, sedan BMW putih tiba di garasi.
"Loh, kok cepet banget." Ningrum memandang heran.
"Nggak jadi makan. Kasihan kamu nunggu. Yuk, aku udah lapar." Broto menuju meja makan.
Ningrum tersenyum. Dia sumringah, suaminya merelakan keinginan untuk makan mie dan lebih memilih untuk makan malam bersama istri.
"Mas nggak ganti baju dulu?" Ningrum memijat pelan leher Broto yang sedang duduk di ruang makan.
"Makan, mandi, terus aku mau tidur. Capek banget."
"Ya sudah, aku ambilkan nasi dulu ya, Mas." Ningrum memang melihat wajah suaminya seperti kelelahan.
Kasihan, seharian pasti banyak pasien, batinnya.
"Aku belum makan dari siang. Pasien penuh. Semua minta ditangani karena darurat." Broto menggerutu, entah ditujukan pada siapa.
"Ya ampun. Bisa kali disempetin sebentar makan, Mas. Nggak baik kalau kayak gitu terus," tutur Ningrum.
Broto diam saja tidak mau membahas lebih lanjut. Dilihatnya Ningrum dengan telaten menyiapkan semua.
Maafkan aku, Ningrum. Kamu jatuh cinta pada hati yang salah.
Disantapnya dengan lahap makanan di piring. Bahkan sampai harus nambah satu piring lagi. Ningrum dengan girang hati melayani Broto.
"Pelan-pelan, Mas." Ningrum tersenyum melihat gaya makan Broto seperti orang sudah beberapa hari belum ketemu sama makanan.
Broto tak mampu menjawab karena mulutnya tak ada henti mengunyah makanan. Dia hanya sekejap mengacungkan ibu jarinya ke arah Ningrum.
Sikap sederhana seperti itu saja sudah mampu membuat hati Ningrum membuncah bahagia. Memang berbeda kalau menghadapi orang terkasih. Perhatian kecil, bahkan isyarat teramat singkat pun bagai setangkup bunga disodorkan dengan mesra.
Tuhan, jangan ambil kemesraan ini. Lindungi selalu keluarga kami, ucap Ningrum dalam hati.
"Ah, lega. Kenyang banget!" Broto setengah berteriak sambil mengusap ujung bibirnya dengan punggung tangan. "Suer, masakanmu enak banget, Ningrum."
"Mungkin Mas lagi kelaparan, jadi berasa lebih enak. Biasanya juga nggak pernah memuji masakanku," jawab Ningrum.
Ya memang, selama ini belum pernah sekalipun Broto memuji masakan Ningrum. Dia makan dengan tenang, selesai ya sudah. Tak pernah ada komentar, apalagi ekspresi puas seperti hari ini.
"Sori. Mungkin selama ini nggak terlalu perhatian. Makasih ya, Ningrum." Broto tersenyum.
"Sama-sama, Mas. Kan memang sudah tugasku juga sebagai istri. Mas mau mandi sekarang? Atau mau dimandiin?" pancing Ningrum.
Broto paham, itu isyarat untuknya. Sudah lama mereka tak berbagi kasih. Sejak menjelang kelahiran anak mereka, hingga sekarang si kecil sudah mulai belajar jalan.
"Aku capek, Ningrum. Mau tidur." Broto bangkit dari kursinya dan melenggang menuju kamar mandi.
Ningrum memandang punggung suaminya dengan sedih. Sudah resiko menjadi seorang dokter, pulang dalam keadaan lelah, apalagi mereka berdua berprofesi sama. Seringkali keduanya hanya bisa saling menyapa sesaat untuk kemudian jatuh terlelap.
Momen berdua seperti malam ini sangat langka untuk bisa terjadi. Karena itu Ningrum ingin memanfaatkan kesempatan untuk bisa memeluk mesra suaminya. Tapi harapan hanya sebatas impian. Broto terlihat sangat lelah, bahkan seharian sibuk sampai tidak sempat makan. Mana mungkin ia memaksa untuk bercinta?
Tak terasa air mata meleleh di pipi Ningrum sembari ia mencuci piring dan peralatan makan lainnya. Broto sedang bersiul di kamar mandi. Seperti pria muda yang sedang jatuh cinta.
"Ningrum, tolong ambilin handukku!" Suara Broto berteriak dari kamar mandi.
Wanita itu buru-buru meletakkan piring yang sedang dicuci. Membasuh tangan sesaat lalu bergegas mengambil handuk.
"Ningrum, handukku mana!" teriak Broto lagi.
"Sabar dong, Mas. Nanti dedek bangun denger Mas teriak," omel Ningrum melihat kepala Broto melongok dari balik pintu. "Nih."
Broto kembali menutup pintu dan bersiul.
Tumben bersiul terus, batin Ningrum heran.
Sementara Ningrum menyelesaikan pekerjaan di dapur, Broto segera mengganti baju tidur dan masuk ke dalam selimut hangatnya.
Gue tidur dulu ya. Love you. Jangan dibalas.
Broto mengirimkan pesan pada Lady dan segera dihapusnya percakapan itu agar Ningrum tidak tahu.
Istrinya memang tidak pernah membuka telepon Broto, tapi tidak ada salahnya berjaga-jaga.
Pria itu masih tersenyum mengingat apa yang telah terjadi hari ini. Hari paling membahagiakan dalam hidupnya.
Ningrum menyusul ke kamar tidur setelah menyelesaikan semua tugas rumah. Dilihatnya pria itu sudah tertidur pulas. Seutas senyum tersungging di bibir suami tercinta.
Deg!
Ningrum terperanjat. Ada sebuah warna yang tak biasa di belakang telinga Broto. Lebam kecil berbentuk elips. Karena lampu kamar belum dimatikan, ia bisa melihat dengan jelas tanda itu.
Dengan tangan gemetar, Ningrum memotret tanda itu dengan kamera di telepon genggamnya. Entah untuk apa, ia sendiri juga tidak tahu.
Rasa cemburu tumbuh dengan cepat, menjalar hingga ke seluruh dinding hati. Menutupi semua akal sehat, dan akar-akarnya mencengkeram dengan kuat, hadirkan rasa perih yang menggigit.
Apakah dia berselingkuh? Dengan siapa?
Butiran air bening tak kuasa dia tahan untuk bergulir dari mata. Sesakit ini rasanya dikhianati.
Lady tersenyum membaca pesan singkat dari Broto. Hal yang sama ia lakukan, menghapus percakapan.
Sepertinya harus punya satu handphone rahasia. Besok gue beli dua, sekalian buat Broto, pikir Lady.
Lady sudah selesai makan dan sedang menuju tempatnya tinggal. Rumah yang terlihat sangat lengang seolah tak berpenghuni. Damai, ya. Tapi terlalu sepi. Akan segera ramai, setelah mereka memiliki dua anak lucu dan ceria.
Lady tersenyum membayangkan dua bocah cilik akan berlarian ke sana kemari di rumah mereka. Tempat ini tak akan lagi sunyi.
Rumah akan segera menjadi tempat penuh rindu, yang senantiasa memanggil mereka untuk segera hadir. Istana yang akan menahan mereka dengan kehadiran pangeran tampan dan putri yang cantik. Keluarga memang tak lengkap tanpa hadirnya sosok anak.
Dia menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Melihat sekeliling, sibuk membayangkan tahun depan, akan ada dua makhluk mungil penghuni baru di sini. Hal yang sudah ia idam-idamkan sedari tiga tahun lalu ketika menikah dengan Kala.
Lady merasakan penat di tubuh. Karena itu ia memutuskan untuk mandi sebentar dan segera tidur. Toh suaminya pasti akan pulang larut malam.
"Non, mau disiapin makan malam?" Bik Maneh tahu-tahu sudah ada di dekatnya.
"Nggak usah, Bik. Saya sudah makan. Bibik tidur aja. Kala pasti pulang malam lagi," jawab Lady sambil bangkit menuju kamar tidurnya.
"Siap, Non. Bik Maneh tidur ya, Non. Selamat malam, Non Lady. Semoga mimpi indah." Pembantu itu ngotot berteriak walaupun Lady sudah tidak berminat mendengar apapun. Sosok pembantu pantang menyerah walau tidak dipedulikan majikannya.