18/5/22
Happy Reading
***
Selasa mendengar alarm yang berbunyi lumayan kencang. Matanya berkedip-kedip bingung saat melihat keremangan cahaya yang sangat asing menembus retina matanya. Walau remang-remang, ia berusaha untuk bangun dari tidurnya yang lelap.
"Dimana aku? Kenapa aku bisa ada disini?" Selasa mencoba memperhatikan keadaan sekitar tapi …
"Ohh, kau sudah bangung, Sel?"
Selasa dengan sedikit kepanikannya, mundur-mundir kebelakang hingga punggungnya menempel pada dinding.
"Ada apa?" tanya Rabu, yang sama sekali tidak mendengar suara Selasa tapi dalam keremangan cahaya ini, ia bisa mendengar suara krasak-krusuk disana.
"Si-siapa?" tanya Selasa dengan polosnya.
"Asatagaaa!" Rabu menghembuskan napasnya. Ia menyalakan lampu dan ... taraaaa, benar saja, ternyata Selasa ada dipojokkan ruang dengan muka panik.
"Ini aku, Rabu!" seru Rabu, ia meletakkan sebuah paper bag di samping kasur lipat.
Selasa langsung menghembuskan napas leganya. Ia baru sadar jika tempat ini adalah kamar Rabu. "Huftt, jangan mengaggetkanku bisa?"
"Justru aku buru-buru masuk untuk mematikan alarm hpku."
"Heuh?" Selasa mendongak, melihat Rabu yang sedang membuang ponselnya ke arah kasur. "Kau baru darimana?" tanyanya.
"Mencari udara segar sebentar," jawab Rabu sambil berjalan kearah balkon.
"Memang jam berapa sekarang?"
"Masih sangat pagi. Maaf alarmnya membuatmu terkejut."
"Tidak masalah," kata Selasa.
"O-iya …." Selasa jadi teringat akan sesuatu. Semalam Rabu mengatakan akan bekerja menyelesaikan lukisan-lukisan itu. "Kau semalam tidur tidak?"
Rabu membalik badannya. Ia bersandar pada pagar balkon. Di tangan kanannya ada botol berisi air minum yang diambilnya dibawah tadi.
"Tidur," jawab Rabu dengan santainya.
"Mana ada," ucap Selasa tidak percaya. "Bohong," katanya lagi sambil mendengus. Ia bisa melihat mata Rabu yang sayu, celemek yang digunakannya pun masih ada cat basahnya dan lihatlah wajah Rabu juga masih ada catnya.
"Tidurmu nyenyak?"
Selasa mengangguk. "Terima kasih untuk tumpangannya."
"Hahah, kalau seperti ini kau terlihat menggemaskan, Sel."
"Jangan bercanda, ya?!" Selasa mengerucutkan bibirnya. Ia tahu Rabu tidak akan benar-benar memujinya seperti itu. Apalagi ini masih sangat pagi. "O-iya, kenapa kau menyalakan alarm sepagi ini? Kau biasa memasang alarm seperti ini?"
"Ahh, itu ..." Rabu berbalik badan lagi. Ia menatap ke langit yang tiba-tiba saja mendung. Pikirnya, pagi ini cahaya jingga itu tidak akan tertutup awan mendung seperti ini. "Aku lupa mengaturnya lagi. Aku pikir, aku akan tidur nyenyak malam ini. Tapi ... kau bisa lihat sendiri, ternyata malamku hanya bisa digunakan untuk menyelesaikan tiga lukisan menyebalkan itu." Rabu tertawa samar. "Kau tahu tidak? Menurut BMKG jika pagi ini tidak mendung, bintang kejora akan terlihat lebih jelas pagi ini."
"Ouhhh, kau suka lihat matahari pagi?"
"Bukan matahari tapi bintangnya, Selasa."
"Heuh? Bintang?"
Rabu mengangguk. "Iya, biasanya ada disana," ucapnya sambil menunjuk ke arah timur. "Dekat dengan matahari."
"Hah? Apa sih maksudnya?" batin Selasa, dahinya sampai berkerut-kerut bingung.
"Kau sering melakukan ini?" tanya Selasa penasaran. "Ah, maksudku sengaja memperhatikan ramalan cuaca untuk melihat bintang?"
Rabu mengangguk. "Biasanya sih tidak, tapi hari ini ..." Rabu memghembusakn napas kecewanya.
"Ada apa, sih?" Selasa mulai gemas.
"Hah, sudahlah. Dijelaskan pun kau tidak akan mengerti," kata Rabu yang melihat sekali lagi langit yang ditutupi mendung. Dari banyaknya hari, kenapa harus hari ini yang mendung?
"Huh, dasar menyebalkan," kata Selasa.
"O-iya." Rabu berjalan ke arah Selasa, lalu duduk di depannya. "Hari ini kau mau istirahat dirumah saja atau ada rencana kemana-mana? Atau ada rencana kembali ke rumahmu?"
"Kosong, gelap, kau tahuu … ingin rasanya aku memukulmu ...." Selasa mendengus. Ia menatap bola mata Rabu dengan kesal. "Boleh minta minumnya?"
Rabu tertawa gemas, melihat bibir Selasa yang mengerucut gemas itu.
"Ada apa?" Selasa meraih botol itu dan meminum sisanya hingga habis. "Lucu? Lucu, hah?"
Rabu mengangguk. "Hari ini aku tidak akan ke AP."
"Lalu?"
"Mau berbelanja kebutuhanmu tidak?"
Selasa mengangguk dengan semangat.
"Memangnya kau mau tinggal bersamaku sampai kapan, heh?" Rabu dengan gemas menyentil dahi Selasa.
"Sakit!!" pekiknya dengan suara lirih.
"Hahah, kenapa saat wajahmu kesal seperti ini terlihat sangat menggemaskan, ya, Sel?"
"Diamlah!" sentak Selasa. "Secepatnya aku akan pergi dari sini."
"Oke, sebelum kau pergi …." Rabu sengaja menggantung ucapannya. Ia terkekeh melihat wajah Selasa yang mudah sekali digoda seperti itu. "Maksudku sebelum membeli kebutuhanmu … aku harus menemui seseorang terlebih dulu. Tidak masalah?"
"Siapa?"
"Salah satu pemilik Galeri Lukis terbesar di kota ini."
"Pelukis juga?"
Rabu mengangguk.
"Siapa?"
"Kak Kamis."
"Hah?"
"Tahu orangnya?"
Selasa mengangguk. "Seingatku aku pernah bertemu dengannya di …." Dengan cepat Selasa langsung menggeleng. "Aku pernah melihatnya di tv."
"Ohh."
Ohh?
Rabu menghela napas panjang. "Oke, nanti kita kesana."
"Bohong."
"Lho, kok, bohong?" Dahi Rabu mengernyit dalam.
"Pasti kau mau membawaku ke kantor polisi sesuai dengan apa yang kau rencana kemarin, kan?"
"Ahh, jika itu maumu aku bisa melakukannya sekarang. Bagaimana?"
"Huh." Selasa cemberut, namun kepalanya menggeleng tidak mau.
"Oke, kalau begitu." Rabu merebahkan tubuhnya yang lelah di samping Selasa. "Bangunkan aku jam 10, ok."
"Eh?"
"Kau belum lapar, kan?"
"Belum."
"Biasanya sarapan jam berapa."
"Tergantung situasinya."
"Ohh." Rabu mulai memejamkan matanya. "Disana ada roti tawar dan selai coklat. Aku baru membelinya tadi," kata Rabu menunjuk paper bag yang ada di samping kasur lipat Selasa.
"Terus?"
"Kalau lapar makan itu dulu, baru setelah itu kita makan berat." Rabu merenggangkan tangannya ke samping. "Aku tidur dulu, kalau misal ada yang memanggilku. Diamkan saja. Itu Kak Langit, atau semisal ada yang mencariku terutama seorang wanita, bilang saja aku sedang tidur atau sudah mati, kalau ada yang tanya kau siapanya aku ... eum, katakan saja kau orang gila yang kupungut di pinggir jalan ..."
Bla ... bla ... bla ...
Selasa mendengus kemudian mengangguk, mendengus lagi kemudian mengangguk lagi. Suara Rabu lama-lama memelan, lama-lama hanya terdengar seperti suara gemerisik angin dan lama-lama menghilang.
Selasa pun jadi memperhatikan wajah Rabu yang terlihat lelah. Ia teringat akan sesuatu ...
"Ehh, tidak tidur diatas kasur?"
Tidak ada jawaban.
Ok?
"Apa yang harus aku lakukan di tempat seperti ini?" gumam Selasa memperhatikan sekitaran kamar Rabu yang mulai sepi. Di dekat balkon dan dibalik pintu kaca geser terlihat beberapa lukisan Rabu yang sedang dihadapkan ke arah matahari padahal langitnya masih mendung. Tapi, siapa tahu nanti jadi cerah dan lukisan catnya cepat kering.
Hem ...
Selasa mencoba menekuk kakinya, ia meletakan tangannya di lutut, dan menopangkan dagunya disana. Matanya berkedip memperhatikan Rabu lagi yang sudah terlelap dalam tidurnya.
"Kau ini bisa tidur dalam keadaan berantakan seperti ini, Rabu," gumam Selasa saat melihat celemek Rabu yang penuh cat warna warni belum dilepas. "Lihatlah wajahmu yang kotor itu. Dasar! Kau selalu menyebutku kotor tapi kau lihatlah ... kau mirip seperti gembel." Selasa menyoraki Rabu dalam keheningan. "Tapi kalau kau tidur jadi sepi. Hah, kapan kau bangaun, hem? Kau minta dibangunkan jam 10, iya? Padahal sekarang masih jam 6 pagi, lalu apa yang harus kulakukan, hem? Apa coba? Mau tidur pun aku tak akan bisa tidur lagi. Mau sarapan, ini masih terlalu pagi untukku."
Masih dalam gerutuan khas Selasa, ponsel Rabu kembali berdering, kali ini bukan suara alarm tapi … Selasa melihat ponsel Rabu yang kelap-kelip dan ia berusaha untuk mengambil ponsel yang berada di sebarang tubuh Rabu.
Deg?!
Selasa benar-benar terkejut saat melihat nama si penelpon dan disana ada foto profil seseorang yang sangat dikenalnya.
Eh, ini?
"Jum'at, iya?"
Selasa melihat Rabu lalu sekali lagi membaca nama si penelpon itu dan sekali lagi memperhatikan foto profilnya. "Siapa tahu aku salah lihat," batin Selasa. Tidak salah. Ini Jum'at Paling Cantik.
"Ada hubungan apa antara kau dan Jum'at, Rabu?"
***
Salam
Busa Lin