webnovel

3. Kantin

"Eh setan! Tega bener lo sama gue!" kesal Edgar tiba-tiba.

Suaranya yang cukup keras mengejutkan murid-murid di sekitar. Beberapa melirik penuh selidik, berharap bisa mengetahui apa yang terjadi.

Oscar yang baru datang bersama Ben karena mereka sekelas pun hanya cengengesan. Tak salah lagi umpatan barusan diarahkan padanya.

"Jangan senyum-senyum bego! Gue colok juga mata lo!" Alen menariknya dan langsung mengunci leher ketua OSIS itu.

"Aish! Cepat lepasin gue tuyul! Bisa-bisa leher gue kebas gara-gara lo!" Oscar meronta sambil menyikut perut temannya.

Dan hal itu sontak membuat Alen merintih pelan lalu melepaskan kuncian. "Anjir! Sakit bangsat! Gak bisa banget lo diajak bercanda," jitaknya ke kepala Oscar tapi dibalas cengiran.

"Salah sendiri gue dilawan," sosok berkacamata itu malah tersenyum senang.

Mengundang rasa sebal di diri orang-orang yang jengkel padanya. Sungguh beberapa di antara mereka ingin menggigit Oscar dan meludahi wajah soft boy sialannya.

Ben yang menyaksikan itu pun menggelengkan kepala. "Tapi lo emang tega sih, heran gue."

"Kek baru kenal sama gue aja," Oscar terkekeh pelan.

"Sialan bener lo! Kok bisa ya lintah darat kek lo jadi Ketos lagi? Gak cocok banget tahu gak!" Edgar sepertinya masih tak terima dengan hukuman yang sudah dijalaninya.

Lagi pula siapa yang senang disuruh membersihkan toilet jika sosoknya punya koneksi untuk menolak?

Bagaimanapun juga Oscar itu teman sekaligus anggota geng mereka. Tapi nyatanya ikatan semacam persahabatan tak bisa melunakkan hati ketua OSIS dalam memberikan hukuman.

"Emangnya gue peduli! Gue gitu lho! Oscar ganteng bin sopan dan tampan!" pujinya sambil mengembang kempiskan lubang hidung.

"Anjir! Jelek banget!" Alen malah tertawa dengan tangan menunjuk wajah rekannya itu.

Bahkan hal tersebut berhasil mengalihkan atensi semua murid perempuan di kantin untuk memandangi mereka.

Ada yang terlihat kagum, melebarkan senyuman tak jelas, ataupun diam-diam memfoto untuk dijadikan bahan cuci mata.

Sungguh mereka sangat terpukau dengan ketampanan juga pesona milik anggota geng Vayrez yang tersohor di SMA Astoris Panama. Tapi sayang tak satu pun dari para perempuan itu berani mendekati meja sang idola. Mengingat ocehan Edgar akan langsung menusuk lubang telinga juga memerahkan muka saking pedasnya.

"Diem bego! Kek lo ganteng aja!" Oscar yang kesal pun memukul punggung temannya agak keras.

"Anjir!" pekik Alen kesakitan.

"Hai! Hai! Hai! Udah di sini aja nih!" Gabriella muncul tiba-tiba dan duduk di sebelah Ben begitu saja. Bahkan tangannya tidak segan-segan merangkul lengan sahabatnya itu.

Tentunya menimbulkan rasa cemburu untuk penggemar keduanya. Apalagi Ben Emanuel Alkarki sangat menawan juga diidolakan. Gelarnya sebagai ketua geng Vayrez ditambah ketampanannya semakin memperbanyak umpatan serta lirikan sinis yang diterima Gabriella.

Dan untung saja fakta kalau Ben telah memiliki tunangan hanya diketahui teman-temannya. Karena kalau tidak sikap Gabriella itu akan membuat dirinya mendapat julukan sahabat jalang sekaligus perebut tunangan orang.

"Idiih ... udah nongol aja nih si nenek lampir," cibir Edgar.

"Apa lo bilang!"

"Nenek lampir."

"Wuih! Bahaya nih! Hajar, El! Hajar aja si Ed! Rontokin rambut ama giginya sekalian! Gue dukung!" Oscar malah mengompori.

"Lo—" Ben pun menahan tangan Gabriella yang hampir mencakar wajah temannya. "Apaan sih, Ben! Lo belain dia!"

"Ya gak lah, El. Gue itu cuma gak mau aja lo tetanus gara-gara dia." Ia malah tertawa keras di akhir kata. Seolah-olah ucapan barusan sangat lucu baginya.

"Anjir bos! Lo kira gue apaan!" Edgar pura-pura syok mendengar ucapan sang ketua.

Tapi Alen malah ikut mengocehkan keluhan. "Emang nih, ketua laknut. Katanya perhatian dan penuh kasih sayang, gue pinjam topi aja lo nolak. Tipu-tipu!"

Ben menghela napas pelan karenanya. "Ya kali gue pinjamin lo topi. Terus gue gimana? Dihukum nih bocah? Ogah gue!" semburnya dengan tatapan melirik Oscar. Sosok berkacamata itu malah terkekeh mendengarnya.

"Pelit lo! Dihukum aja gak mau! Ketua gak bertanggung jawab lo! Sesak dada gue, Ed! Sesak! Cium gue dong, El!"

"Anjir! Makin ngaco aja nih bocah!" Ellio yang baru datang langsung menimpali. Di tangannya dan Roma, ada nampan berisi sajian kantin untuk mereka juga teman-temannya. Begitu pula Kaia yang membawakan delapan teh botol.

Sudah menjadi kebiasaan sejak kelas 1 SMA, kalau ketiganya bertugas sebagai pemesan makanan dan minuman, mengingat yang lainnya sangat-sangat tidak bisa diandalkan.

Terkadang jika kantin tak begitu ramai, petugas bisa cepat mengantarkan hidangan ke meja. Tapi akhir-akhir ini ketiganya lebih suka langsung turun tangan untuk membawanya. Jika membiarkan yang lain melakukan bisa-bisa malah terjadi kehebohan. Apalagi Edgar, Oscar, ataupun Gabriella, tipe bersumbu pendek dan pengundang masalah.  

"Eh babu, lama bener lo," Oscar pun menepuk-nepuk pelan lengan temannya. Memamerkan cengiran tanpa dosa sehingga kaum hawa di meja tetangga tergoda.

"Sialan lo! Mau gue siram, nih!" ucap Ellio mengarahkan nampan ke kepala ketua OSIS.

"Hati-hati bego! Kalau kena wajah gue gimana? Bisa-bisa rusak kegantengan gue! Lo mau tanggung jawab!"

Sungguh ia terlalu percaya diri. Walau nyatanya fans Oscar di sekolah cukup mengerikan jumlahnya. Dan rata-rata di dominasi adik kelas mereka. 

"Bacot!" potong Roma tiba-tiba yang sudah duduk dan makan duluan.

"Njir! Pedes bener mulut lo jangkung!"

Edgar dengan wajah tak berdosa ikut menimpali Ellio. "Iya tuh! Udah kek tiang, jelek, hidup lagi!"

"Gue suka gaya lo," ketua OSIS pun tertawa diiringi teman-temannya. Memang sangat menyenangkan bagi mereka untuk menistakan Roma.

Hanya dirinya, apalagi cuma remaja itu satu-satunya yang tidak tertawa jika ada lelucon di antara mereka.

Sehingga Roma langsung mengangkat wajah dan membuat semuanya mendadak tutup mulut begitu saja. Seperti itulah kekuatannya, bukan cuma bermodalkan tinggi, tapi tatapan elang mengantuk miliknya berhasil membungkam bacotan mereka.

"Sialan, muka lo bikin kita kicep tau gak!" Gabriella mengambil bakso yang dibawakan Ellio. Tentunya ia bermaksud untuk mencairkan suasana. Berharap kalau Roma benar-benar tidak marah kepada mereka.

"Udah-udah. Makan! Makan!" Ben pun menengahi semuanya agar tidak mengoceh lagi. Walaupun menjabat sebagai ketua dirinya juga enggan disemprot Roma.

Mengingat muka dingin temannya cukup membuat jantung tidak nyaman. Padahal Roma tidak pernah memarahi mereka, walau dinistakan seperti apa pun hanya tatapan elangnya yang bersuara.

Selesainya Kaia pergi duluan untuk ke toilet. Dia bersama dengan Oscar, sebab anak itu akan ke ruangan OSIS yang searah lorongnya.

"Eh, Kai. Nanti lo pulang sama siapa?"

"Ella."

"Gak bareng gue aja? Si El kan sama Ben."

"Motor kamu bikin aku gak nyaman, Os. Sakit pinggang," keluh Kaia yang mengundang tawa.

"Bisa aja lo. Kalo pake sepeda mau gak."

"Boleh. Kenapa gak jalan aja sekalian? Biar bisa gosong bareng sampe rumah."

"So sweet," Oscar pun menyengir yang memamerkan senyum manisnya.

"Woi, Os!" panggil seseorang tiba-tiba dan mengalihkan perhatian mereka.

Tampak oleh keduanya, senior David yang digantikan Oscar sebagai ketua OSIS melambaikan tangan. Sontak dielusnya kepala Kaia sebelum pergi meninggalkannya. "Gue ke sana dulu ya."

Gadis itu mengangguk sebagai balasan. Dan berlalu menuju toilet yang lengang. Tujuannya hanya ingin mencuci tangan juga bercermin untuk memerhatikan sesuatu yang masuk ke mata.

Tapi tiba-tiba pintu terbuka dengan kasarnya dan memamerkan tiga siswi cewek di sana. Perlahan mereka masuk sambil salah satu langsung mengunci pintu. Tentunya Kaia agak terkejut namun hanya diam menyaksikan.

Bertanya-tanya apakah akan ada kekerasan yang di dapatkan? Sebab fenomena ini mengingatkan dirinya pada masa lalu.

Sebuah insiden pembullyan ketika masih kelas 1. Di mana Kaia yang tak salah apa-apa, justru harus dihajar oleh kakak kelasnya karena telah berani menjadi teman perempuan anak-anak geng Vayrez idola mereka.