Hari demi hari telah berlalu, Felica yang kini dijaga ketat oleh keempat bodyguardnya tidak lagi bisa bermain dengan kedua temannya. Kemanapun gadis itu pergi selalu saja ada yang menemani.
Meski begitu, Felica masih tetap bisa berbincang dengan kedua temannya itu melalui ponsel miliknya. Acara kencan dengan Jimmy pun tidak pernah terjadi, ini semua berkat Alucard yang selalu berada di sisi Felica.
Rasa kesal mulai timbul dalam hatinya karena kini ia bagai hidup di penjara, atau kali ini ia merasakan bahwa hidupnya memang terpenjara?
Tidak terasa waktu terus bergulir dengan berbagai kejadian di mana selalu di antara keempat bodyguardnya selalu terluka. Semakin hari gadis itu mengerti jika hidupnya selalu di ambang batas kematian. Siapa dirinya hingga selalu diincar? Siapa dirinya hingga selalu menjadi target pembunuhan?
Pertanyaan-pertanyaan kecil mulai memenuhi kepala cantiknya, bertanya pada mereka pun tidak ada yang menjawab dengan benar. Mereka selalu menutupi, menutupi apa yang harusnya mereka tidak tutupi. Dengan akhirnya satu tindakan membuat badai di keluarga Roulette.
"Felica," panggil Ace yang bertemu putrinya di ruang keluarga.
"Ada apa, Papa?" jawab gadis bersurai merah itu.
"Hanya menghitung hari saja kau akan lulus sekolah, apa kau ingin memasuki perguruan tinggi?" tanya Ace menghampiri putrinya dan menghempaskan dirinya ke sofa sebelah Felica.
"Tidak, aku tidak tertarik," jawab Felica datar membuat Ace mengangkat satu alisnya.
"Tidak biasanya kau tidak tertarik seperti itu, Felica," ujar Ace.
"Jika aku terus berada di luar, mereka akan terus terluka karenaku," jawab Felica tanpa menoleh ke arah Ace.
"Kau mengkhawatirkan mereka berempat?" tanya Ace membuat Felica menoleh.
"Papa, mengapa mereka mengincarku?" Pertanyaan Felica membuat Ace terdiam membisu.
Entah apa ia harus mengatakannya atau berbohong untuk yang kesekian kali pada putrinya. Ace mengembuskan napasnya lembut dan kembali menatap manik putrinya.
"Karena Papa orang penting yang memiliki banyak musuh, Papa hanya bisa mewariskan semuanya padamu, Felica. Karena itu mereka mengincarmu, maafkan Papa," jawab Ace membuat Felica kini mengerti.
"Mengapa Papa tidak seperti orang biasa? Kita bisa hidup tentram jika Papa hanyalah manusia biasa tanpa ada pangkat atau jabatan yang membahayakan hidup Papa," ujar Felica membuat Ace terdiam kembali.
Sejenak Ace terdiam kemudian ia kembali bersuara. "Jika Papa orang biasa, kau tidak akan bertemu mereka berempat," jawab Ace yang langsung bangkit dan meninggalkan Felica sendirian.
Felica pun kini terlihat tampak berpikir, memang benar apa yang dikatakan Ace. Felica pun tidak dapat memungkirinya, ia tidak akan pernah bertemu keempat lelaki itu. Terdengar suara ponsel membuyarkan lamunan gadis itu, dibukanya ponsel miliknya dan menampilkan nama yang cukup ia kenal.
"Ada apa, Jimmy?" jawab Felica.
"Apa kau ada waktu hari ini?" jawab suara seorang lelaki di seberang telepon.
"Ya, keempat orang itu juga sedang tidak ada di mansion. Ada apa?" tanya Felica sambil memainkan surai merahnya.
"Apa kau bersedia berkencan denganku hari ini?"
"Kencan?"
"Ya, mungkin ini adalah yang pertama dan untuk yang terakhir kalinya kita bisa berkencan," jawab Jimmy terdengar lembut.
"Baiklah, aku akan mencoba sebisa mungkin untuk pergi tanpa mereka ketahui," jawab Felica sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
"Dua jam lagi, aku akan menunggumu di Observatorium Griffith. Aku tidak bisa menjemputmu, keempat bodyguardmu pasti akan menemukanku dengan cepat," ajak Jimmy.
"Baiklah, sampai jumpa," jawab Felica lalu memutuskan sambungan telepon.
Sedikit bersyukur keempat bodyguardnya kini tengah pergi menjalankan tugas yang diberikan oleh Papa. Gadis bersurai merah itu kembali ke dalam kamar dan mempersiapkan segala yang ia butuhkan. Ponsel, dompet, dan juga sebuah tas kecil.
Felica melihat seluruh penjaga yang berjaga di luar dari balik jendela kamar, dan kabar baiknya adalah tidak terlalu ramai. Kamarnya yang berada di lantai dua tidak membuatnya takut akan ketinggian. Dibukanya jendela yang tidak berjauhan dengan pohon besar.
Hap
Gadis itu melompat ke pohon dengan mudahnya, Felica kembali berjalan santai hingga menemukan beberapa ular yang memang sengaja dilepas di sekitar kebun.
"Bisakah kalian membuat mereka sibuk?" bisik Felica pada beberapa ular yang terlihat olehnya.
Tidak menunggu lama ular itu pergi dari hadapan Felica, terlihat beberapa pengawal sedang berbincang dan mencoba menjauh dari ular-ular yang mendekati mereka.
"Anak baik," gumam Felica sambil berjalan mengendap-endap.
Hingga akhirnya ia berada di dinding pembatas halaman mansion dengan luar, gadis bersurai merah itu memanjat dengan lihainya dan melompat ke bawah dengan mudahnya. Gadis itu berlari melewati jalan yang memang khusus untuk memasuki kawasan mansion.
Hingga ia menemukan jalan raya yang menghubungkan dengan kota, tepat tidak jauh darinya berdiri sebuah mobil taksi melintas dan berhenti di hadapannya.
"Membutuhkan tumpangan, Nona?" tanya supir itu.
"Bisa antarkan aku ke Observatorium Griffith?" tanya Felica penuh harap.
"Jaraknya lumayan jauh, apa kau memiliki uang?" jawab supir itu.
"Apa ini cukup?" Gadis itu mengeluarkan sejumlah uang dari tas miliknya.
"Lebih dari cukup, silakan masuk," jawab supir itu dengan senyum lebar.
"Terima kasih," jawab Felica dan memasuki mobil taksi itu.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, sedikit ia mengkhawatirkan jika saat ini mereka berempat akan mencarinya. Akan tetapi, mungkin kali ini Alucard dan yang lainnya akan memakluminya.
Sesampainya di Observatorium Griffith, banyaknya orang membuat Felica sedikit khawatir. Rambut merahnya yang menarik perhatian orang, ia gulung dan menutupinya dengan topi yang ia bawa.
"Apa aku terlalu cepat?" gumam Felica sambil melihat sekitar.
"Sepertinya aku terlalu cepat," jawabnya sendiri dan saat ini baru saja memakan waktu satu setengah jam dari waktu perjanjian.
Gadis itu memilih untuk berkeliling di dalam, meski banyak para lelaki yang menatapnya penuh minat. Beberapa kali gadis itu itu memutar melihat-lihat pemandangan indah yang tersaji di sana. Hingga waktu pertemuannya sudah dekat, ia melihat seseorang yang ia tunggu.
"Apa aku terlambat?" tanya lelaki itu dengan raut wajah bersalah.
"Tidak, aku saja yang terlalu cepat. Bisa kita mulai? Aku tidak ingin mereka menangkapku saat bersama denganmu. Kau bisa saja dibunuh di tempat," jawab Felica membuat lelaki di hadapannya itu bergidik ngeri.
"Baiklah, ayo," jawab Jimmy pada akhirnya.
Jimmy dengan lembut menggenggam tangan kanan Felica, menarik perlahan hingga jalan mereka sejajar.
"Apa kau sudah melihat-lihat?" tanya Jimmy.
"Ya, beberapa," jawab Felica datar membuat Jimmy tertawa pelan.
"Seperti biasa saja, kau kaku sekali."
"Maaf, aku belum terbiasa denganmu," jawab Felica dengan polosnya.
"Hahaha, kau benar-benar lucu. Ayo, kita nikmati hari ini. Malam hari aku akan mengajakmu pergi ke suatu tempat," ujar Jimmy sambil menarik lembut tangan gadis itu.
Tidak membutuhkan waktu lama Jimmy dapat membuat Felica tertawa. Mereka bercanda, dan tertawa bersama. Bagai sepasang kekasih mereka tidak mengingat waktu yang sudah kunjung malam.
Tidak ada tanda-tanda jika keluarga Roulette akan bergerak, Felica pun merasa aman karena berada bersama Jimmy orang yang ia percaya. Bulan sudah mulai menampakkan wujudnya dan kini Jimmy mengajak Felica ke suatu tempat.
Sesampainya mereka terlihat sebuah bangunan megah dengan suara bising di dalamnya.
"Tempat apa ini?" tanya Felica pada Jimmy.
"Klub malam, kau sudah dewasa dan kau seharusnya sudah memasuki tempat ini," jawab Jimmy sambil terkekeh.
"Aku tidak suka suara bising seperti itu," jawab Felica acuh.
"Ayolah, hanya sebentar. Aku akan memperkenalkan dirimu pada temanku," ujar Jimmy sambil memohon.
"Baiklah, hanya sebentar," jawab Felica dengan syarat kecil.
"Tentu saja, ayo," jawab Jimmy yang langsung saja menarik tangan gadis mungil itu.
Mereka memasuki lorong gelap yang akhirnya memasuki sebuah ruangan yang sangat besar dengan lampu berwarna-warni dan suara lagu dengan dentuman yang cukup keras.
"Ayo." Jimmy kembali menarik tangan Felica melewati lautan manusia dengan berbagai pakaian minim.
Tak sedikit para lelaki pun menoleh ke arah Felica, hingga mereka berdua sampai di sebuah ruangan lain. Beberapa bodyguard terlihat berdiri di pinggir pintu dengan tegapnya.
"Aku Jimmy," ucap Jimmy sambil memberikan sebuah kartu kepada salah satu bodyguard itu.
"Silakan masuk," jawab bodyguard itu sambil membukakan pintu.
Mereka berdua masuk dan mendapati seorang pria dengan beberapa bodyguard di sebelahnya menatap Jimmy dan Felica penuh arti. Felica yang masih bersikap tenang hanya memiringkan wajahnya saat melihat siapa yang dimaksud teman oleh Jimmy.
"Selamat datang, Felica Gremory Roulette."
***