webnovel

Bagian Dua: REUNION

Aku bersama dengan Tian masuk ke sebuah kafe terbuka. Samantha tidak mengetahui kalau Tian juga datang. Kami bertemu dengannya dan posisi duduknya membelakangi jadi dia tidak bisa melihatku. "Hai, Sam. Udah lama gak ketemu." Sapa Tian dari belakang sambil menepuk punggungnya. Tatapannya tajam saat Sam melihatku dengan Tian.

"Seriously? Jadi, ini ide lo, Bri?" Kata Sam dengan ketus. "Gue gak ngerti, apa masalah lo sampe Sabrina ajak buat ketemu gue aja gak mau sedangkan lo selalu bilang sibuk dengan tugas-tugas tai lo itu!" Kata Tian menjelaskannya kesal. "Guys, ayo kita bicarain hal ini dengan tenang. Oke?" Aku mencoba menenangkan situasi. Kami bertiga kembali duduk, situasi awal benar-benar panas sekali. "Jadi, apa gue boleh lanjutin?" Mereka berdua mengangguk.

"Oke. Pertama, gue mau ngucapin banyak terima kasih sama kalian atas kerja sama buat mau ketemuan hari ini. Kedua, gue minta maaf sebelumnya sama lo, Sam kalo pertemuan kali ini bikin lo kesel. Gue ngerti betapa sulitnya hubungan kalian saat ini. Gue tuh sayang banget sama lo berdua. Gue sayang sama Sam sebagai pacar gue dan gue juga sayang sama lo, Tian, sahabat gue sejak pertama kali kita ketemu pas SMP. Gue tuh sedih kalo ngeliat lo berdua berantem kayak begini. Pusing tau gak kepala gue. Kalian ini orang-orang yang bikin hidup gue berwarna. Yang terpenting, bisa mengubah sudut pandang gue. Kalian tuh satu-satunya orang yang bisa terima gue apa adanya. Gue sayang banget sama kalian. Jadi, gue mohon, kalian jelasin apa masalahnya? Sekarang gue mau kalian cerita semuanya sama gue. Gue bakal sebisa mungkin kasih solusinya, karena biar gimana juga kalian tuh bestie gue. Kita menggila bareng-bareng. Kalo ada satu dari kita yang sedih, marah, atau seneng semuanya pasti ikutan ngerasa begitu." Kataku sambil meminum kopi Americano dingin yang kubeli tadi.

Tian mencoba menjawab namun Sam lebih dulu berbicara, "Oke, tapi pertama gue mau ngucapin makasih banyak buat Sabrina karena lo udah... Ya, seenggaknya, udah berusaha atur pertemuan ini sama Tian. Kedua, gak usah minta maaf. Karena harusnya gue yang atur pertemuan ini. Dan yang terakhir, gue mau minta maaf sama Tian karena beberapa hari atau mungkin minggu ini gue udah jauhin lo bahkan gak pernah bales pesan lo. Gue beneran menyesal dengan yang udah gue lakuin ke lo. Alasannya simpel aja karena gue cemburu."

Baik Tian dan aku kaget mendengar pengakuan Sam. Benar-benar di luar dugaan. Dia cemburu dengan Tian, sahabatku. Aku tidak habis pikir selama sebulan lebih ini, aku habiskan waktuku dengan Sam namun yang dia rasakan hanyalah cemburu.

"Bentar, kamu cemburu sama Tian? Bukannya kamu udah tau kalo aku sama Tian itu cuma sebatas sahabat aja? Bahkan kami berdua temenan sejak SMP. Aku 'kan juga udah cerita sama kamu. Apa ceritaku kurang jelas?"

Sam membalas perkataanku namun arah matanya tertuju ke Tian, "Gue tau kalo lo tuh suka juga sama Sabrina, 'kan?! Gue tau tatapan itu bukan tatapan seorang teman yang iba sama temannya karena dia dilanda masalah. Gue bisa tahu seseorang yang lagi jatuh cinta atau bukan. Gue merasa lo udah khianati gue ya, nyet!"

Baru saja Sam minta maaf dengan Tian namun sekarang dia menyerangnya dengan kalimat itu. Tian segera membalasnya, "Eh, jaga mulut lo, anjing! Lo tuh yang pantes disebut pengkhianat! Lo bahkan gak jujur sama gue kalo lo itu lesbi! Bangsat lo!" Sam segera berdiri dari kursinya dan bilang, "Kecilin suara lo, ngentot!" Tapi itu tak digubris oleh Tian, dia malah meneruskan, "Gue pikir persahabatan kita beneran sehat, gak taunya lo yang busuk karena udah tusuk gue dari belakang. Lo pikir lo siapa? Padahal gue dateng ke sini buat dengerin permintaan maaf dan pengakuan lo tapi lo malah boongin gue. Apa mau lo sekarang, njing?! Sorry, Bri, gue cabut aja. Kali ini udah gak bisa dirundingin lagi." Suara kerasnya sampai terdengar orang lain dan Tian pun langsung pergi meninggalkanku dan Sam.

Emosi Sam mulai tidak terkendali dan melontarkan kemarahannya dengan mencengkeram tanganku ke parkiran.

"Sam, tanganku sakit!" Tapi Sam tidak berkutik dia terus menarik tanganku hingga sampai parkiran mobil. "Aduh, kamu jangan tarik tanganku kayak gini dong. Aku tau kamu lagi kesel. Kamu juga salah bilang hal itu ke Tian. Harusnya kamu minta maaf aja, gak usah bawa perkara bilang kalo kamu cemburu sama dia. Inget, Sam. Kita udah pacaran, udah gede juga, dan bahkan aku juga jarang ketemu sama Tian gegara kamu." Sambil menahan sakit cengkeramannya dan mengusap tanganku sendiri.

"Kamu tau gak sih, apa yang bikin aku kesel?" Kata Sam padaku sambil melepas cengkeramannya. "Kamu tuh udah ajak aku ketemu sama Tian. Aku udah bilang kalo aku gak mau ketemu sama dia. Kenapa kamu maksa aku, sayang?"

Aku benar-benar tersentak kali ini. Dia sudah tidak mau bertemu dengan Tian lagi. Apa persahabatan kami sampai di sini saja? Hatiku hancur saat Sam bilang hal itu padaku.

"Maksud kamu apaan sih, Sam? Kamu udah gak mau temenan lagi sama dia? Kamu gila ya? Dia tuh udah dateng jauh-jauh buat dengerin alesan kamu tapi ternyata kamu—Aku tuh gak ngerti banget sama pola pikir kamu, gimana sih? Tian itu sahabat aku, kalo kamu nyakitin hatinya, kamu juga nyakitin aku."

Selama ini kupikir kalau Sam itu orang baik namun setelah sifat aslinya keluar saat berpacaran denganku. Aku benar-benar kesal dengannya. Sifatnya sudah tidak bisa diubah. Hubungan kami baru genap sebulan tapi rasanya seperti ini.

Aku. Harus. Tetap. Tenang. Untuk. Menghadapinya.

Kalau mau jujur, aku bisa saja memutusi hubungannya dengan Sam namun aku tak bisa mengacuhkan perasaannya. Aku menyayangkan karena dia setahun lebih dariku. Mungkin sifatnya yang posesif bisa kuubah sedikit. Ya, walau pun perbandingannya sedikit namun Sam tetaplah Samantha. Aku pun pulang bersamanya dengan perasaan yang sama namun emosi naik-turun.

=======================================================

Saat masuk semester 4, sebulan setelah pertemuan itu, aku bertemu dengan Tian untuk nongkrong di warung ayam geprek dekat kampus. Aku sengaja tidak mengajak Sam karena percuma juga dia pasti enggan bertemu dengan Tian. Hubungan persahabatan mereka sudah benar-benar hancur. Mereka berdua tidak berteman lagi karena aku. Iya, karena kecemburuan Sam yang begitu besar kepadaku. Tian hanya pasrah saja, tidak ada ada perlawanan hanya dari ucapannya saja sudah membuat Sam kesal bukannya interospeksi diri. Sementara aku, tidak bisa memihak siapa pun tapi hatiku tetap memihak Tian. Karena dialah sahabatku satu-satunya. Namun pikiranku malah memilih Sam. Sungguh aneh dan keputusan yang paling bodoh. Perasaanku dengan Sam masih sama, kadang aku merasa kesal dengan sifatnya yang tidak bisa digubris.

Aku mencoba untuk mengatakan sejujurnya namun hal itu tidak bekerja dengan baik. Aku malah dimarahi oleh Sam. Sudah satu tahun lamanya aku menjalani hubungan dengannya. Satu tahun juga hubungan Tian dan Sam tidak kunjung membaik. Mereka benar-benar menjadi orang asing, bahkan saat aku dan Sam jalan berdua di area kampus dan tidak sengaja berpapasan dengan Tian, mereka berdua layaknya orang asing yang tidak mengenal satu sama lain namun Tian masih tetap menyapaku dengan senyuman saja. Aku pun mengangguk. Lain halnya dengan Sam yang hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Aku sedih sekaligus takut. Semenjak aku berhubungan dengan Sam, sikapnya yang protektif selalu berlebihan. Bahkan aku yang ingin belajar kelompok bersama teman sekelasku saja, dia sering menelponku berkali-kali. Sangat segan aku mengangkatnya. Dan sering kali aku dicaci karena teleponnya tidak kujawab.

"Bri, kamu ke mana aja sih? Aku hubungin berkali-kali tapi gak diangkat. Mau kamu apa sih? Apa kamu abis selingkuh, ya? Kamu takut rahasiamu terbongkar sama aku?"

Begitu jawabannya saat aku tidak membalas teleponnya. Berulang kali. Aku mencoba sabar. Seringkali aku menjelaskan kalau aku tidak pernah melakukan hal sejahat itu. Kalau memang benar, aku sudah tidak berhubungan dengannya lagi. Mungkin juga Sam sudah kutinggalkan sedari awal. Dia masih kekasihku walau dirinya begitu. Dia juga masih menyayangiku. Hubungan kami bisa dibilang toxic.

Aku takut, lambat laun rasa sayang itu akan hilang dengan sendirinya. Lambat laun, dia hanya ingin menyakitiku saja. Kata-katanya saat berbicara padaku juga kasar. Terkadang aku berpikir, "Pantaskah dia untukku? Apa aku jahat karena sudah meninggalkannya?" Entah setan apa yang terlintas dipikiranku sehingga aku punya kekasih yang begitu posesif seperti ini.

Aku hanya ingin bebas dari kekangan ini. Aku seperti terjebak di dalam penjara yang tidak ada jendelanya dan ruangannya sangat sempit. Rasanya aku ingin berlari tapi tanganku terikat oleh rantai besi. Keinginanku untuk pergi saja masih dibatasi, kecuali pergi dengan ibuku.

Hubunganku dengan Sam tidak sesehat dulu. Kami pernah tinggal bersama tapi cuma sementara karena ibuku menaruh curiga padaku. Ya, ibu termasuk orang yang taat ibadahnya. Ibu hanya memperbolehkanku bergaul dengan orang-orang yang 'wajar,' sempat ibu melarangku bermain dengan Sam karena ibu pernah memergoki dia sedang merokok di sebuah kafe bersamaku. Kebetulan saja, ibu habis belanja bulanan di minimarket.

"Sabrina? Ngapain kamu di sini, sayang?" Ibu tiba-tiba menyapaku dan melihat Sam langsung yang sedang asyik mengisap rokoknya. "Samantha? Beraninya kamu merokok di depan anak saya?! Kamu buang rokoknya sebelum saya larang kamu untuk main sama anak saya lagi!" Kata ibu sambil menarik tanganku.

"Ibu, apa-apaan sih? Tanganku sakit, bu. Gak usah tarik-tarik dong, bu. Aku malu. Sam emang lagi ngerokok tapi aku 'kan gak? Kami cuma lagi diskusi soal tugas aja, gak lakuin hal lain." Kataku sembari mengusap tanganku yang sakit digenggam ibu. Iya, ibuku memang agak menyebalkan dan beliau tidak suka jika ada orang yang merokok di dekat dirinya dan aku. Paling anti dengan asap dan batang rokoknya. Makanya, keluarga kami tidak ada yang merokok jika ada yang kedapatan merokok pasti ibu tidak segan mengusirnya keluar dari rumah.

Memang agak berlebihan tapi begitulah keluarga kami. Aku pun tidak suka saat Sam sudah mulai merokok. Boleh tapi tidak di depanku apalagi kalau sudah ada ibu tapi kejadian itu benar-benar mutlak hanya kebetulan saja. Kemudian Sam membuang rokoknya dan meminta maaf kepada ibuku.

Padahal sebelumnya, Sam sudah berjanji padaku untuk tidak merokok lagi namun kebiasaan buruknya itu tidak bisa terbendung lagi. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik kepada Sam namun akhir-akhir ini dia sudah tidak lagi mendengarkan saranku lagi. Hanya mengiyakan kemudian keesokan harinya dia lupa akan janjinya padaku. Aku hanya ingin Sam bisa hidup lebih sehat dari sebelumnya.

Setelah pertemuan itu, aku pamit pulang tapi Sam memintaku untuk menginap lagi di rumahnya. Jelas saja aku menolak permintaannya karena minggu lalu aku sudah menginap di rumahnya selama 4 hari. Jujur saja, aku takut bila tiba-tiba orang tuanya pulang ke rumahnya tanpa memberi kabar lalu kami tertangkap basah sedang 'bermain' hal yang lain. Itu hal yang sangat kutakutkan tapi aku juga tidak berani mengatakan hal itu kepada Sam. Karena juga, ayahnya terkenal orang yang sangat tegas namun bijak di lingkungan rumahnya. Aku takut terjadi apa-apa. Makanya, mulai sekarang aku lebih menjaga jarakku dengan dia. Menginap boleh tapi lihat kondisinya.

Tapi kali ini, Sam tidak memaksaku untuk menginap di rumahnya. Dia bilang, "Ya udah, terserah. Kalo kangen, telpon aja ya." Terdengar sangat aneh di telingaku. Tidak biasanya Sam seperti ini tapi aku sangat lega mendengarnya. Apa mungkin dia ingin mengubah sikapnya yang posesif itu? Biasanya dia memaksaku untuk menginap di rumahnya untuk beberapa hari tapi kali ini berbeda.

Syukurlah. Aku aman dan tenang.

Kemudian aku berpamitan dengan memeluknya dan dia mencium pipiku. Tumben sekali. Tidak cium bibir. Tapi aku tidak punya firasat aneh atau memikirkan yang buruk. Aku langsung pulang ke rumah dengan menaiki tram sekali.

Keesokan harinya, saat aku ada di Perpustakaan Nasional untuk mencari referensi pada tugas kuliahku.

"TING!" Bunyi pesan teks dari ponselku. Tian mengirimku pesan untuk segera pulang ke rumah. "Kenapa nih?" Pikirku terus berbicara. Aku segera bergegas mengembalikan buku-buku yang kubaca dan lari mengejar bus untuk pulang.

Sesampainya, keadaan di rumah hening seperti tidak ada siapa-siapa. Aku membuka teleponku dan menelpon Tian. "TUUUT... TUUT..." Terdengar suara deringan kecil dari kamarku namun lama-kelamaan suara deringan itu tidak terdengar lagi. Ibu juga tidak ada di rumah, pikirku mungkin beliau sedang belanja ke pasar. Aku membuka perlahan pintu kamarku dan menutupnya kembali, tiba-tiba saklar lampu bunyi, "CTEK!" dan terdengar suara "SURPRIIIISE!" dan taburan confetti pun beterbangan. Aku melihat Sam, Tian dan ibuku ada di dalam kamar, terlihat ibu memegang kue ulang tahun bentuk oval dan berwarna hijau dengan bertuliskan, "Happy birthday, Sabrina!" Aku benar-benar tercengang sekaligus kagum dan sangat bingung karena kedua sahabat dan pacarku ada di satu ruangan. Mereka berdua ada di rumahku! Ini kenapa?! Kenapa mereka terlihat bahagia bersama? Apa aku sedang bermimpi?

Tian dan Sam tahu kalau aku terlihat sangat bingung dan kagum.

Lalu, Tian berbicara, "Gue tau, lo pasti bingung dengan ini semua." Sam menyambung, "Yuk cepet tiup lilinnya, Bri!" Dan ibu menambahkan, "Iya, sayang. Jangan lupa berdoa sebelum kamu tiup." Aku pun mulai berdoa dalam hati dan meniup lilinnya. Ini benar-benar ulang tahun yang sangat mengejutkan sekaligus menyejukkan hatiku. Sementara, ibu izin ke toilet sebentar sekaligus menyiapkan makanan untuk kami di dapur.

Sisi lain, aku ingin menanyakan banyak hal kepada mereka berdua. Ada apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa mereka bisa bertemu di rumahku? Apa yang mereka rencanakan? Pertanyaan itu yang selalu lewat dalam pikiranku. Bahkan aku sendiri lupa untuk memotong kuenya. Saat selesai mencicipi kue ulang tahunnya. Aku pun menatap ke Sam dan Tian secara bergantian.

Mereka berdua tersenyum satu sama lain bahkan berpelukan di depan layaknya tidak terjadi apa-apa. "Kami tahu apa yang ada di pikiran lo, Bri. Dan kami bakal jelasin. Sam, apa lo mau gue yang jelasin semuanya atau gimana?" Sam pun membalas, "Biar gue aja." Tian hanya mengangguk tanda oke.

"Kami berdua gak berantem. Yang kami lakukan cuma sekedar sandiwara." Jawab Sam sambil cengengesan. Sungguh menyebalkan sekali mendengar tawaan mereka. "Jadi kalian nge-prank gue? Selama setahun?" Aku jawab dengan terkejut. Kemudian Tian menambahkan. "Kami lakuin sandiwara itu udah direncanain jauh sebelum lo ulang tahun. Ya, intinya kami cuma nge-prank doang. Bahkan nyokap lo tau rencana kami."

Aku hanya menganga sementara lalu, "You guys just pranked me this whole time? That was insane and not funny at all. Guys, selama ini gue yang paling khawatir sama hubungan kalian. Gue juga yang paling takut sama apa yang bakal terjadi kalo kalian pisah kayak gini. Bahkan juga harus adu cekcok sampe kalian ngomong jorok. Dan sekarang kalian bilang itu cuma sandiwara? Gila, licik banget."

Beberapa saat kemudian, ibu masuk lagi dari pintu kamarku, "Maafin ibu, ya sayang. Abis kalo ibu bilangin pasti gak seru, sebenernya ibu kasian sama kamu cuma mau gimana ya. Ibu juga disogok seloyang cheesecake sama mereka. Jadi ibu diem aja deh. Tunggu bentar ya, ibu siapin piring makanan buat kalian nanti." Kata ibu sambil menghampiri dan mencium keningku lalu kembali ke dapur.

Enam bulan sebelumnya, ada kurir yang meneriaki di depan rumah ibu. "Permisi, pakeeeeet!" Aku segera bergegas menghampiri gerbang depan rumah. "Iya, mas. Buat siapa ya?" Lalu kurirnya menjawab lagi, "Ada paket makanan atas nama ibu Daisy Maharani Gandhi. Apa benar ini rumahnya, kak?" Aku menjawab, "Oh iya, bener. Paket makanan dari siapa ya? Kayaknya saya gak merasa pesen apa-apa deh?" Sesaat kemudian, ibu menyusul. "Itu paket buat ibu, udah sini bawa masuk. Makasih ya mas." Lalu aku tandatangan dan berterima kasih dengan kurirnya. "Makanan apaan sih, bu? Emang ibu mesen apaan sih? Kue basah atau kue kering? Kok gede banget kayaknya?" Ibu membalas, "Kepo banget sih kamu, ini kue bronis pesenan ibu. Coba kamu buka, ibu mau lihat kayak gimana." Aku balas lagi, "Lah, katanya ibu yang pesen, masa gak tau bentuknya? Ya udah ini aku bukain." Sambil membuka, ibu menjawab, "Namanya lupa, 'kan siapa tau motifnya beda sama yang di gambar. Udah cepet dibuka aja." Ternyata isinya adalah cheesecake dengan topping biskuit Oreo. Duh, betapa enaknya. "Loh, katanya bronis, bu. Ini mah cheesecake. Tapi aku boleh nyicip gak, bu, kayaknya enak banget." Saat aku mau potong kuenya, ibu menepis tanganku, "Ih, jangan. Ini mau ibu bawa buat arisan RT nanti. Enak aja kamu. Beli aja kalo kamu mau sana." Aku terpelongo sambil mengusap tanganku, "Ibuuu... Sama anak sendiri pelit banget sih? Kan cuma nyobain dikit aja lho?! Lagian kapan ibu pesen kuenya? Kok aku gak tau? Dan lagian cara pesennya gimana coba? Ibu 'kan gaptek." Ibu menjawab lagi, "Ih, enak aja kamu. Gini-gini juga ibu tau cara pesen online cuma ibu males aja. Bukannya apa-apa, ini udah ibu pesen jauh-jauh hari. Pas kamu lagi kuliah, temen kamu tuh si Tian yang bantuin ibu mesen kuenya lewat online. Katanya ibu cuma transfer uangnya nanti dipesenin sama dia. Ibu transfer uangnya lewat m-banking. Sembarangan kamu bilang ibu gaptek. Udah ya, kuenya mau ibu simpen di kulkas. Awas kalo kamu colek atau potong kuenya, uang jajan kamu bakalan ibu potong 50% selama 3 bulan. Ibu mau siap-siap dulu, nanti kalo kamu mau makan, ambil aja di meja makan. Ibu udah masakin tumis kangkung sama ikan bandeng presto kesukaan kamu. Udah dulu ya, ibu mau telpon si Tian."

Setelah insiden itu, aku hanya menggerutu. "Oh, jadi cheesecake yang waktu itu buat ibu bukan buat gue? Pantesan dia larang gue ambil kuenya sampe diancem uang jajan mau dipotong pula. Ya ampun, lo berdua parah banget. Jangan-jangan anceman itu juga kalian yang suruh ya? Wah, bener-bener. Tunggu aja pembalesan gue."

Mereka berdua hanya tertawa mendengar kisah kami. "Hahahaha..." Tian menambahkan, "Sorry, ya. Gue gak tau mau bilang apa tapi dialog nyokap lo tuh bukan gue yang suruh." Sam menyelak, "Improvisasinya bagus banget, ya. Gak kepikiran lho. Padahal gue sama Tian cuma mau ngasih cheesecake doang terus jangan sampe Bri curiga itu kuenya dari siapa tapi nyokap lo lebih pinter dari dugaan kita berdua." Tian mengiyakan dan bilang, "Tapi waktu pas bagian transfer itu juga bukan gue yang suruh, karena gak lama setelah kuenya dateng, nyokap lo nelpon gue buat transfer uangnya lewat m-banking tadi. Gue iya-iya aja sambil bilang 'Gak usah, tante. Kuenya udah kubayar.' Terus nyokap lo bilang 'Ya udah makasih, kuenya udah dateng nanti tante transfer uangnya.' Terus dimatiin teponnya. Tapi gokil sih, nyokap lo bener-bener wanita berbakat dan cocok tuh buat jadi bintang iklan di tv. Bri, kami tuh cuma pengen seneng-seneng aja sebelum ngerayain ulang tahun lo. Tapi asal lo tau, kami semua masih sayang sama lo." Begitu kata Tian sambil memelukku dan kami berpelukan bersama. Sandiwara itu membuatku kesal tapi aku tetap tidak bisa memarahi mereka karena Sam dan Tian adalah sahabatku. Selama setahun ini, yang kukira hidupku akan berakhir karena teman-temanku sudah mulai berpisah namun malah sebaliknya. Mereka masih sayang padaku. Aku pun merasakan hal yang sama.

Ya, termasuk ibuku. Beliau juga tahu kalau Tian dan Sam sedang melakukan sandiwara dan dia tidak memberitahuku sama sekali. Parahnya, mereka berdua sampai menyogok ibu dengan cheesecake. Itu hal yang sangat tidak bisa diganggu gugat. Pasalnya, kue itu adalah kue favorit ibuku.

====TO BE CONTINUED====

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation! Creation is hard, cheer me up! VOTE for me! Have some idea about my story? Comment it and let me know.

cat5imscreators' thoughts