webnovel

03. Downtown Disaster (1)

"...Ya? Monster." Olivia tampak bingung melihatku yang mendaftar. Kepalaku benar-benar pusing, terlalu banyak teka-teki yang sedang dijawab oleh otakku. Transmigrasi, William Antoine, monokrom, Eden, puisi, dan sekarang monster?

Lagi-lagi, dunia fantasi macam apa ini?

"Monster macam apa yang kau maksud?" tanyaku pada Olivia.

"Banyak sekali! Monster tengkorak, monster binatang, mayat hidup, bahkan yang bentuknya aneh!" jawab Olivia. Dari penjelasannya, sepertinya monster-monster itu sangat menakutkan.

Kalau begitu, ini sangat menarik.

"Lalu bukankah lebih bagus aku harus mempunyai sebuah senjata?" Aku berusaha menggali informasi lagi, sekaligus berusaha agar identitas asliku tidak ketahuan.

Olivia lagi-lagi membuat ekspresi kesal. Hah, aku harus menyiapkan diri untuk mendapat omelan dari orang ini.

"Sudah kubilang kau tidak boleh menggunakan senjata!"

"Ayolah, itu hanya sebuah bentuk perlindungan. Bagaimana kalau para monster mengetahui diriku sebagai penyair terkenal lalu berusaha membunuhku?"

"Hei, kau hanya seorang penyair yang baru saja naik daun! Lagi pula, kau tidak akan bisa membunuh monster dengan senjata biasa! Kau perlu senjata khusus!"

Aku tersenyum puas. Terima kasih kepada Olivia, aku mendapat informasi baru lagi.

"Lalu bagaimana cara aku mendapatkannya?" Haha, adu mulut dengan Olivia adalah kegiatan kesukaanku yang terbaru.

"Kau bisa mendapatkannya lewat pandai besi di desa Woodenforge." Aku menoleh kepada Ezra yang sudah memesan tiga es krim, ia pun duduk di meja bundar bersamaku dan Olivia.

"Ah, jadi begitu cara aku mendapatkannya." Aku tersenyum puas sebelum mulutku memakan es krim yang dibeli oleh Ezra.

Ezra melihat ke arahku lalu tersenyum. "Desa itu adalah sebuah desa rahasia tempat para pandai besi khusus tinggal, tempat itu dirahasiakan agar para monster tak mengetahui keberadaan senjata berkekuatan khusus itu diciptakan. Pandai besi di sana sangat berkualitas tinggi, bahkan Pangeran Einer menjadi langganan salah satunya." Ezra menjelaskannya dengan sangat lengkap. Aku sangat senang, rasanya seperti melihat genangan air di tengah hamparan pasir di siang hari terik.

Baiklah, aku sudah mengetahui destinaku selanjutnya.

"Will, aku rasa kau sangat menginginkan senjata. Apakah kau ingin balas dendam terhadap kematian orang tuamu?" Ezra tiba-tiba menduga seperti itu kepadaku. Aku baru ingat, seharusnya aku bersikap seolah-olah aku merasa dihancurkan oleh kematian orang tuaku.

Aku menjawab, "Ya, para monster sialan itu telah membunuh orang-orang tersayangku."

Walaupun berpura-pura, aku mengetahui bagaimana rasa sakit yang William rasakan. Karena di kehidupanku sebelumnya kedua orang tuaku juga meninggal.

Namun kejadian itu sudah terjadi sangat lama sehingga aku hanya merasakan mati rasa.

"Tapi aku tidak tertarik menjadi seorang petarung, aku hanya ingin menjadi pendorong hati para petarung agar menjadi lebih bersemangat untuk melawan para monster. Tentu saja aku menggunakan puisiku," ungkapku pada Ezra dan Olivia.

Tetap saja, tujuan utamaku adalah menjadi kaya dan menjadi penyair terkenal.

"Jadi senjatamu adalah puisimu, iya kan?" Olivia berusaha meyakinkanku, dan aku mengangguk yakin. Setidaknya Olivia lega mendengar jawabanku.

Sejujurnya aku tertarik dengan Pangeran Einer, yang berarti sistem pemerintahan di sini sudah berubah. Di kehidupan sebelumnya sistem pemerintahan di sini sudah menggunakan sistem presidensial, dan saat ini sistem pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan.

Aku penasaran bagaimana kerajaan menghadapi situasi saat ini, situasi di mana para monster berkeliaran. Apakah pemerintahan mereka sama seperti pemerintahan sialan di kehidupanku sebelumnya?

"Berarti Pangeran Einer memakai senjata khusus?" Pertanyaan tersebut secara spontan terucap dari mulutku. Pertanyaan bodoh, seharusnya pertanyaan tersebut kusimpan di dalam otak saja.

"Pangeran adalah pengguna senjata khusus terkuat, bahkan pangeran akan dijadikan panglima jika suatu waktu perang monster meledak."

Syukurlah Ezra dan Olivia tidak kelihatan curiga padaku, dan aku mendapat informasi lagi bahwa Pangeran Einer adalah orang terkuat.

"Lalu pangeran memiliki bawahan yang kuatnya hampir setara dengannya, dan menariknya adalah bawahan ini berasal dari kepulauan Atlas."

Kepulauan Atlas? Pulau dengan seribu pulau?

"Memangnya kenapa?" tanyaku pada Ezra.

"Kau tidak tahu? Kepulauan Atlas sudah dikuasai oleh monster selama beberapa tahun terakhir, aku tidak tahu bagaimana pangeran menyelamatkan orang itu," imbuh Olivia sembari memakan es krimnya.

"Itu berarti Pangeran Einer sangat kuat." Itulah yang bisa aku simpulkan. Namun sebenarnya yang benar-benar membuatku penasaran adalah Kepulauan Atlas yang berakhir menjadi menyedihkan. Padahal di kehidupan pertama, Kepulauan Atlas adalah pusat ekonomi dunia dan kekayaan alamnya melimpah serta memiliki masyarakat yang makmur.

Betapa tragis.

Pembicaraan berakhir, kami semua sibuk memakan es krim sampai habis. Bahaya jika es krimnya mencair karena kami semua mengobrol terlalu lama. Setelah kami memakan es krim sampai habis, kami keluar dari kedai lalu berjalan-jalan ke pusat kota.

Pusat kota Reveryn, wilayah ini adalah wilayah yang paling ramai dikunjungi. Dan ternyata di zaman ini keramaian pusat kota masih sama, hanya saja kegiatan yang dilakukan oleh mereka berbeda dari zamanku. Banyak sekali orang yang mengendarai sepeda ontel, bahkan ada yang membuka jasa sewa sepeda ontel. Kurasa sepeda ontel sedang sangat terkenal untuk sekarang.

"Sepertinya kita harus menaiki sepeda ontel untuk menikmati wisata ini," tuturku pada Ezra dan Olivia.

"Oh, aku kira kau akan naik di pinggir air mancur lalu membacakan puisi dengan suara lantang. Itu cita-citamu, kan?" Olivia baru saja membercandaiku hingga terkekeh, itu membuatku mendengar pelan.

Tunggu, berarti tujuanku dengan William sama? Untuk menjadi penyair terkenal?

"Sampai sekarang tidak ada yang mengetahui siapa dirimu yang sesungguhnya. Masyarakat hanya mengetahui nama pena saja," jelas Ezra kepadaku.

"Ya, lagipula nama penamu sangat aneh. Kau mendapat nama 'Den' dari mana, Will? Aku tidak tahu kosa kata apa yang ada di pikiranmu hingga memilih nama itu," sambung Olivia.

"Kau tidak perlu tahu itu." Aku menjawab pertanyaan Olivia seakan-akan menyimpan rahasia, padahal sebenarnya aku pun juga tidak tahu mengapa.

Den ... seperti namaku saja. Atau bahkan seperti nama Eden.

Aku melihat kemerahan Ezra dan Olivia dari belakang, aku terdiam beberapa saat sebelum kembali jatuh ke jurang pikiran paling dasar. Sudah sekian lama kami bertiga bertemu, tetapi mereka berdua tak menyadari keanehan dari sosok diriku.

Itu berarti, aku dan William Antoine memiliki kepribadian yang sama.

Apakah itu menjadi salah satu alasan mengapa Eden memindahkan jiwaku ke William Antoine selain memiliki kemampuan berpuisi? Apakah ada alasan lagi?

Atau ... Eden ingin aku meneruskan perjuangan William Antoine untuk menyelamatkan dunia dari kutukan monokrom ini?

Puisi yang dibuat William Antoine dikatakan memiliki makna tersirat yang membuat para Dewa menaruh perhatian pada puisi itu. Sangat masuk akal jika William membuat puisi itu dengan tujuan tertentu, tujuan tersebut bisa jadi mengarah kepada para Dewa.

Haha, menarik.

"Will," panggil Olivia kepadaku. Aku pun membebaskan diriku dari dasar jurang pikiran lalu melihat ke arah Olivia. Namun anehnya Olivia dan Ezra setelah itu berhadapan lalu tersenyum licik.

... Perasaanku tidak enak.

"Untuk merayakan kesembuhanmu, kau yang membayar seluruh sewa sepeda ontel, ya."

Kedua lensaku terbelalak, rahangku tertarik ke bawah oleh gravitasi bumi serta lubang tempat masuknya makanan dan minuman di wajahku terbuka. Benar-benar ya!

"Hei! Di tempat manapun yang sedang sakit itu seharusnya dilayani!"

"Dan sekarang kau sudah sembuh. Ayolah, keluarkan saja uangmu," ucap Olivia sembari terkekeh. Sialan memang, ia senang jika aku menderita, tetapi sekali saja aku benar-benar menderita maka ia akan khawatir.

Mau tidak mau, aku mengeluarkan uangku lalu pergi ke kakek tua penjual sewa sepeda ontel lalu membayarnya. Namun saat tangan kakek itu baru saja ingin menerima uangku, tiba-tiba saja gempa besar menggoyangkan seluruh pusat kota.

Orang-orang belarian sibuk menyelamatkan diri, Olivia berlari ke arahku lalu memelukku dengan raut ketakutan. Sedangkan Ezra, laki-laki itu berbeda dari orang-orang di sekelilingnya. Ia sudah siap, knuckle-nya sudah terpasang di jari-jarinya dan tangannya terkepal seakan-akan siap untuk menghancurkan monster.

Dan yang benar saja, seekor monster berbentuk larva yang sangat besar muncul dari bawah air mancur. Monster itu sangat menakutkan sekaligus menjijikan ... karena aku memang jijik dengan larva.

"Di mana Den?!" seru monster itu. Aku terkejut, terkejut karena melihat monster itu berbicara dan karena ia mencari Den yang berarti ia juga mencariku.

Olivia menatapku dengan wajah yang terkejut, lalu kami berdua menoleh setelah mendengar perintah dari Ezra. "Olivia! Bawa Aiden bersamamu lalu menjauhlah dari sini!" seru Ezra dengan netra yang tetap menatap tajam ke arah monster.

Monster itu kemudian mengaum, lalu gempa datang lagi setelah auman monster itu. Aku benar-benar kesulitan untuk berlari hingga aku dan Olivia tersungkur, yang hanya bisa ku lakukan adalah memeluk Olivia dan melindunginya dengan tubuhku.

Setelah itu akhirnya gemoa tersebut berhenti. Aku melihat sekeliling dan ...

... mengerikan.

Banyak sekali larva yang ku lihat.

Namun dengan sekejap salah satu larva tersebut tumbang, aku melihat siapa yang membunuhnya. Ia adalah Ezra yang berhasil menumbangkan larva dengan satu pukulan menggunakan senjata khusus. Aneh, kekuatan yang ia keluarkan tidak kelihatan sama sekali. Namun ia bisa menumbangkan larva itu dengan mudah?

Ah, aku mengerti.

Gelombang kejut adalah kekuatan dari knuckle tersebut.

Aku melihat gelombang kejut yang ia keluarkan sekilas, gelombang kejut tersebut kelihatannya mempunyai energi yang besar. Dunia fantasi memang hal yang luar biasa.

"Ezra tidak akan bisa bertahan kalau hanya dia yang bertarung ...." Olivia berlirih kepadaku. Memang benar, Ezra tidak akan bisa melawan para monster itu sendirian.

Aku harus membantunya.

Aku melihat sekeliling, aku melihat seekor larva datang ke seorang anak laki-laki. Aku melepaskan Olivia lalu berlari ke arahnya, berusaha menggapai orang itu agar tidak terluka atau mati.

Aku tidak mempunyai kekuatan kecuali tubuhku.

Maka dari itu, aku harus menggunakan tubuhku.

"William!" Aku mendengar seruan dari Olivia. Aku menggertakan gigi lalu terus berlari ke arah anak itu.

Maaf, Olivia.

Secara tiba-tiba, tebasan dari air terlihat dan menembus tubuh larva tersebut hingga termutilasi menjadi beberapa bagian. Aku terkejut hingga aku berhasil menghampiri anak kecil tersebut lalu memeluk anak itu. Hebat, anak itu tidak menangis, tapi aku juga kebingungan mengenai tebasan tadi.

Siapa yang melakukannya?

"Tadi aku keren, kan?" Tiba-tiba saja, seorang remaja perempuan berambut pendek datang kepadaku. Aku mendongak untuk melihat wajahnya, entah mengapa senyum yang perempuan itu tunjukkan membuatku kesal.

Lalu seketika, rasa kesalku hilang karena melihat senjata yang ia genggam.

Keris, senjata yang asalnya dari Kepulauan Atlas.

"Kau ... orang Atlas?" tanyaku kepadanya.

"Oh? Yah, kerisnya sudah kelihatan, sih. Perkenalkan, namaku Mira Dirgantara dari tanah air Atlas."