webnovel

Terjebak dan Menjebak

"Semua serba salah di hadapan hidup dan mati."

***

Kepalaku terasa sakit. Udara terasa pengap dengan debu di mana-mana. Aku mulai tersadar. Tubuhku masih terasa sakit di berberapa bagian. Perlahan tapi pasti kubuka mataku. Kudapati diriku terkapar di suatu ruangan dengan lilin yang menyala di samping tubuhku. Aku masih linglung karena pingsan. Situasi yang memacu adrenalin sekaligus mencekam memaksaku tidur untuk sementara.

Aku terbatuk.

Mataku berputar-putar mencari sesuatu.

Ada seorang di pojok ruangan. Aku kaget dan sesegera mungkin memposisikan tubuh tidak lagi terbaring. Meraih benda di sekitarku, balok kayu dan mengacungkannya.

"S-siapa!?" ahh, aku menyeka bagian belakang kepalaku yang mendadak nyeri.

"Ini gue. Lo tenang dulu dan turunkan balok itu." katanya. Suaranya tidak asing.

Aku merasa lega. Itu Rayyan. Posisi duduknya di pojok ruangan yang jauh dari cahaya lilin tampak seperti hantu yang tengah mengawasiku.

Sekali lagi kulihat sekeliling ruangan ini. Cukup luas dengan ukuran 2,5 x 7. Banyak peralatan yang berserakan di ruangan ini. Terpal-terpal menutupi meja-meja tua mungkin sudah reok karena dimakan rayap. Satu hal yang bisa kukenali jika banyak barang-barang tersimpan di sini sementara ruangan lain tidak. Mungkin ini gudang.

"Gudang?" tanyaku.

"Gudang gedung enam. Lantai satu" Kata Rayyan.

Pintu keluar ditutup rapat menggunakan meja dan kursi, posisinya ditumpuk. Gagangnya dirantai mengikat dengan gembok melingkar. Jendela yang pecah diblok menggunakan balok kayu. Sisanya kami berada di dalam ruangan ini.

Di sela-sela keheningan ruangan, dari arah luar terdengar suara jeritan.

Refleks kugenggam erat-erat balok kayu. Rayyan melihat keluar jendela lewat sela-sela kecil. Dalam kegelapan ia tidak terlihat.

Jantungku mulai berdegup kencang. Astaga, apa lagi ini. Apa penjaga berhasil menangkap seseorang?

Rayyan menyuruhku untuk menunduk di balik terpal. "Sembunyi." Bisiknya. Aku menuruti dan langsung merangkak di bawah meja.

Seseorang datang kemari. Rayyan mengambil lilin yang ada di lantai dan menyembunyikan. Jika itu joe maka tidak akan berani kemari. Tapi jika itu teman-teman. Mereka akan tahu jika seseorang mendiami tempat ini dan mencoba memberitahu.

Tapi kali ini kami tidak merasa kalau ini teman kami.

Sosok itu muncul dari balik bayangan. Sosok mengerikan dengan wajah hancur berantakan.

Suara desisan muncul agak nyaring. Menggema di lorong. Jantungku berdebar-debar. Suara besi yang diseret terdengar menakutkan. Rayyan menyembunyikan lilin di balik terpal dekatnya. Ruangan gelap sementara. Lebih baik makhluk itu tidak mengetahui keberadaan kami terlebih dahulu.

Mencoba memastikan aman.

Makhluk buruk rupa mucul di jendela. Dengan wajah yang terjulur ke depan memandangi sekitar lewat sela-sela kayu. Lidahnya terjulur ke depan meliuk-liuk layaknya seekor ular. Air liur menetes secara perlahan. Matanya putih dengan kulit super pucat.

Sial, dugaanku salah. Joe berani datang kemari.

Aku menahan napas. Padahal dari jarak jauh seperti ini ketegangan terasa begitu berat. Apalagi Rayyan. Ia persis berada satu meter dari arah jendela. Kegelapan yang pekat menyamarkan tubuhnya untuk tak dapat dilihat makhluk tersebut.

Brakk!!

Brak!!

Makhluk tersebut mencoba mendobrak pintu. Aku semakin ketakutan. Rayyan tidak tahu. Yang jelas kondisi kita berbahaya. Jika pintu itu berhasil terdobrak dan makhluk itu berhasil masuk. Tamatlah riwayat kami.

Waktu terasa melambat.

Tubuhku seperti mati rasa, kembali merasakan sensasi tegang seperti ini.

Brakk!!

Hening

Brakk!! Suara itu terdengar lagi.

Brakk!!

"Ya tuhan." Batinku.

Tangan makhluk itu menembus jendela. Menghancurkan satu kayu yang terpasang jatuh berserakan. Suasana mulai gaduh. Riuh sekali hingga terdengar seperti bunyi ledakan bom.

Grrrrgghhh!!

Makhluk itu kembali mengamuk. Bunyi pintu semakin digedor-gedor. Tapi untungnya pintu itu terblokir sempurna. Tidak goyah sama sekali. Tidak menyerah, makhluk itu berusaha masuk lewat jendela. Sayang, papan kayu terlalu kuat untuk didobrak satu orang saja. Butuh tiga orang untuk bisa masuk.

Lima belas detik berlalu. Terasa sangat lambat hingga keringatku bercucuran. Jantungku serasa ingin keluar dari tempatnya. Aku bersyukur Rayyan cukup pintar memblokade tempat ini.

Panik sekali. Dan pada akhirnya makhluk itu pergi meninggalkan keheningan di penjuru lorong. Tegang. Apalagi bunyi gedor-gedor yang mendadak hilang entah kemana. Itu pertanda kalau kami selamat. Merasa gagal memangsa lalu pergi meninggalkan.

Aku diam di tempat.

Rayyan mengecek keadaannya lagi. Lorong kosong.

Aman.

"Gue akan keluar." kata Rayyan. Ia mendekatiku, aku mundur berberapa senti. Rayyan mengeluarkan lilin dari balik saku, menyalakannya dengan membakar sumbu dari lilin yang sudah menyala.

"Gue ikut." Kataku segera.

"Jangan." Bisik Rayyan.

"Apa maksud lo?"

"Lo jangan ikut." Ulangnya.

"Biar gue yang keluar, lu stay di dalam." Rayyan bersiap-siap. Mengambil balok kayunya dari genggamanku, aku memberikannya. Ia bangkit dan mencari-cari barang di sekitar ruangan ini. Membuka terpal membuka setiap laci meja. Saat menemukan benda yang berguna ia menyelipkannya di saku celana.

"Tunggu-tunggu. Tunggu dulu. Gue nggak bisa biarin lu keluar sendirian." Aku mencoba menghentikan.

"Gue bisa jaga diri."

"Gue juga bisa jaga diri." Kataku. Rayyan langsung balik melihatku. Gerakannya terhenti.

"Ra. Please, gue nggak bisa lagi biarin cewe dalam bahaya. Lo lihat sendiri kan gimana cara makhluk itu nyerang barusan. Bar-bar Ra. Please lo stay di sini ok?"

Aku mulai marah.

"Jadi lo ngasihani gue cuman gara-gara gue cewe!? Gue nggak lemah Yan. Gue bisa bantu lo kok. Lagian kalau lo ninggalin gue di sini, itu makhluk bisa aja dateng lagi dan nyerang gue. Lebih baik kita cari sama-sama." intonasiku meninggi. Aku tidak tahu mengapa situasi ini terjadi. Aku muak dengan ketakutanku, akibatnya aku marah kepada Rayyan. Wajahku merah.

Tiba-tiba kepalaku kembali sakit. Sialan.

Rayyan diam saja. Raut wajahnya tiba-tiba berubah.

"Gue nggak bisa lihat temen gue mati lagi." Suara Rayyan tampak sedih. Ia menghela napas. Aku bingung atas perkataanya. Mati? siapa?

"Maksud lo?"

Rayyan seperti mencoba tegar.

Ia memperbaiki posisiya. Duduk sebentar.

"Di balkon gedung sepuluh."

"Gue lihat mayat Abid, Kholqi, Adlan. Kepalanya terpenggal. Gua nggak tahu ulah siapa tapi mungkin permainan ini udah berjalan. Kita berhasil memainnkannya sekarang. Permainan ini aktif. Aku curiga yang membunuh mereka adalah Penjaga." Kata Rayyan. Matanya berkaca-kaca.

Aku merinding. Itu terjadi saat aku pingsan. Rayyan menggendongku dan berlari keluar dari gedung 10. Tempat awal kami ditimpa tragedi mengerikan tersebut. Tempat kami sukses terpencar dari yang lain.

"Darah di mana-mana Ra. Gue nggak sanggup. Harusnya gue larang mereka mainin permainan ini saat di kafe. Tapi gue-"

"Gue malah biarin seakan-akan semua akan baik-baik saja. Gua bodoh banget sumpah." Wajahnya tertunduk. Ada tetesan air mata jatuh ke lantai.

Aku mendekati Rayyan yang begitu tertekan. Duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Pasti berat melalui itu semua. Melihat mayat teman-teman yang mati misterius dengan kondisi tragis, siapa yang tidak marah dan menyesal. Mungkin kalau aku jadi Rayyan saat itu pasti teriak marah-marah. Mencari hantu kaparat itu dan menghabisinya. Persetan dengan permainan ini. Teman-temanku tewas karena ini.

Tapi kita harus bertindak rasional ketimbang mementingkan emosi pribadi. Rayyan saat itu lebih memilih menyelamatkanku di gudang ini. Meninggalkan jasad teman-teman dan suara jeritan di gedung tersebut. Dia tau harus memilih apa antara membiarkanku tergeletak tak bernyawa atau pergi mencari yang lain. Sama-sama berat, tapi resiko yang dilihat Rayyan membuatnya memilih menyelamatkanku.

"Bukan salah lo yan. Ini salah semua orang, termasuk gue." Kataku menenangkan.

"Harusnya gue-"

"Bukan salah lo." Kataku sekali lagi menyela perkataan Rayyan.

Kami begitu tertekan saat ini. Rayyan mencoba mengontrol napasnya. Menghela napas berkali-kali sambil memejamkan matanya. Berharap lebih tenang.

Kini kondisinya membaik. "Gue harus pergi." Rayyan berdiri dari duduknya. Melangkah ke arah pintu. Mencoba menggeser berberapa meja dan kursi. "Tunggu yan." Aku menahan.

"Jangang ikut Ra." Katanya tegas.

"Tetap di sini sampai gue kembali sama Iqbal."

Aku tertegun. Dari mana ia tahu jika Iqbal tengah menuju tempat ini?

"Mungkin lo mikir darimana gua tahu Iqbal ke sini kan? Dari ponsel lo. Sorry sebelumnya gue lancang ngelihat pesan lo dengan Iqbal. Sumpah, gue cuman ingin mastiin sesuatu."

Rayyan santai sekali mengatakan hal lancang barusan.

"Jangan marah Ra. Seenggaknya permainan ini selesai jika lo bertahan hidup sampai pukul tiga. Gue pengen mastiin kalau lo yang selamat sampai akhir, itu alasan gue nggak pengen lo ikut." Katanya.

Aku mengeratkan tanganku. Maksud tersirat Rayyan mungkin membiarkanku selamat di tempat ini sedangkan yang lain menjadi pengalih perhatian hingga pukul tiga. Entah kenapa Rayyan berpikir demikian. Permainan ini berubah menjadi permainan bertahan hidup.

Rayyan mengangkat bangku terakhir. "Iqbal sudah datang seharusnya. Gue jemput dia. Lo tetep di sini. Jangan bukain pintu selain gue dan Iqbal."

"Nggak, gue harus ketemu Iqbal." Kataku kasar.

"Iqbal pasti ke sini Ra. Gue janji. Lo percaya ama gue." Kata Rayyan berdiri di depan pintu hendak membuka gembok rantai tapi tengah menatapku. "Gue harus cepat. Gue akan kunci ini dari depan."

"Sebelumnya makasih." Kata Rayyan membuka pintu cepat dan menutupnya. Melilit pegangan pintu ke besi pinggiran dinding.

"Yan! Yan!" teriakku.

Rayyan tidak mengidahkanku. Ia memperhatikan sekelilingnya. Nyala lilin di tangannya menerangi lorong sekitar. Pasti mengundang keributan jika berlama-lama di sini. Rayyan melempar kunci dari bawah pintu. Lewat sela-sela kecil.

Pergi melangkah menjauh, melewati koridor gelap tersebut.

Meninggalkanku.

Dzzzttt!!

***

"Mal!! Buka!" teriakku agak kencang sambil menggedor-gedor pintu tua ini. Kedua temanku dalam keadaan terluka dan sekarang penjaga berada satu atap dengan kami. Aku sedikit kesal dengan Akmal yang tak kunjung membukakan pintu. Ia lebih memilih mementingkan dirinya sendiri ketimbang menolong temannya.

"Brengsek!" geramku.

"Dia datang Bal." Lirih Rayyan. Ia menatap ujung lorong. Di balik kegelapan sudah terdengar suara langkah seseorang yang membawa senjata tajam. Itu Haniyah yang menjadi penjaga. Astaga. Situasi kembali panik. Hawa dingin mulai merambat ke segala penjuru.

"Mal!" teriakku sekali lagi.

Masih tidak ada jawaban dari Akmal. "Anjing." Celetukku. Ketimbang harus berlama-lama di sini sedangkan marabahaya tengah menuju kemari, kami harus bergerak.

Pada akhirnya kami memutuskan pergi agak menjauh dari lorong tersebut. Di tengah-tengah perjalanan Rachel batuk darah. Tubuhnya bergetar hebat.

"Tinggalin gue." Kata Rachel.

Aku menoleh.

"Tinggalin gue, selagi sempat. Seenggaknya orang itu sibuk bunuh gue sedangkan kalian bisa selamat." Tambah Rachel.

"Gak. Gue nggak akan ngelakuin hal bodoh itu." kataku mantab sambil terus berjalan. Rayyan seperti melihat sesuatu dan melepaskan peganganku. Ia jalan tertatih-tatih mengambil benda di lantai. Mengangkat meja dan merobek sehelai kain.

"Bantu gue." Pinta Rayyan. Raut wajahnya serius sekali. Seperti merencanakan sesuatu.

Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil dedaunan yang berserakan menumpuknya hingga menjulang tinggi. Menumpuk batu di atas meja. Meletakkan kain sebagai alas yang menutupi bagian bawah meja.

"Kita jebak dia."

"Kenapa nggak kita bunuh dia untuk yang kedua kalinya?" senyum Rayyan. Sudah kutebak dia merencakan sesuatu. Sesuatu yang mengerikan mengingat tubuh yang diambil alih Joe adalah Haniyah, teman kita.

Aku tertahan sebentar. Memasang wajah ragu. Apa ini baik-baik saja?

Kami hendak menjebak Joe.

***