webnovel

21. Atlea sang singa

“Serang!” teriak laki-laki itu.

Dan puluhan prajurit Orion yang bersamanya pun langsung bergerak maju dengan beringas.

“Sial, Luc!” gadis itu menoleh pada saudaranya. “Ayo kita bantai mereka,” seringai Lucius tiba-tiba.

Sang pemuda pun maju sambil menarik salah satu pedang di pinggang. Evelin yang menyaksikan itu terperangah. Masih ragu dengan keputusan gila adiknya.

“Dasar!” umpatnya.

Tak ada pilihan, mereka diserang. Bertarung atau mati musuh-musuhnya pasti takkan memberikan ampunan. Tanpa keraguan pedang yang tak bersegel pun ditariknya. Sepertinya, keputusan akhir memang hanya mengamuk saja.

Lucius sudah duluan melancarkan serangan brutal pada lawan. Pola bertarung serampangan miliknya, jelas mengusik Atlea. Ini pertama kali baginya melihat ksatria asing terlebih pembunuh bayaran bergerak seperti itu.

Tak begitu menarik untuk ditiru namun berhasil membunuh lawan dalam sekali tebasan. Membuatnya yakin kalau rumor eksekutor berdarah tanah gelap pantas disandang dua orang di depannya.

Sementara Lucia, atau lebih tepatnya Evelin, ia bahkan tak mengira jika gerakannya akan sebrutal itu. Padahal selama menjabat sebagai anggota pembunuh Robert, gaya serangannya sangatlah halus dan fatal.

Tapi sekarang entah karena respons tubuh Lucia, sosoknya seperti perempuan tak berbelas kasih pada nyawa.

Begitu banyak kepala musuh yang terpenggal dalam setiap ayunannya. Atlea yang jelas-jelas menyaksikan itu tak jauh dari mereka pun meradang.

“Tuan,” panggil salah satu bawahan.

Dirinya terkesiap saat menyadari ekspresi masam ksatria elit kerajaan Orion.

Atlea Bartodon.

Gema namanya tak diragukan lagi di telinga kerajaan tetangga. Laki-laki 26 tahun yang berhasil menjadi ksatria pahlawan di usia 16 tahun.

Sang singa hutan, pahlawan perang dalam pertarungan berdarah Orion melawan Hidea. Sampai-sampai kerajaan itu hanya tinggal nama seperti Tenebris yang gila.

Dan sosoknya juga merupakan tangan kanan komandan ksatria yang mati di tangan Lucius di depannya.

“Sepertinya aku memang harus turun tangan,” rahang menegas dihiasi tatapan bak predator buas melukiskan rupa lelaki tampan itu.

Lucia tersentak, saat menyadari tekanan menakutkan tak jauh darinya. Sontak saja ia menoleh ke arah adiknya. Dan benar saja, pimpinan musuh mendekati sang pemuda. Tak diragukan lagi targetnya Lucius sendiri.

“Luc!” teriaknya tiba-tiba.

Pedang yang baru saja menembus jantung lawan, segera ditarik Lucius akibat kaget dengan suara Lucia. Spontan ia menoleh namun sensasi berbahaya memburu belakang punggungnya.

“Awas!” Lucia memperingatkan.

Refleks pemuda itu berputar dan mengayunkan pedang. Akan tetapi, ia terkesiap saat senjata itu berhasil di cengkeram Atlea. Tubuhnya gemetar karena baru pertama kali di hadapkan pada kemampuan tak terduga.

“Kau berbahaya,” tekan ksatria yang mengenakan zirah hitam itu.

Seringai tipis pun langsung tercetak di bibir Lucius. Mencoba menarik pedangnya namun berujung sia-sia.

“Dan kau jauh lebih menakutkan di banding komandanmu, wahai singa hutan, Atlea.”

Jawaban anak muda di depannya, berhasil menyipitkan mata Atlea. Diliriknya penampakan Lucius dari atas ke bawah. Tak ada yang menarik darinya, kecuali wajah rupawan bak pahatan para dewa namun menyebalkan ekspresinya.

“Siapa kau sebenarnya?”

“Pembunuh bayaran?” jawabnya santai.

Suasana tegang sepertinya mulai mencair. Tapi, itu tak menolak kenyataan kalau Lucius masih belum bisa menggerakkan pedang.

Lelaki di depannya, benar-benar seperti hewan buas auranya.

“Bisa lepaskan senjataku?” lanjut sang pemuda.

Namun Atlea malah memiringkan wajah. Pandangannya semakin sinis menatap lelaki muda di hadapan. Bersamaan dengan itu, cengkeraman pada pedang kian erat.

Mengejutkan Lucius dan Lucia karena senjata pangeran Tenebris patah begitu saja.

Keduanya sama-sama terbelalak dan Lucius sontak mengambil langkah mundur dari musuhnya.

“Luc!” teriak Lucia. “Ugh!” erangnya. Ia lengah, salah satu prajurit berhasil melukai pipi merona gadis itu. Sang adik yang sempat mendengar pekikan kakaknya langsung melirik tajam ke sana.

“Kau mungkin beruntung, karena berhasil membunuh komandan. Tapi sayang, aku takkan mengampunimu. Kau dan gadis itu, aku akan menyeret kalian berdua ke kerajaan Orion. Sebagai penghormatan atas dosa kalian pada ketuaku.”

Tiba-tiba Atlea menarik pedangnya.

Luar biasa.

Senjata menakutkan itu berhasil membuat bulu kuduk penontonnya berdiri. Embusan angin kasar yang menerpa mata pedang, bahkan menimbulkan bunyi. Seolah-olah berteriak untuk menyanyikan tragedi yang akan terjadi.

“Darcy.”

“Mengagumkan,” Atlea tersenyum samar. “Kau bahkan tahu nama pedang ini. Sepertinya, kau bukan sekadar pembunuh bayaran bodoh. Jadi, siapa dirimu, Nak? Kuharap aku bisa mendapatkan jati dirimu sebelum Darcy memotong kakimu.”

Lucius pun meneguk ludah kasar. Dia tak bodoh untuk tidak mengetahui bahaya yang mengintai. Jika Atlea serius, bisa dipastikan sosoknya hanya akan tinggal nama.

Skill berpedang ksatria elit kerajaan Orion itu jelas bukan omong kosong belaka, mengingat sosoknya bisa menjadi pahlawan perang yang memenggal kepala Raja Hidea di usia muda.

Dan Lucia yang berhasil membunuh prajurit penyebab luka di pipi, berlari menuju adiknya. Tak tahu kenapa, batinnya bergemuruh dengan bisikan yang terus mengumandangkan keyakinan.

Di mana sosoknya harus membantu Lucius apa pun yang terjadi.

“Luc,” dengan napas terengah disentuhnya lengan sang adik.

“Baguslah. Akan sangat menyenangkan membantai kalian berdua,” seringai Atlea kian melebar saat melihatnya.

Para prajurit yang masih hidup pun memilih menjauh dari mereka. Karena bagaimanapun orang-orang itu sadar kalau terlibat dalam pertarungan ketuanya sama saja dengan mati.

Ksatria elit itu, takkan peduli jika serangannya mengenai rekan-rekannya.

“Mata kiri itu, aku penasaran apa yang ada di baliknya,” ia melirik Lucius dan Lucia secara bergantian.

Refleks dua bersaudara itu saling berbagi pandangan. Walau tak bersuara, entah kenapa otak mereka menyanyikan pikiran yang sama.

Sepertinya, Evelin mulai terbiasa dengan tubuh Lucia dan tak ingin kehilangan orang yang mengaku sebagai adiknya.

Tanpa keraguan disarungkan Lucia pedang di tangan.

Mengundang tatapan bingung dari Atlea yang menyaksikan. “Apa ini? Kalian ingin menyerahkan diri?”

Tapi bukannya menjawab, Lucius dan Lucia sama-sama menarik pedang aneh lain di pinggang. Walau masih dilindungi sarungnya, tapi lilitan perban yang seolah menyegel senjata itu membuat Atlea mengernyitkan dahi.

“Sepertinya, itu juga bukan senjata biasa. Apa itu berarti kalian mulai serius? Kalau begitu majulah.”

Senyum tipis pun terpatri di bibir Lucius. Hantaman angin kasar yang mengenai mereka, seperti bertepuk tangan untuk memulai pertunjukan.

Dan deru napas dua bersaudara Tenebris, selayaknya pembukaan gerbang mengejutkan. Di mana saat sang pemuda mengangkat senjatanya begitu tinggi, detak jantung Atlea langsung bergemuruh iramanya.

“Kalian—”

Tersentak.

Ia terperangah. Bukan karena serangan mendadak Lucius, melainkan tebasan tiba-tiba yang dilayangkan Lucia. Gadis itu memulai langkah dengan goresan dalam di lengan kiri ksatria elit Orion.

Sementara Lucius yang masih belum bergerak hanya tersenyum menyaksikan.

“Dasar bocah-bocah licik,” umpat Atlea. Sepertinya ia berhasil masuk perangkap keduanya.

“Aku akan menyayat bahumu,” ucap sang pemuda tiba-tiba. Berhias langkah pasti, pangeran kerajaan Tenebris pun mengayunkan senjata, menargetkan titik di mana tujuannya berada.

Serangan bertenaga kuat milik Atlea pun bertabrakan dengan kemampuan cepat Lucius. Mereka tampak seimbang, sampai-sampai mengejutkan para prajurit kerajaan Orion.

Tetapi, memang Atlea namanya. Tak heran julukan singa hutan pantas disandang olehnya. Bahkan jika tangan kanan sibuk dengan pedang. Tangan kiri ikut melancarkan serangan, menekan Lucius sehingga tanpa bisa dielakkan penutup matanya pun direbut dengan kasar.

“Mata itu, kau—”