Bayangan tubuhku di balkoni menjadi temanku untuk sementara waktu. Permulaan sesuatu yang tidak kuduga. Peran Ibu tiri. Akhir dari sesuatu yang menjadi bagian dari diriku. Pertemanan tak terbatas. Apakah aku terjebak di dalam dunia ini?
Pernikahan ini adalah lobang pohon ke kehidupan baru.
Hanya aku tidak tahu apa yang menungguku dibalik hari ini.
Seperti Alice mengikuti langkah yang ditetapkan oleh cheshire, aku menelusuri jalan yang dia ingin aku tempuh. Mencari Cassius yang nampak secara jelas di mataku. Dengan cara tubuhnya yang tinggi menarik perhatian dan sikap magnetiknya, kumenemukan dia langsung di kerumunan orang.
"Eliana, ternyata kamu disitu. Datang kemari."
Cassius memanggilku, Dan seperti pluto yang menemukan arahnya kembali ke matahari, aku pergi ke tangannya. Melupakan, terkadang barang yang terang harusnya hanya diamati. Karena dibalik sinar itu, adalah perapian yang membara.
Kupastikan setiap langkahku terkendali. Perlahan. Dan tidak seputus asa hatiku untuk kehangatannya. Jika aku jatuh kepada gravitasinya. Apakah aku akan seperti meteor yang dipercepat kehancurannya?
Pasti ada alasan Rai terus memperingatiku akannya. Jika pengkhianatan dan kekecewaan menungguku. Akankah kepercayaan yang mulai meresap mencabikku?
Kuyakin kebenaran sepahit apapun tidak akan melukaiku sedikit pun. Tetapi, di saat ketenangan seperti ini menyelimutiku. Kuberpikir betapa pedihnya perasaan dikepung oleh serpihan masa ini?
"Tadi aku ke balkoni sebentar. Kamu mencariku?"
Ekspresi yang hangat tereksposisi di wajahnya. Cassius mengambil daun yang terjatuhkan ke atas rambutku secara hati - hati. Melihat dedikasinya dalam menyelamatkan rambutku, aku hampir merasa bersalah meragukan tabiatnya.
Disaat paling tidak kusangka, pertemuanku dengan Rai hampir terungkap. Waktu Cassius menunduk mendekat kepadaku sangat pendek, tetapi sedetik itu cukup untuk menangkap kejanggalan itu.
"Kamu habis merokok?"
Kenapa penciuman dia tajam sekali? Hatiku yang terkejut merasa kacau.
"Tidak, tadi kuketemu seseorang."
Suaraku keluar lebih tenang dari ekspektasiku. Seperti aku bukan baru saja mencoba menguak rahasia Cassius.
"Hati-hati lain kali." Tanpa menanyai lebih lanjut, Cassius mengulurkan tangannya kepadaku, "Kalau begitu, apakah kau rela menemaniku berdansa, Eli?"
Penyajian ajakan itu membuatku tertawa. Ada sesuatu yang lucu mengenai postur Cassius. Terlalu meniru film romansa.
Mengetahui pria biasanya tidak terlalu mengalokasi waktu ke bidang seperti menari, aku mengolok, secara ekstrem memakai stereotipe yang ada.
"Coba kutebak, kita akan memempel dan menelusuri satu kotak di tempat yang sama untuk 5 menit seperti perlu membuat lobang di situ?"
Ekspresi Cassius begitu aku mengatakannya sungguh patut dilihat. Hampir memberontak dari prasangka itu. Seperti ia mengatakan-
"Oh Eli, tentunya kamu ga berpikir aku semembosankan itu."
Harusnya aku berhenti bergurau, tetapi Cassius memiliki tampilan yang membuatku ingin bermain dengannya.
"Jadi kamu menganggap dasar dari semua waltz membosankan? Astaga kalau guru dansamu mendengar."
Untuk menyampaikan terkejutnya yang Mrs. Lupinus (guru dansaku) akan rasakan, aku membesarkan mataku dan mendekap mukaku dengan tanganku. Tentu saja, ketawa mengikuti kami berdua di saat itu.
Tetapi, pernyataan Cassius selanjutnya, membuatku tercengan secara asli.
"Andaikan itu pendapat guru dansaku, kakiku tidak akan menderita selama ini."
Cassius berbicara dengan kepedihan, dan aku bertanya, "menderita?"
"Mempelajari semua gerakan aneh."
Itu memicu rasa penasaranku. Seberapa ekstrem kah ajaran guru ini untuk membuatnya berkata seperti itu?
"Tepatnya seperti apa?"
"Menarilah denganku maka kamu akan mengetahuinya."
….
Jika ini adalah hari yang lain aku akan menerima ajakan itu.
Tetapi, sepertinya hatiku belum kuat untuk melakukan itu di pernikahan.
"Kamu mau menakuti semua orang yang datang hari ini?"
"Untuk hati Mrs francis, sebaiknya tidak," Cassius tertawa rendah, sekali lagi mengulurkan tangannya,
"Setidaknya kamu akan memercayaiku dengan waktu ini kan?"
Kalimat Cassius berhenti sampai disitu, tetapi dalam matanya aku dapat melihat lanjutannya.
'Ataukah kamu tidak cukup berani?'
Provokasi ini menyinggung harga diriku.
"Tentu saja, aku bukan kucing yang takut membuat gelombang."
Aku menggenggam tangan Cassius dan berjalan ke tengah Ballroom. Seperti mengamati pergerakan kami, mc pernikahan mengumumkan first dance kami. Lagu La Valse De Amélie dan kakiku mulai menari ke iramanya.
"Tapi kamu berperilaku seperti satu."
Di saat itu, satu tangan kiriku di bahunya dan tangan kiriku bergandengan tangan dengan tangan kirinya, jadi aku tak bisa memukulnya. Jadi satu - satunya cara membalasnya adalah melalui perkataan.
"Apa maksudnya?"
Aku bermaksud menanya dengan nada mengancam, tapi ini terjadi selagi ia memutarku dan akhirnya lebih lemah dari yang kuingin karena kehabisan nafas.
Kami berpindah dari tengah ke bagian kiri, dan baru setelah itu Cassius berhenti tertawa, serta memberiku jawabannya.
"Karena kamu liar dan sulit dikendalikan." Ia melepaskan tangan kiriku, dan aku melangkah ke kiri, tangan terbuka sebelum berputar kembali ke pelukannya untuk mendengar, "tetapi manja di depan orang yang disukainya."
Ditengah - tengah detakan hatiku, dan amarah yang mulai meluap, aku mencoba untuk menemukan bantahan logis.
"Aku tidak pernah menyusahkanmu toh."
"Sebab kau mencintaiku." Aku menatap dia dengan tajam, mengungkapkan ketidaksetujuanku. "Jangan memandangku seperti itu. Nanti aku salah mengira."
"Kalau aku membencimu? Ingin menginjak kakimu sekarang?"
Aku beneran berada di ambang melakukan hal tersebut, hanya ditahan balik oleh banyaknya mata yang menonton.
"Bahwa kamu ingin aku melakukan ini." Cassius mendekat kepadaku dan tiba - tiba mencium bibirku. Saat ia berpisah karena gerakan tarian, ku masih merasa kecupannya. Tubuhku seperti tersengat lebah tetapi aku tidak ingin melepaskannya.
"...…."
Dengan pikiran melayang, aku menyelsaikan tarian itu dengan tepat. Menjauh dari Cassius setelah dansa kita berakhir.
Atau begitu rencanaku, tetapi aku teringat oleh Feivel dan rasa penasaranku mengalahkan kekesalan aku terhadap pria tidak tahu malu ini.
"Cassius, mengapa Feivel ingin bersekolah di tempat yang begitu jauh?"
Kali ini dia yang hening. Seperti ikan di daratan. Tidak bisa berkata - kata. Ataukah, kenyataannya terlalu memalukan, terlalu menodai untuk dia tunjukan kepada orang lain?
"Dia tidak menyukaiku."
"Hanya alasan itu?"
Aku menanyakan kembali. Seberapa besar seorang anak harus membenci ayahnya untuk memutuskan pergi tinggal sendiri di tempat jauh.
"Hanya alasan itu."
Berpikir itu pasti bukan akar dari masalah ini, aku mencoba menggali lebih dalam. Pasti ada awal dari semuanya ini.
"Dan alasan dibalik alasan dia membenci ayahnya sendiri?"
Di situ, aku melihat sekilas emosi muncul di mata Cassius. Apakah itu penyesalan atau kesedihan? Aku tidak tahu. Tetapi, yang pasti ada yang tersembunyi.
"Untuk itu kamu harus menanyakannya sendiri."
aku tidak mengerti tarian jadi Google dan YouTube adalah sahabatku chapter ini hahah
Rhythm update aku sedikit tidak stabil TT
Habis dari bandung