_______
Diantara dua orang yang jatuh cinta, kejujuran sampai di hati saja, sementara bibir dapat selalu menemukan jalurnya ke kebohongan. Ingatan yang terlalu sempurna. Perkataan yang terlalu muluk daripada aslinya dan rasionalitas yang terjebak.
Aku mengetahui ini sejak dulu, menonton kehidupan banyak orang. Jadi aku tidak terkejut saat pendeta menceritakan pertemuan kami seakan - akan kami ditakdirkan untuk sesama lain. Cinta pada pandangan pertama, hati yang belajar untuk berjalan bersama, perkataan yang saling menyelamatkan.
Jika aku tidak mengetahui kebenaran, aku pun akan berpikir bahwa cinta telah menjadi sarang kami, dan kami berdua memutuskan berteduh dibawahnya bukan hanya untuk menghindari hujan tetapi karena saling menyukai. Tulus. Tanpa cemar. Seperti di buku - buku.
Cinta yang diharapkan dari kami seperti dikatakan oleh pendeta.
"Cinta itu sangat sabar dan baik hati, tidak pernah cemburu atau iri hati, tidak pernah menyombongkan diri atau bangga. Cinta tidak pernah angkuh atau egois atau kasar. Cinta tidak menuntut jalannya sendiri."
Cinta yang sulit untuk aku miliki.
Sandiwara ini berlanjut tanpa kesalahan, dengan detail yang sempurna. Dan aku bisa membayangkan bagaimana Cassius terlihat di mata mereka. Laksana singa yang menguliti dirinya untuk membuat jubah. Tidak mempedulikan harga diri hanya mempedulikan orang di depannya.
"Seperti yang kita lihat hari ini, Cassius Dawson telah menyiapkan sebuah puisi untuk dibaca sebelum pembacaan sumpah pernikahan."
Ini membuatku terkejut, sebagai seorang penulis itu seharusnya pekerjaan aku. Jadi ini alasan dia diam - diam menulis sesuatu di dalam bukunya akhir - akhir ini ?
Ku mencoba mencari tanda - tanda kegugupan yang seharusnya muncul di wajahnya, tetapi Cassius terlihat sangat tenang seperti sedang membicarakan presentasi biasa.
Sampai kuperhatikan jarinya yang memegang mic gemetar sedikit.
"Pertama - tama, aku ingin berkata, ku bukanlah penyair, ini hanya sepatah janji yang aku ingin kalian semua saksikan pada hari istimewa ini."
Cassius memandangkku sekali lagi, Aku mencoba untuk mengingatkan diri bahwa itu bukanlah pandangan untukku.
"Eliana whyte, aku ingin kau tahu
Akan datang suatu hari dimana tulangku rapuh,
Tetapi keinginanku untuk bersamamu tidak akan berubah
Akan datang suatu hari dimana mataku tak dapat melihat tetapi senyumanmu akan selalu menerangi duniaku
Akan datang suatu hari dimana telingaku menumpul, tetapi suaramu akan selalu terngiang di jiwaku
Akan datang suatu hari dimana rambutku akan memutih tetapi, janji yang kuutarakan akan selalu kupegang teguh.
Akan datang suatu hari dimana darahku berhenti mengalir tetapi perkataanmu akan selalu menghidupi paru-paruku
Akan datang suatu hari dimana aku terkubur di bawah tanah tetapi selama aku berada aku akan mencarimu
Akan datang suatu hari dimana kamu berpikir kata - kata ini kebohongan belaka tetapi dalam roh dan hati, aku akan selalu bersamamu.
Aku bukanlah orang yang baik, tetapi aku akan mencoba untuk menjadi satu untukmu."
Tepuk tangan memenuhi tempat itu, mataku berkabut serasa dipenuhi embu, supaya tidak merusak riasan, aku menarik emosi lain ke permukaan, semangat kompetitifku.
"Cassius Dawson, ku tidak tahu betapa benar perkataanmu, hanya Tuhan yang dapat mengetahuinya. Tetapi, aku ingin kamu tahu bagaimana kita berakhir pun aku akan selalu membuat keputusan yang sama. Sebab, aku hanya bisa bernafas jika didekatmu. Lebih dari oksigen, lebih dari darah, hanya kamu yang membuatku serasa hidup."
Sebenarnya untuk siapa perkataan ini ditujukan ?
"Terkadang, mencoba untuk menangkap cinta seperti pencobaan untuk memegang langit. Meskipun sudah mencapainya, tidak ada waktu dimana dapat dipastikan. Tetapi, setelah menemuimu, aku percaya bahwa tanganku tidak hampa. Dan jari kita selalu terhubung."
Hanya saja aku tidak akan pernah mengulurkan tanganku.
"Seperti bagaimana awan selalu memanggil air laut kembali; kuharapkan kamu akan selalu menungguku. Dan walaupun kita tidak mungkin menjadi milik masing - masing, tidak akan pernah kamu terlepas dari hatiku. Sebab, saat kita bersama hukum dunia berhenti bekerja. Eventualitas perpisahan, kedinginan cinta, aku percaya kamu akan menghapus semua itu dari masa depan kita."
Harapan yang tidak akan terwujudkan.
Dan dengan begitu tibalah saatnya membacakan janji pernikahan. Menghormati keputusanku sebelumnya, Cassius telah meminta agar kami dapat mengucapkan janji masing masing.
Belum waktunya kami berciuman, tetapi ia telah melakukannya dengan matanya,
"Eliana, aku mencintaimu. Kamu adalah jawaban dari doa yang kutidak tahu ku ucapkan. Dan hari ini pun adalah mimpi yang dikabulkan oleh Tuhan. Terima kasih karena telah muncul di hidupku.Saat ini aku Cassius Dawson mengambil, Eliana Whyte sebagai istriku, untuk dimiliki dan dipertahankan mulai hari ini, dalam suka maupun duka, dalam sakit dan sehat, untuk mencintai dan menyayangi, sampai kematian memisahkan kita menurut hukum suci di hadapan Tuhan aku bersumpah ini."
Jika jiwa dapat menangis kurasa aku telah melakukannya. Hanya saja, aku tidak tahu sebenarnya apakah itu tangisan bahagia atau kesedihan. Sekarang tidak ada jalan kembali.
Beberapa waktu terakhir , aku memikirkan bagaimana cara mengucapkan sumpah pernikahan ini. Apakah aku akan berkata sampai cinta memisahkan kita dan melakukan penistaan terhadap penikahan. Atau berkata kata - kata yang belum aku imani?
Pilihan yang sulit.
Akhirnya aku memutuskan untuk memakai jalan ketiga, dengan setiap sel kreatif yang aku miliki.
Mengatakan sebenarnya dengan rangkaian kata indah.
"Saya, Eliana Whyte, mengambil Cassius Dawson, menjadi pasangan saya, mencintaimu apa adanya dan mempercayai apa yang belum kuketahui. Dan aku sangat menantikan kesempatan untuk kita bertumbuh bersama, mengenal pria yang akan menjadi suamiku, dan makin mencintaimu setiap hari. Aku berjanji untuk mencintai dan menghargaimu melalui apa pun yang diberikan kehidupan kepada kita."
Atau begitu rencananya, sampai kepercayaanku atas keinginan Tuhan menghentikanku.
"Sampai kematian memisahkan kami."
Cassius, tepatkah aku untuk mempercayai kamu?
Tepukan tangan sekali lagi memenuhi ruangan saat kami bertukar cincin. Bagaimana sebuah perhiasan dapat merubah hidupmu sebanyak itu ? Dibawah sinar matahari, berlian biru itu berkilau, tetapi aku tidak dapat menemukan cara untuk mengapresiasinya.
"Kamu boleh mencium istrimu."
Debaran hati kembali menghimpit dadaku. Waktu berlalu begitu cepat aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku menutup mataku, dia mendekat. Sebelum kutahu, sesuatu yang lembut mendarat di bibirku. Hanya untuk menghilang dalam sekejap.
Yang kuingat hanya sengat dari rasa manis madu. Menghilangnya dunia dari pandanganku. Dan keinginanku untuk menciumnya lagi.
Pikiranku masih melayang saat Cassius menarikku ke satu tempat.
"Eliana, aku tahu kamu berusaha tidak membicarakan ini karena merasa canggung, tetapi ini waktu kita membicarakannya."
'Apa yang dia katakan?"
Kami berjalan sampai ke ujung kanan, menghampiri seseorang anak yang masih menghadap belakang. Saat ia berbalik, ku terkejut sampai lupa bernafas.
Dia tidak memiliki rambut Kastanye seperti Cassius dan matanya abu - abu bukan hijau, tetapi kemiripan itu tidak dapat diragukan.
Bagaikan Cassius kembali ke masa mudanya.
"Mari kupertemukan, ini Eliana Whyte, orang yang akan menjadi mamamu, dan ini Feivel Dawson, putraku."
'?!?!'
Maaf telat lagi, aku kesulitan menulis chapter ini.
Kalau ada yang pernah melihat mirip dengan yang puisi yang Cassius bilang, aku pernah menulisnya di kelas BI dan versi bahasa Inggris di amino.
Inspirasi janji pernikahan dari Wedding Script