Entah seberapa banyak lagi perlakuan manis Nino yang membuat hati Vanila menghangat. Lelaki itu bahkan tak pernah mengeluh, ia sangat memerhatikan Vanila selama perjalanan. Mendengarkan seluruh perkataan gadis itu sambil fokus mengemudi, pun membalas sesekali dengan lembut.
"Kamu benar-benar suka membuat lagu, ya?" tanya Vanila, gadis itu mendadak penasaran akan semua hal tentang Nino. Karena lagi pula, lelaki itu selalu menjawabnya dengan jujur. "Aku penasaran. Berapa banyak yang kamu buat? Apa kamu punya studio juga?"
"Benar. Aku punya studio di rumah. Mau coba melihat-lihat nanti?" kata Nino, kemudian berdeham pelan. "Soal lagu. Aku banyak mencoba di masa muda, tetapi sekarang tidak lagi. Belum pernah rilis, sih. Tapi aku rasa kamu akan suka kalau mendengarnya."
"Aku mau!" Vanila menyahut antusias. Senyuman indahnya mengembang. Semakin banyak momen bersama Nino, semakin bahagia pula dirinya. "Aku suka semua jenis lagu. RnB, rock atau malah hip hop. Apalagi yang liriknya romantis! Pasti aku akan sangat suka!"
"Aku punya banyak lagu genre hip hop," kata Nino. Ia tidak melirik pada Vanila, sebab jalanan sedang ramai saat ini. "Aku pandai melakukan rap. Ingin mendengarnya?"
"Iya! Tentu."
"Ah...." Nino mendesis. Ia tak bisa melakukannya sekarang. Demi keselamatannya dan Vanila, ia harus fokus sepenuhnya mengemudi. "Nanti saja, ya. Aku janji akan melakukannya. Kamu bakal jadi orang pertama yang mendengarnya."
"Hmm, oke."
Usai itu, pembicaraan seolah berakhir. Vanila sibuk memainkan ponselnya, sedangkan Nino sendiri fokus mengemudi sepenuhnya. Nino masih ingin berbicara banyak pada gadis manis berbalut gaun sederhana di sampingnya, tetapi menyadari bahwa di perjalanan bukan saat yang tepat. Membiarkan Vanila memainkan ponselnya merupakan pilihan yang tepat.
Sesampainya di lokasi tujuan, Nino langsung memarkirkan mobilnya lantas turun dan membukakan pintu untuk Vanila. Lelaki tampan berbalut jaket denim berharga mahal itu menggenggam tangan Vanila erat setelah mengunci pintu mobil dengan remote mobilnya.
"Aku pikir kita akan kemana," kata Vanila. Gadis itu menahan napasnya, ia yang terbiasa hidup seadanya lumayan berdebar begitu Nino membawanya masuk ke restoran mahal yang jelas-jelas memiliki desain elegan yang mengagumkan. "Kurasa aku takkan sanggup di sini. Aku akan banyak sungkan dan gugup. Aku bahkan tidak tahu cara makan orang kaya. Ah, kayaknya akan sulit."
"Jujur sekali kamu ini." Mino terkekeh, membuat Vanila melirik lelaki itu sejenak. Vanila benar-benar tak menyangka, Mino akan tampak sangat menggemaskan kala terkekeh. Lelaki itu terlampau memesona, bahkan walau mengenakan jaket denim. "Aku nggak benar-benar menganggap ini serius. Kita cuma makan. Tidak perlu banyak sungkan atau apa. Restoran ini banyak kelebihan, jadi aku memilih di sini. Lagu-lagu klasik yang terputar di sini juga bagus, aku suka."
"Hm, mungkin karena itu kamu mengenakan jaket?" kata Vanila.
"Ini memang styleku," kata Nino. Genggamannya makin erat sampai pada akhirnya lelaki itu menarik kursi dekat meja lantas membiarkan Vanila duduk. "Memakai jas itu terlalu ribet. Aku tampak jauh lebih muda dengan begini adanya, kan?"
"Harus kuakui, sih. Lagi pula, kamu itu tampan. Aku nggak bisa mengelak fakta bahwa pesonamu kuat."
"Kamu baru mengakui itu sekarang, ya." Nino duduk di hadapan Vanila, hanya berbatasan dengan meja. Tetapi meski begitu, Nino sangat puas memandangi gadisnya dalam jarak yang tak jauh. "Kamu tahu tujuan ke sini, kan?"
Vanila mengangguk, ia tahu jelas. Tadi siang Nino telah mengungkap banyak hal, pun disertai kesepakatan saling membuka diri lebih jauh. Sebagai orang yang cukup tahu diri, Vanila mengiyakan sebab ia bahkan telah diberi banyak oleh Nino. Tak ada alasan untuk menolak ajakan lelaki itu.
"Aku bukannya bingung mau membahas apa denganmu, sih," kata Nino, tampak jelas ia mengulum bibirnya sesaat. Hanya sesaat, tetapi Vanila cukup tergoda. "Hanya saja, aku gugup. Bagaimana, ya? Kamu cantik sekali, jadi, memandangimu saja sudah membuatku gugup sebegininya."
"Berhenti bertindak begitu, Nino. Itu terlalu bahaya," kata Vanila. "Kegugupanmu berbahaya."
"Maksudmu apa? Aku memangnya berbuat apa?" tanya Nino, ia seolah benar-benar bingung dengan pernyataan Vanila barusan. Sebetulnya ia tak menyadari tindakannya berakibat fatal pada degupan jantung gadis manis di hadapannya.
"Ekspresimu itu...." Vanila menjeda kalimatnya, tersenyum lebar sebab tak bisa menahan debaran yang tak terhenti di dadanya. "Kamu seolah lelaki polos yang tidak tahu apa-apa usai menggoda gadis lugu sepertiku."
"Aku sungguh tidak paham," kata Nino, ekspresi bingungnya makin menjadi. "Tapi, ya, sudah. Maaf karena tindakanku, ya. Oh, kau mau makan apa? Aku sudah lapar."
"Apa, ya...." Vanila berpikir sejenak. "Aku bahkan tidak tahu menunya, Nino. Aku mungkin akan bingung bahkan untuk sekadar memandangi buku menunya. Ini terlalu mahal, tidak benar-benar cocok buatku."
"Tapi kau suka segala jenis makanan, kan?" tanya Nino.
Vanila menjawab dengan sebuah anggukan. Memang, dia suka segala jenis makanan. Terlebih, apabila melahapnya ditemani oleh Nino yang bahkan jelas-jelas memiliki aura kelewat kuat. Vanila cukup menyadari bahwa beberapa orang gadis anggun yang berada di restoran ini beberapa kali meliriknya dengan sorot iri. Vanila menikmati semua tatapan iri dari beberapa gadis di sekelilingnya, sedangkan Nino memanggil pelayan restoran dan menyebutkan pesanan yang dari namanya saja terdengar aneh.
Selagi menunggu, Nino dan Vanila saling bertukar pikiran. Soal dunia yang kejam, tetapi juga diliputi beberapa candaan yang menghibur dan tak membuat suasana canggung. Nino memang bertampang maskulin, tetapi ia mempunyai sisi menggemaskan tak terduga. Nino menunjukkan itu beberapa kali di sela-sela pembicaraan, cara bicaranya tidak selalu serius.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Sebenarnya, memerlukan waktu yang cukup lama. Namun semuanya tak terasa sebab banyak sekali yang dibicarakan dua insan saling mengagumi tersebut. Mereka makan dalam diam. Namun walau begitu, Vanila beberapa kali melirik Nino dan memerhatikan pesona lelaki itu saat makan. Nino tidak makan dengan ala-ala orang elit nan elegan. Cara makan lelaki itu jauh lebih sederhana dari yang dibayangkan.
Vanila bahkan terlalu fokus pada cara lelaki itu menikmati makanan. Nino makan dengan lahap, matanya beberapa kali melebar kala merasakan lezatnya makanan yang dikunyahnya. Nino tak segan mengunyah dengan cepat, benar-benar tampak menggemaskan.
"Kamu tidak makan dengan begitu cepat, ya?" kata Nino. Nyatanya, lelaki itu lebih dulu menghabiskan makanannya. "Padahal tadi pagi kamu makan dengan sangat lahap. Aku agak merasa bersalah kalau kamu tidak suka makanannya."
"Ah, bukan begitu." Vanila secepat mungkin menggeleng, ia tak ingin Nino menganggapnya tidak suka makanan yang ada. "Aku cuman... terlalu serius memandangimu."
Nino terkekeh, benar-benar menggemaskan. Ia menyadari betapa manisnya gadis itu saat mengakui memandanginya. Tampak lugu, tetapi selalu menarik untuk dilihat.
"Benarkah?" Nino menghentikan kekehannya, namun tersenyum sebagai gantinya. Melihat pipi Vanila yang memerah merupakan sesuatu yang menghibur, seolah ada yang menggelitik perut Nino. "Aku memang tampan, jadi tak bisa menyalahkanmu. Makanlah, Nona. Sekarang gantian, ya. Biar aku saja yang memandangimu."
"Tidak perlu repot-repot, sungguh." Vanila berusaha mengatur ekspresinya sebisa mungkin, tetapi tetap saja tak bisa. Jantungnya berdegup jauh lebih cepat. Vanila berdeham, ia sesegera mungkin menghabiskan makanannya dalam rasa malu yang tak pernah padam sebab Nino benar-benar memandanginya tanpa lelah.
"Aku mau menghabiskan lebih banyak waktu buatmu. Atau setidaknya, bercanda denganmu setiap malam begini," jelas Nino. Ia tampak jauh lebih serius, berbanding terbalik dengan ekspresinya beberapa saat lalu. Seolah, ia punya kepribadian ganda. Namun tetap, pesonanya tak pernah pudar. "Hanya saja, mulai besok akan jauh lebih serius. Menghabiskan waktu begini sudah membuatku cukup tahu tentangmu, jadi, kurasa bisa dimulai pada bagian intinya. Tolong dengarkan baik-baik, ya."
Vanila menenggak ludah, agak gugup. Nino sempat menyatakan bahwa ia ingin membicarakan sesuatu yang serius juga, jadi mungkin inilah saatnya. Vanila penasaran, sekaligus gugup memandangi Nino yang lebih tegas begini dan malah menambah kesan seksinya.
"Oke. Akan kudengar," kata Vanila, usai benar-benar menyiapkan diri. "Katakan saja."
"Aku tentunya menanggung beban yang cukup berat, usai aku membuatmu berada di sisiku." Nino menghela napas sejenak. "Bukan berarti kamu memberatkan, ya. Aku senang akan kehadiranmu. Hanya saja, seseorang yang menyuruhku membunuhmu pasti sudah tahu bahwa aku malah memberikanmu tempat untuk tinggal alih-alih membunuhmu. Waktu itu memang aku gila, tetapi tak merugikan sebab kehadiranmu membuatku membaik. Rasa sepiku menjadi sedikit pudar. Jadi, yah, ada banyak resiko yang perlu ditanggung. Menyembunyikanmu di rumah tak seaman itu, kurasa. Walau itu pilihan terbaik agar kau tak terbebani."
"Jadi?" Vanila mengangkat alis, agaknya cukup paham arah pembicaraan ini. Nino harus menanggung resiko karena tak jadi membunuhnya, itu benar-benar bikin merinding. Ia bisa saja jadi korban, atau malah Nino. "Lanjutkan. Kamu tidak perlu sungkan. Aku tidak apa-apa kalau harus terbebani, sebab sadar juga tak ada kebahagiaan absolut di dunia ini."
"Aku mungkin menyelamatkanmu dari kematian, tetapi masih banyak sekali resiko diluar sana. Bukan hanya pada orang yang memintaku membunuhmu, tetapi beberapa orang yang mungkin mengincarku. Ada juga beberapa masalah lampau yang mungkin bisa membuat orang dendam," jelas Nino, ia bahkan perlu memikirkan segala rencananya agar Vanila aman sejak kemarin. Pun resiko yang boleh jadi mengancam dan malah membuat Vanila lebih menderita ketimbang sebelumnya. "Jadi daripada kamu berdiam diri dan mungkin bosan berada di rumah, aku memikirkan cara yang lebih... agak sulit. Tetapi lebih aman, rasanya. Kamu hanya akan terbebani sebentar, kalau serius."
Vanila menunggu dengan sabar, menanti ungkapan Nino selanjutnya. Lelaki itu mungkin benar-benar memikirkan solusi yang paling tepat buatnya.
"Jadi kurasa, akan lebih baik apabila kamu melatih diri. Sulit, sih. Pelatihan yang lebih berat dan memakan banyak waktu untuk pemula. Aku akan membantu dan tak ada kata bersantai sebelum mahir. Kamu mungkin keberatan, tetapi ini yang paling aman," jelas Nino sekali lagi. Tatapannya terhadap Vanila benar-benar tegas, tetapi seolah ingin melindungi. "Dari pagi hari, kamu perlu berlatih. Malam hari, kamu boleh istirahat sepenuhnya. Karena itulah, tak banyak waktu buat kita berbincang begini sebelum kamu mahir."
"Aku siap, kalau begitu," kata Vanila. Ia mungkin takut, bahkan ngeri. Namun tak membuatnya lantas memilih menjadi gadis lemah yang tinggal di rumah terus-terusan serta dihinggapi rasa takut akan bahaya yang bisa mengancam kapan saja. "Aku mau jadi lebih berani. Itu menarik, walau aku bahkan payah dalam olahraga."
"Pilihan yang bagus." Nino menunjukkan senyum puasnya. "Besok mulai, ya?"
Vanila mengangguk. Hatinya benar-benar masih ragu, tetapi pemikiran logisnya menyatakan persetujuan mutlak.