Haruna segera membilas tubuhnya di bawah kran shower. Setelah merasa bersih, Haruna memakai handuk kimononya dan keluar.
"Kenapa mandi pakai air dingin? Apa kau tidak tahu kalau air dingin bisa membuat kamu flu," ucap Tristan saat Haruna keluar dari kamar mandi.
"Tidak tahu, karena sejak kecil, aku lebih suka mandi air dingin. Flu bukan disebabkan karena air dingin, jadi jangan sok tahu." Haruna membalas ucapan Tristan dengan cibiran.
"Cepat pakai bajumu! Aku tunggu di ruang makan," ucap Tristan lalu pergi meninggalkan Haruna.
"Aku tidak mau makan. Tunggu saja sana sampai jenggot kamu menyentuh lantai," celoteh Haruna setelah pintu kamarnya tertutup. Haruna pikir, Tristan sudah pergi. Namun, suaranya Tristan terdengar kembali.
"Aku masih mendengarmu, Haruna. Jangan macam-macam atau kau akan tahu akibatnya!" ancam Tristan sambil menahan senyum.
"Menyebalkan!" teriak Haruna sambil menghentakkan kedua kakinya.
Tristan tersenyum mendengar teriakan Haruna. Ia sangat senang saat melihat Haruna marah dan memakinya. Ia pasti sudah gila, pikiran Tristan benar-benar sudah tidak mau lagi berkompromi dengan tujuannya dulu. Awalnya ingin mengerjai Haruna, tetapi ia malah terjebak dalam permainannya sendiri.
Tristan pergi ke kamarnya untuk mandi dan bersiap pergi ke kantor. Sementara haruna sudah selesai memakai baju dan duduk di tepi ranjang. Ia malas untuk makan satu meja dengan Tristan. Alasan apa yang harus diberikan kepada Tristan agar dirinya tidak perlu sarapan bersamanya. Diantara kebingungannya itu, ponsel Haruna berdering. Haruna celingukan mencari arah suara. Sejak ia dikurung oleh Tristan, ponsel dan tasnya itu disita oleh Tristan.
Haruna mengikuti indera pendengarannya. Ponsel Haruna biasanya dinonaktifkan oleh Tristan, tetapi pagi ini Tristan mengaktifkan ponsel Haruna untuk melihat apa ada pesan atau panggilan untuk Haruna. Tristan lupa mematikan ponsel itu kembali. Haruna keluar dari kamar dan ia masih mendengar nada dering ponselnya. Suara itu berasal dari kamar Tristan.
Haruna mengendap-endap masuk ke dalam kamar Tristan, sedangkan sang pemilik kamar sedang duduk di ruang makan sambil menunggu Haruna turun. Haruna melihat ponselnya tergeletak di nakas. Melihat kamar itu kosong, Haruna segera mengambil ponselnya dan menjawab panggilan telepon itu. Tanpa melihat nama si penelpon, Haruna langsung menyapa dengan senang. Akhirnya ia bisa bicara dengan orang lain selain Tristan.
"Halo," sapa Haruna.
"Halo," jawab suara pria di seberang telepon.
Tristan merasa kesal menunggu Haruna turun, ia memutuskan menjemput Haruna ke lantai atas. Saat Tristan tiba di depan kamarnya, Ia mendengar suara haruna berbicara dengan seseorang di telepon.
"Chris, ini kamu?" tanya Haruna dengan suara bahagia.
Mendengar Haruna memanggil nama kakaknya, Tristan pun kembali marah. Ia menerobos masuk dan merebut ponsel Haruna.
"Trista! Kembalikan ponselku!" pinta haruna. Namun, bukannya dikembalikan, Tristan malah membanting ponsel itu sampai hancur berkeping-keping."Tidaakk! Ponselku, hiks … kamu jahat! Jahat! Jahat!" maki Haruna sambil memukul dada Tristan. Haruna menangis melihat ponselnya hancur tak berbentuk lagi. Ponsel itu sangat berharga baginya. Bukan karena harganya, melainkan semua kenangan dan nomor kontak teman-temannya, semuanya tersimpan di sana. Namun, karena amarah, Tristan menghancurkannya begitu saja.
"Akan aku belikan ponsel yang lain, agar kau tidak menyimpan satu nama pun di sana. Dengar baik-baik!" Tristan mencengkeram dagu Haruna dengan kuat. "Selama keluargamu belum bisa melunasi hutangnya. Jangan harap kau bisa hidup bebas!" Tristan melepaskan cengkeramannya dan berbalik. Baru saja Tristan berjalan dua langkah, Haruna memaki Tristan.
"Aku ragu bahwa kau adik kandungnya Chris. Bagaimana bisa, kelakuan kalian berbeda jauh, bagai bumi dan langit. Chris sangat baik, sopan, dan juga seperti malaikat. Sedangkan kau … brengsek, tidak berperasaan, dan lebih mirip iblis daripada manusia," maki Haruna dengan nada penuh kebencian.
"Kau bilang aku brengsek? Baiklah, biar aku tunjukan padamu seberapa brengseknya aku!" Tristan berbalik dan mencengkeram kedua tangan Haruna. Dengan kasar, ia mengecup Haruna dan mendorongnya ke tengah ranjang.
"Brengsek! Lepaskan aku!" teriak Haruna di sela kecupan Tristan yang beringas.
Tristan melepas dasi yang sudah melingkar rapi di lehernya. Ia mengikat kedua tangan Haruna ke belakang punggung. Haruna mulai ketakutan dengan apa yang akan terjadi. Haruna mulai menangis ketakutan, tubuhnya gemetar, suaranya pun seakan sulit untuk keluar.
"Tristan, jangan lakukan itu! Aku mohon! Jangaaan!" Haruna berteriak sekuatnya.
Tristan merobek baju yang dipakai Haruna, tanpa peduli pintu kamarnya terbuka. Ia kembali memperkosa Haruna untuk yang kedua kalinya. Haruna tidak sanggup melawan Tristan yang memiliki tenaga sepuluh kali lipat dibanding Haruna. Haruna hanya bisa menangis dan menjerit, memohon belas kasihan Tristan agar mau melepaskannya. Namun, Tristan yang gelap mata itu tidak mendengarkan jeritan serta tangisan Haruna.
Sinta bersandar di samping pintu kamar, ia menangis sambil menutup mulutnya. Ia sangat kasihan melihat Haruna, tetapi ia tak mampu melakukan apa pun. Ia berlari ke paviliun samping dan masuk ke dalam kamarnya. Entah mengapa, hatinya merasa sakit melihat Haruna disiksa oleh Tristan. Sinta tidak menyangka kalau Tristan yang selama ini dianggap baik olehnya, ternyata bisa melakukan hal sejahat itu.
***
Tristan bangun dan menyelimuti tubuh polos Haruna. Ia kemudian pergi membasuh tubuhnya yang penuh dengan keringat, selesai membersihkan diri, Tristan memakai kembali pakaiannya dan berangkat ke kantor.
Mendengar suara mobil Tristan keluar dari rumah, Sinta segera keluar dari kamarnya dan berlari secepat mungkin untuk menemui Haruna. Sampai di dalam kamar Tristan, ia meneteskan air mata saat melihat Haruna duduk terisak sambil memeluk erat kedua lututnya. Sinta melangkah perlahan mendekati Haruna.
"Non. Non, baik-baik saja, kan?"
Sinta duduk di tepi ranjang. Melihat Sinta di sampingnya, Haruna segera menghambur ke dalam pelukan Sinta. Mereka berdua menangis sesenggukan. Bukan hanya mereka berdua, di depan pintu kamar, dua orang pelayan lainnya juga ikut meneteskan air mata.
"Kasihan sekali Non Haruna," ucap Yuli.
"Iya. Senior Sin yang terkesan dingin pun sampai menangis seperti itu. Sepertinya Senior Sin menyayangi Non Haruna," jawab pelayan yang lainnya.
Yuli hanya mengangguk pelan, seakan membenarkan dugaan itu. Yuli menarik pelayan itu ke dapur dan membiarkan Haruna berdua dengan Sinta.
Sinta mengusap air mata Haruna lalu mengambilkan handuk kimono. Ia membantu memapah Haruna keluar dari kamar Tristan. Sinta begitu perhatian menyiapkan air mandi dan membantu Haruna untuk membersihkan diri dan memakaikannya baju tidur. Pagi itu, Haruna kembali seperti mayat hidup. Duduk di balkon, menatap kosong ke arah depan. Rasanya Haruna tidak sanggup lagi, ia tidak bisa bertahan di rumah itu. Namun, bayangan wajah Vivi, Anggi, Kamal, dan juga Kia, membuat Haruna frustasi. Apa yang harus Haruna lakukan agar ia bisa terbebas dari jeratan Tristan.