webnovel

Kritis

Dara duduk di kursi tunggu bersama kedua orang tuanya dan Ciara. Setelah mendapatkan telepon yang mengabarkan bahwa suaminya kecelakaan, dia langsung menghubungi keluarga dan bergegas menuju ke rumah sakit.

Untunglah hujan sudah reda, hanya menyisakan gerimis. Sehingga mereka bisa cepat sampai walaupun ada sedikir kemacetan di beberapa jalan yang tergenang.

"Sabar, Nak." Ibu mengusap punggung putrinya sambil menenangkan saat mereka bertemu di rumah sakit.

"Ini cobaan dari Gusti Allah, Nak. Kamu yang kuat," lanjut Bapak.

Lelaki paruh baya itu juga merasa khawatir namun hanya bisa berserah diri. Hal yang sama pernah dia rasakan sewaktu kepergian putri keduanya, Laura. Hanya saja, Dewa masih bisa diselamatkan. Itu berarti masih ada harapan untuk kembali pulih.

Tak hanya Dara, semua orang merasa gelisah dalam penantian. Entah sudah berapa jam suaminya berada di ruang operasi dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Keluarga Dewa masih dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Dara mengusap air mata yang tak berhenti menetes. Sementara itu Ciara tertidur di pangkuan bibik karena kelelahan menunggu.

Suasana hening hingga pintu kamar operasi terbuka dan seorang dokter keluar dari ruangan itu.

"Keluarga Bapak Dewa?"

"Saya istrinya," jawab Dara.

"Bapak Dewa berhasil ditangani. Hanya kondisinya masih kritis. Benturan di kepala cukup keras. Jadi kita belum tau kapan bisa sadar kembali," jelas dokter.

"Tapi suami saya bisa sembuh kan, Dokter?" tanya Dara was-was.

"Kita berdoa ya, Ibu. Hanya saja proses penyembuhannya mungkin menghabiskan waktu yang cukup lama."

"Aamiin."

Dara mengucap Hamdalah sambil memeluk ibunya. Baginya, yang terpenting saat ini adalah Dewa bisa ditangai dengan baik. Untuk biaya, berapapun nominal yang akan dikeluarkan, mereka siap mengusahakan.

Tak lama pintu terbuka lebih lebar, lalu sebuah bed didorong oleh beberapa orang menuju ke ruang intensive care unit.

Tampak Dewa terbaring dengan beberapa selang di tubuhnya. Dara dan keluarganya berjalan mengikuti dari belakang.

"Mohon maaf untuk saat ini Bapak Dewa tidak boleh dibesuk oleh siapa pun sampai dokter mengizinkan."

Pintu ruangan itu ditutup dengan cepat. Dara hanya bisa menyaksikan dari balik kaca saat tubuh suaminya dipasang beberapa alat untuk membuatnya tetap bertahan hidup.

Kaki kanan Dewa berbalut gips dan perban. Dara tahu, itu pasti patah. Tak hanya itu, kepala juga beberapa bagian di wajahnya juga berbalut perban.

Dewa bahkan tak dapat dikenali karena banyak bekas luka yang menutupi wajahnya.

"Sabar, Nak." Hanya itulah yang bisa diucapkan oleh ibu untuk menguatkan putrinya.

"Kenapa harus begini, Bu?"

"Namanya cobaan, Nak. Kita gak tau. Hanya bisa berdoa meminta yang terbaik."

"Papa ...." Ciara terbangun dan menatap semua orang dengan bingung.

"Papa lagi sakit," jawab Dara.

"Cia mau liat Papa."

"Belum bisa, Nak. Nanti, ya." Dara memeluk putrinya.

Melihat itu, bibik merasa tak tega. Apalagi hari sudah mulai gelap.

"Nyonya. Ini saya sama Non Cia pulang duluan, ya. Kasihan soalnya," kata bibik berinisiatif.

Dara mengangguk dan mencium putrinya. Juga mengucapkan kata-kata untuk membujuk agar Ciara mau ikut pulang bersama bibik. Dia masih akan menunggu hingga keluarga Dewa datang.

"Cia istirahat dulu di rumah ya. Papa belum bisa kita besuk. Nanti kalau udah sadar, Cia sama mama baru boleh masuk," ucapnya sambil sesegukan mengusap air mata.

"Gak mau." Anak itu menangis dan menolak.

"Sini, Cia sama nenek aja. Kamu tunggu disini jangan kemana-mana." Pesan ibu kepada Dara. Akhirnya, wanita paruh baya itu yang membantu mengantarkan ke depan dan memesan taksi.

Dara menatap kaca dimana suaminya sudah selesai diberikan tindakan. Entah bagaimana dia menjalani hari esok dengan keadaan seperti ini, dia juga tak tahu.

"Dara!"

Dia menoleh dan mendapati orang tua Dewa juga kakak kandungnya sedang berjalan tergesa-gesa menuju ke arahnya.

"Mama." Dara memeluk ibu mertuanya dan kembali menumpahkan tangis di pelukan wanita itu.

"Ini ujian. Sabar, ya. Kamu harus kuat. Demi anak kalian," ucapnya sambil mengusap rambut sang menantu.

"Dara udah larang mas pergi tapi tetap ngotot aja, Ma. Padahal hujan deras.

"Baiknya Dara pulang. Biar Papa sama Mama yang menunggu disini," ucap ayah Dewa.

"Tapi, Pa ...."

"Kamu sedang hamil, Ra. Kasihan bayi kamu. Disini banyak penyakit. Mau gimana juga kamu harus menjaga kesehatan." Kali ini Arya, kakak Dewa yang berbicara.

"Ayo kakak antar pulang. Biar Mama Papa disini." Lelaki itu berusaha membujuk adik iparnya untuk pulang.

"Tunggu ibu sama bapak dulu. Tadi di depan ngantar Ciara pesan taksi," kata Dara.

Tak berapa lama, akhirnya orang tua Dara muncul. Saat bertemu, kedua besan saling menyapa dan berpelukan.

Mereka duduk sambil bercerita mengenai kronologis kejadian dari awal hingga menyebabkan Dewa kecelakaan. Papa Dewa sungguh menyesalkan mengapa putranya nekat pergi di saat cuaca buruk seperti ini.

"Saya minta Dara pulang duluan. Biar kami yang jaga. Kasihan bayinya," jelas Mama Dewa kepada orang tua Dara.

"Baiknya begitu. Kami juga sepertinya akan tinggal di rumah Dara sampai Dewa sadar kembali," jawab Ibu Dara.

Wanita itu akhirnya menurut karena permohonan ibu mertunya. Sebelum berpisah, mereka berpelukan lama.

"Jaga Cia, Ra. Mama titip sama kamu, ya. Besok kalian boleh kesini lagi."

Kata-kata itu membuat Dara menjadi sedikit tenang. Dia melangkah keluar meninggalkan rumah sakit itu dengan berat hati.

"Ayo, bapak ibu sekalian ikut pulang." Arya sudah mengeluarkan kunci mobil dari saku dan mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu.

Sepanjang perjalanan suasana hening. Arya hanya mengantar sampai di depan lalu kembali lagi ke rumah sakit.

"Sholat dulu, Nak."

Dara mengambil wudhu dan menunaikan tiga rakaat berjamaah. Biasanya Dewa yang akan menjadi imam, kini bapak yang menggantikan. Doanya khusyu'dan panjang meminta kesembuhan sang suami.

"Ya Allah, sembuhkanlah dia. Sadarkanlah dia. Apa pun keadaannya nanti, aku ikhlas menerima."

Dia mencium tangan kedua orang tuanya, lalu melipat mukena dan kembali ke kamar. Dara bahkan tak mau bertemu dengan Ciara sehingga ibunya yang menemani putrinya itu.

Hatinya gamang dan kacau. Mereka baru saja mereguk manisnya pernikahan. Saling berjanji untuk belajar mencintai dan menerima. Lalu mengapa cobaan datang begitu cepat?

Wanita itu memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Namun, hingga tengah malam tak dapat terpejam. Dara mengambil Al Qur'an dan melantunkan ayat suci untuk menenangkan hati.

Mungkin selama ini mereka lupa mendekatkan diri kepada sang pencipta. Sibuk menecari kesenangan dunia sehingga lalai akan kewajiban.

Jika ini memang ujian, Dara berdoa semoga mereka bisa ikhlas menerima. Namun jika ini teguran, semoga kelak menjadi jalan bagi mereka untuk memperbaiki diri.