Awal pembagian kelas kami tidak di takdirkan untuk sekelas lagi, saya sendiri yang beda kelas sementara kedua teman saya itu satu kelas. Tapi kelas kami bersebelahan, mungkin ini salah satu cara Tuhan membuat kami akrab. Mereka mulai akrab satu sama lain, kami berjalan bertiga, kemana pun bertiga. Kami selalu saja menganggu hidup orang lain, suka tertawa terbahak-bahak jika bicara pakai volume yang besar, kami tak pernah peduli dengan kata orang lain, kami sibuk dengan dunia kami sendiri, sampai pacar pun tertinggal kan. Tapi di dalam kelompok ini hanya satu orang yang punya pacar yaitu yaitu kiran.
Dia wanita adalah buaya yang tidak tau di untung, setiap kami jalan ada saja orang yang suka menganggu kami bilang ini, bilang itu lah, padahal kami nggak cantik amat, jelek so pasti dong
" Woi, besar kali tawa kalian? "
Apa kata yang terlontar di mulut kami?
" Anjing! terserah kami lah, yang ketawa mulut kami, ada mulut kau yang kami pinjam? nggak kan? kenapa kau ouka yang sewot, orang yang ketawa kok kau yang ribut, Aneh.... sibuk ajalah hidup kau tu.." kata kiran
Ini dia wanita dengan mulut pedas, kecil-kecil cabe rawit yang sering digodain pria.
"Ayam yang berteluk kok pantat kau yang panas, mau jelek ke, mau cantik terserah kami la ketawa, kau uruslah hidup kau yang ndak pernah ketawa tu. Bentuk muka aja suram, pantaslah mulut kau tu ribut aja liat orang ketawa, soalnya hidup kau kurang bahagia kan? hahahahahhahahah" kata saya.
Kami tertawa terbahak-bahak, cira pun menurut,
"Iri aja kau liat orang cantik lewat, hahahahhaha"
Anak itu mengomentari kami,
"On deh yaii, Tampang kayak kalian aku iri, ya.. ndak la, cuman ketawa kalian tu yang nenek lampir, sakit ku dengarnya."
"Gampang, tinggal kau tutup aja telinga kau tu, apa susahnya" kata saya
" Aku rasa kalau volume suara kau di kecilkan juga ada susahnya"
"Kalau kami ndak mau, kayak mana?" nadial
"Woi tongos, kalau lebih keras lagi ketawa bisa-bisa gigi kau juga ikut lari sakin nggak kuatnya, hahahahahah"
"Tampang bibir terjulai gitu kok bangga, hati-hati nanti kalau nggak lantai licin" kata cira
pergi menjauh meninggalkab sekumpulan pria itu
"Anjiang, lu ngomong apa tadi"
pria itu pun di tertawa oleh sahabatnya, kami bertengkar tidak dengan volume kecil, melainkan volume maksimum. semua mata aka tertutup ke kami karena suara kami yang besar, guru pun hanya mampu melihat saja