webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
89 Chs

Bab 23. Rasa Cinta itu Tumbuh

La Mudu mengangguk-angguk pelan, menyelami kekhawatiran yang ada di hati gadis cantik berkulit putih bersih di depannya. Dan untuk menghilangkan kekhawatiran itu ia pun berkata, “Tak usah khawatir, aku jamin kalian akan aman dan baik-baik saja.”

“Kenapa Kak Mudu bisa memastikan seperti itu?”

“Aku tak menjawabnya sekarang atau kapan pun, tapi biarlah waktu yang memastikan keadaan itu,” jawab La Mudu, lalu tersenyum.

“Maksud Kakak?”

La Mudu hendak mengatakan sesuatu, tetapi saat ituterlihat suara La Pabisa, La Rangga Jo, La Lewamori, dan La Tunggara di bawah halaman rumah bersama kuda-kuda mereka. Kelihatannya tadi mereka sekalian mengambil rumput untuk kuda-kuda mereka.

“Dik Mei ajaklah aku ke pantai,” ucap La Mudu kepada Meilin. “Jauhkah dari sini?”

“Baiklah, Kak,”ucap Meilin. “Tak jauh, Kak. Di belakang desa ini pantainya.”

Keduanya pun turun dari tangga rumah. Kepada keempat teman barunya La Mudu pamit untuk jalan-jalan sebentar.

“Luar biasa cantik itu anak pemilik warung, laksana anafari (bidadari),” puji La Tunggara sembari terus memandang tanpa berkedip punggung Meilin hingga menghilang di sudut rumah warung.

“Iya, aku juga seumur-umur baru melihat gadis secantik itu,”timpal La Lewamori pula seraya menggeleng-geleng pelan.

“Cantik dan putih seperti angsa,”sambung La Pabise, tak mau kalah.

“Tapi yang beruntung La Mudu. Dia pemuda yang sangat beruntung,”ucap La Rangga Jo. “Dari tatapan dan lirikannya, gadis itu menyukai La Mudu.”

“Ya wajarlah, La Mudu kan ganteng, tak jelek seperti kau!” ejek La Pabise, disambut tawa oleh yang lain. La Rangga Jo pun menutup mulutnya dengan tapak tangannya untuk menyembunyikan tawa kecilnya.

Kepada kedua orang tua Meilin, Baojia dan Fang Yin, La Mudu tak lupa untuk meminta ijin untuk menajak jalan-jalan putrinya.

“Iya, silakan, tapi kalian yang hati-hati, ya?” ucap Baojia. Laki-laki hampir baya itu berdiri berdampingan dengamn istrinya, mamandang punggung putrinya Meilin dan Jawara Mudu yang melangkah menjauh dari mereka. Di wajah mereka menampakkan senyum, karena merasa senang putri mereka akhirnya bisa jalan-jalan dengan seorang pemuda. Mereka yakin, Jawara Mudu mampu menjaga Meilin dengan baik.

Seperti kata Meilin, pantai itu tak jauh, berada di belakang desa. Pantainya luas memanjang berpasir putih. Di sebelah timur laut tampak oleh La Mudu sebuah pulau kecil beruba sebuah gunung yang tinggi menjulang. Tak ingin penasaran dengan pertanyaan dalam hatinya, La Mudu bertanya kepada Meilin, “Apakah itu yang disebut Pulau Sangiang?”

“Benar, Kak, itulah Pulau Sangiang…”Sesaat Meilin menatap wajah pemuda dari samping. Terasa ada keheranan yang mencuat di wajah cantiknya dengan pertanyaan barusan. “Kakak orang asli negeri ini, kenapa tidak tahu tentang Pulau Sangiang?”

“Oh iya…,” spontan La Mudu menoleh dan seolah-olah agak kaget dengan pertanyaan dari Meilin itu, lalu ia tersenyum, dan, “Iya, benar. Tapi saya belum pernah menjelajahi penghujung timur pulau ini. Sejak kecil saya dibesarkan dan digembleng oleh guru saya di sebuah gunung, dan saya baru turun sekitar sebulan yang lalu.”

Wajah cantik Meilin kembali menyiratkan keheranan. Kedua alisnya saling merapat. “Maksud Kakak, seumur hidup Kakak, Kakak tak pernah turun dari gunung itu?”

“Iya, benar!” jawab La Mudu. “Sejak bayi saya diasuh, dibesarkan, dan digembleng oleh Dato Hongli. Beliau satu bangsa dengan Dik Meilin. Dia pendatang dari negeri Tiongkok.”

Meilin menatap wajah La Mudu sambil mengangguk-angguk kecil. “Lantas orang tua Kakak…?”

“Saya tidak pernah melihat wajah kedua orang tua saya,” potong La Mudu. “Konon, suatu peristiwa tragis telah menimpa mereka berikut seluruh warga desa lain. Ah, ceritanya panjang, Dik Mei. Tapi yang pasti, keluarga saya telah dibantai oleh kelompok manusia durjana secara sadis dan tak berperikemanusiaan.”

“Ya, Dewa…,” spontan terlontar ucapan dari bibir Meilin. “Meilin turut prihatin ya, Kak.”

“Ya, terima kasih,” sahut La Mudu, tanpa menoleh kepada Meilin. Tatapan sepasang mata elangnya diarahkan ke Pulau Sangiang. Pulau yang merupakan sarangnya manusia durjana yang telah membantai keluarganya.

“Kalau boleh Mei tahu, siapa kelompok durjana itu, Kak?”

La Mudu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Suasana tempat itu sepi, hanya mereka berdua yang ada di pantai panjang tersebut. Deburan ombak-ombak kecil tiada henti, dan ditingkahi oleh sekawanan burung camar yang terbang ke sana ke mari. “Dik Mei bisa pegang rahasia?”

“Tentu, Kak Mudu. Rahasia apa itu?”

La Mudu menegangkan lehernya seraya memandang kea rah Pulau Sangiang. “Kelompok durjana itu adalah yang bersarang di Pulau itu.”

Meilin sontak menoleh. Ada kekagetan yang mencuat di wajah cantiknya. “Maksud Kakak, gerombolannya La Afi Sangia…?” Ia mengecilkan suaranya.

“Iya!Merekalah manusia durjana yang telah membantai keluarga saya berikut seluruh warga desa,” ucap La Mudu tanpa mengalihkan pandangannya dari pulau bergunung di timur laut sana. “Menurut guru saya, Dato Hongli, ayah saya dulu adalah seorang kepala desa di sebuah desa yang bernama Tanaru, terletak di ujung timur pulau ini. Kedua orang tua saya dibantai bersama seluruh warga desanya sebelum desanya dibumihanguskan. Dan menurut informasi yang Dato Hongli dapatkan, bahwa saya mempunya kembaran dampit, kembaran perempuan. Tetapi entah dia pun ikut terbunuh dan hangus bersama warga desa lain.”

“Meilin ikut prihatin Kak. Semoga keluarga Kak Mudu tenang di alam sana.”

“Terima kasih, Dik Mei,” sahut La Mudu.

“Lantas bagaimana ceritanya Kakak sendiri bisa hidup lalu dipungut oleh Dato Hongli?”

“Menurut Dato Hongli, saya pun ikut terbantai dan terbakar dengan seluruh warga desa lainnya, tetapi ajaibnya, saya masih mampu bertahan hidup. Menurut saya, itu sebuah keajaiban, tetapi menurut Dato Hongli saja adalah bayi titisan para dewa. Entahlah. Terkadang di atas dunia ini terjadi peristiwa-peristiwa di luar nalar manusia.”

Meilin mengangguk-angguk pelan. “Lalu tujuan sebenarnya Kakak ke pulau itu Kakak hendak menuntut balas?”

“Lebih tepatnya, saya akan mengakhiri kedzoliman mereka selamanya di atas muka bumi ini, Dik Mei. Kata Dato Hongli, sudah saatnya para manusia durjana itu dilenyapkan, demi masa depan kehidupan semua orang.”

Meilin memandang pada La Mudu dengan tatapan tanpa berkedip. Namun di rona wajah yang mutih kemerahan itu tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya. “Tapi mereka sangat kuat dan bengis, Kak. La Afi Sangia adalah seorang jawara yang berilmu sangat tinggi dan memiliki anak buah ribuan, apakah Kak Mudu mampu menaklukkan mereka seorang diri?”

La Mudu mendongak ke langit biru. “Tidak, saya tidak sendiri, saya bersama Dewata Agung,” ucap La Mudu tenang, tanpa sedikit pun kekhawatiran dari wajah dan suaranya. “Dato Hongli pun meyakinkan saya, bahwa saya akan mampu menaklukkan La Afi Sangia itu.”

“Semoga Dewata Agung senantiasa melindungimu, Kak.” ucap Meilin.

“Terima kasih, Dik Mei, atas harapannya,” balas La Mudu.

Tiba-tiba Meilin terisak, membuat La Mudu langsung menoleh.“Ada apa, Dik Mei? Apa yang membuatmu tiba-tiba bersedih?”

“Jujur, Kak Mudu, keluarga kami juga pernah kena pendzoliman oleh orang-orangnya La Afi Sangia. Kakak laki-lakinya Mei pun pernah nyaris dibunuh andaikata ayahnya Mei tak menebus dengan harta. Dulu kehidupan keluarga kami makmur, tetapi setelah nyaris semua harta kami diserahkan kepada orang-orangnya La Afi Sangia, kami jatiuh miskin. Kami pun memulai dari awal dengan usaha membuka warung makan itu. Itu pun setiap kali mereka masuk daratan, kami wajib melayani makan mereka secara cuma-cuma.”