Sampai di gedung rumah sakit, Nastya segera masuk ke dalam lift, naik ke lantai empat menuju ruang kerja Dokter Kavin.
Sesampainya di sana, ia segera mengetuk pintu.
"Masuk!"
Nastya mendorong pintunya dengan pelan, terlihat pria tampan berbaju putih duduk di meja kerjanya sambil tersenyum.
"Masuklah!"
"Terima kasih!" Nastya segera masuk ke dalam.
"Duduklah!"
"Ya, terima kasih!" Nastya duduk di kursi depan Dokter Kavin.
"Ada apa? Apa kau sakit?" tanyanya dengan lembut dan sedikit berbeda. Tidak seperti dokter lain yang sedang bertanya pada pasiennya.
"Dahimu kenapa?" tunjuk Dokter Kavin dengan kening yang mengkerut. "Apa kau jatuh?"
"Tidak!" Nastya menggelengkan kepala.
"Inilah alasanku datang kemari." Nastya mulai menjelaskan, "Tadi, aku berkelahi dengan teman, dia menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke dinding beberapa kali. Sekarang, bukan hanya dahi yang terluka, tapi kepalaku terasa sakit. Rasanya mau pecah."
Itulah alasan dirinya memutuskan untuk pergi menemui Dokter Kavin. Jika hanya luka lecet saja tidak disertai dengan rasa sakit di kepala, dirinya tidak akan datang ke rumah sakit untuk diperiksa. Ia datang ke rumah sakit, karena rasa rasa sakit di kepalanya sudah sangat mengganggu.
"Oh ... hahaha!" Dokter Kavin malah tertawa mendengar cerita Nastya. "Kau berkelahi dengan seorang wanita? Saling jambak?"
Dengan polos, Nastya mengangguk. "Iya!"
"Kenapa harus berkelahi segala? Apa karena memperebutkan pria, ya?" Itulah yang selalu ia lihat di film-film. Dua wanita bertengkar dan saling jambak karena memperebutkan satu pria.
"Pria di dunia ini sangat banyak. Kenapa sampai harus berkelahi segala?" Kavin masih saja salah sangka. Membuat Nastya tidak nyaman.
"Tidak! Bukan seperti itu!" Ia segera membenarkan, "Kami berkelahi karena aku mencekiknya duluan. Dia mengataiku banyak hal, menghinaku ini dan itu. Jadi aku menyerangnya."
"Oh, aku kira karena seorang pria!"
"Bukan!"
Dokter Kavin merasa lega. "Baiklah! Coba aku periksa."
Ia bangkit dari duduknya, berjalan menuju tempat tidur untuk pasien. "Berbaring di sini. Aku akan mengobati lukamu dulu."
Nastya dengan patuh naik ke atas tempat tidur, berbaring di sana. Kepalanya masih terasa sakit, apalagi kalau tidur seperti itu.
"Apa sungguh sangat sakit?" Dokter Kavin melihat ringisan Nastya lagi. Wanita itu mulai memejamkan mata.
"Hemmm!" Nastya mengangguk.
"Baiklah! Tunggu sebentar, aku ambil obat dulu!"
Dokter Kavin mulai mengobati luka Nastya, dari dahi, tangan, siku, bahkan kaki.
Ketika akan mengobati luka gores di wajah karena cakaran dari Ralin, Dokter Kavin diam sejenak. Tangannya sudah terangkat, namun ia turunkan. Jarak mereka sangat dekat, hembusan napas keduanya bisa mereka rasakan.
"Kenapa?" tiba-tiba Nastya bertanya, melihat Dokter Kavin terdiam masih mengangkat tangannya.
"Eh, tidak!" Dokter Kavin segera tersadar. Ia gugup melihat wajah cantik Nastya dari dekat. "Aku akan mengobati luka di wajahmu."
Dokter Kavin mulai mengobati lukanya. Tangannya sedikit bergetar karena gugup.
Ini pertama kalinya Dokter Kavin bertingkah aneh selama bekerja menjadi dokter. Dirinya gugup karena mengobati pasien wanita. Padahal, sudah lima tahun bekerja menjadi dokter, sudah ratusan bahkan ribuan wanita yang ia obati. Belum pernah ia merasakan gugup seperti ini.
"Sudah!" Dokter Kavin membereskan semua alat-alat yang dipakai untuk mengobati lukanya. Beranjak pergi, lalu menyiapkan obat untuk Nastya.
"Untuk melihat luka benturan di kepala, kita akan melakukan rontgen." ucap Dokter Kavin yang kini sudah duduk di mejanya.
Nastya bangkit dari tidurnya, berjalan menghampiri Dokter Kavin.
"Apa sekarang bisa?" Lebih cepat, itu akan lebih baik. Nastya ingin segera mengetahui penyebab kepalanya sakit.
"Bisa! Kita akan melakukan rontgen sekarang!" Dokter Kavin bangkir berdiri. "Sekarang, ikut denganku!"
Dia membawa Nastya pergi ke ruangan khusus untuk rontgen.
Setelah selesai, mereka kembali ke ruangan Dokter Kavin.
"Hasilnya baru besok akan keluar. Sekarang, ini obat untukmu, makanlah dengan teratur!" Dokter Kavin memberikan empat macam obat pada Nastya. "Semuanya dimakan tiga kali sehari, setelah makan, ya!"
"Baik!" Nastya mengambil obat itu. "Besok, jam berapa aku kemari lagi?"
"Terserah kau saja! Mau malam seperti ini juga tidak masalah!" jawabnya sedikit bercanda.
"Hehe ... baiklah! Besok malam aku kemari lagi, ya. Kalau siang, takutnya kau sibuk," ucap Nastya.
"O, iya! Aku harus membayar biaya pemeriksaannya ke mana?" Nastya baru ingat, dirinya datang tanpa mendaftar dulu. Langsung masuk dan minta diperiksa.
Memangnya rumah sakit ini milik nenek moyangnya?
"Tidak perlu!" tolak Dokter Kavin. "Sekarang pulanglah! Makan dulu, baru minum obatmu. Jangan lupa istirahat yang cukup."
"Eh, masa tidak dibayar? Aku tidak enak!" ucapannya dengan malu.
Hanya karena rasa sakit di kepala, Nastya jadi melupakan hal penting ini.
"Sungguh, pulanglah! Kau tidak perlu membayar apapun." Dokter Kavin masih menolaknya. "Apa kau aku antar?"
"Ah, tidak ... tidak! Aku bisa pulang sendiri." Nastya bangkit berdiri. "Aku pulang dulu besok kemari lagi, sambil membayar semua biaya pengobatan."
"Hehe ... oke! Terserah kau saja!" ucap Dokter Kavin. Yang terpenting, besok Nastya kemari lagi. Itu sudah membuatnya sangat puas.
Nastya pun segera pergi meninggalkan rumah sakit. Ia kembali menggunakan taksi untuk pulang ke rumah.
Di perjalanan pulang, Nastya mendapati ponselnya berdering. Sebuah panggilan telepon dari Rastya terlihat di layar ponselnya.
"Ada apa?" Nastya segera menekan tombol hijau.
Terdengar suara kepanikan dari seberang telepon. "Nas-Nastya, cepat tolong aku!"
"Rastya ... ada apa?" tanya Nastya tidak mengerti, juga sangat terkejut. "Sekarang kau di mana?"
"Aku di klub malam Mahandi. Cepat, datanglah!" lirih Rastya penuh ketakutan.
"Apa yang terjadi, Rastya? Apa kau dalam bahaya?" tanya Nastya memastikan.
"Cepatlah, aku tidak punya waktu lagi. Cari aku di ruangan nomor 201 ...."
Tut! Tut! Tut!
Tiba-tiba telepon terputus.
"Eh, halo ... halo, Rastya?" Suara Rastya sudah tidak ada lagi.
"Aish, sial!"
Nastya segera penyimpan ponselnya ke dalam saku sweater. Meminta sopir taksi untuk memutar arah.
"Antar aku ke klub Mahandi. Cepat!"
"Baik, Nona!"
Untuk jaga-jaga, Nastya segera mengirim pesan pada Giovani. Memberitahu sahabatnya, bahwa malam ini ia akan pergi ke klub malam Mahandi, untuk mencari Rastya.
*
Tiba di Mahandi Club, Nastya segera masuk ke dalam. Suara berisik dengan lampu warna-warni yang terus berputar, membuat kepalanya kembali sakit.
"Argghh!" Nastya mencengkram kepalanya sendiri. Menahan rasa sakit dengan sekuat tenaga. Dirinya harus kuat, harus bisa menemukan Rastya dan membawanya keluar dari klub ini.
Nastya bertanya terlebih dahulu, di mana ruangan nomor 201. Setelah tahu bahwa itu ada di lantai dua, Nastya segera naik ke atas.
Berjalan di lorong yang sangat panjang untuk mencari pintu ruangan nomor 201, Nastya seolah sedang berjalan di dalam gua, terasa gelap dan juga dingin. Entah hanya perasaannya saja, atau memang suasana di tempat ini memang seperti ini. Ia tidak tahu.
Ketika sampai di depan pintu nomor 201, dengan ragu Nastya segera mengetuk pintu tiga kali. Ia takut Rastya berbohong. Mengatakan di ruangan nomor 201, padahal bohong.
Tidak lama, pintu ruangan terbuka.
"Mau mencari siapa?" tanya seorang pria yang membuka pintu.
"A-apakah di dalam a-ada yang bernama Rastya?" tanyanya dengan gugup.
Pria itu terdiam sejenak, menatap Nastya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tiba-tiba keningnya mengerut.
"Apa kau adalah wanita yang akan menemani Rastya bermain?" tanyanya dengan ragu. Pasalnya, tadi, Rastya mengatakan, akan mengajak satu wanita lagi untuk bermain. Tapi, melihat penampilan wanita di depannya, hanya mengenakan celana pendek dan sweater besar di tubuhnya, sangat tidak cocok dengan keadaan di dalam ruangan 201.
"A-aku bukan mau ikut bermain. Ta-tapi ... mau mengajak Rastya pulang!" jawab Nastya masih dengan gugup.
"Hah ...."
Dari dalam ruangan, terdengar suara yang tidak asing. "Nastya, kau sudah datang? Ayo masuk!" Ia ditariknya ke dalam ruangan itu.