Di sebelah utara kota itu, Giovani sedang menemani Nastya melihat-lihat bangunan rumah yang akan dijual. Ia menemukan informasi rumah yang akan dijual ini dari situ jual beli online yang ada di internet, atas permintaan Nastya.
"Nas, menurutku, rumah ini cukup bagus!" ucap Giovani ketika mereka berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. "Walau tidak terlalu besar, tapi, bisa untuk membuka kedai mie, atau bahkan rumah makan. Tinggal direnovasi sedikit, dicat lagi, didekorasi semenarik mungkin. Sudah, jadi!"
"Emhhh, ya!" Nastya hanya mengangguk. Tidak menanggapi ide Giovani dengan serius. Karena, ia sadar, dirinya tidak punya pengalaman di bidang kuliner. Mungkin akan sulit baginya menjalankan usaha seperti itu.
Tiba di lantai dua, ada satu ruangan yang cukup luas, dan dua kamar tidur. Giovani dan Nastya segera melihat ke dalamnya.
Giovani kembali berpendapat, "Di lantai dua ini, bisa untuk kau tinggali. Bukankah rumahmu sudah dijual?"
Giovani dan Alika tidak tahu, bahwa Nastya sudah menikah dengan ayahnya Narendra, juga tinggal di rumahnya. Yang mereka tahu, rumahnya dijual, dan Nastya tinggal ... entah di mana.
Nastya mengangguk, mengiyakan.
"Kalau begitu, kau bisa tinggal di lantai dua, dan lantai satunya bisa kau pergunakan untuk tempat usaha." Ini ide yang cukup baik untuk Nastya. Bukan hanya bisa dipakai untuk tempat usaha, tapi juga bisa untuk tempat tinggal.
Daripada tinggal di luar, lebih baik Nastya tinggal di rumahnya sendiri, kan?
"Boleh juga!" Nastya menatap setiap sudut ruangan dengan teliti. Sepertinya rumah ini tidak terlalu buruk.
"Bagaimana, apa Anda cocok dengan rumah ini, Nona?" tanya seseorang yang baru datang. Dia adalah sang pemilik rumah.
"Iya, ini lumayan bagus!" Nastya menghampiri pria berusia empat puluh tahunan itu. "Harganya, apa masih bisa diturunkan?"
"Haha ... jika Nona sudah cocok, masalah harga, masih bisa diatur!" ucap pria itu dengan ramah.
"Oh, baiklah!"
Mereka kembali ke lantai satu untuk membicarakan masalah harga. Setelah turun sedikit, Nastya dan pria itu sepakat. Mereka segera melakukan transaksi jual beli.
Setelah menandatangani surat perjanjian jual beli yang sudah dipersiapkan oleh Giovani sebelumnya, dan mentransfer uang ke rekening pria tersebut, Nastya sudah resmi membeli rumah dengan bangunan dua lantai yang berada di sebelah utara kota itu. Tepatnya di pinggir jalan yang cukup ramai.
"Sebelumnya, saya mau meminta izin terlebih dahulu pada Nona!" ucap pria itu dengan ragu, setelah selesai melakukan transaksi. "Jual beli rumah ini terlalu mendadak, saya belum ada persiapan apapun, belum mengemas semua barang-barang. Bagaimana kalau saya meminta waktu satu minggu untuk memindahkan semua barang-barang yang ada di rumah ini?"
"Tidak masalah!" Nastya setuju.
Ia pun tidak mungkin memaksa pria itu untuk segera mengosongkan rumah ini dalam waktu satu hari.
"Saya akan mengurus akta jual beli bangunan ini terlebih dahulu. Setelah selesai, barulah saya renovasi," jawab Nastya. "Jadi Anda bisa mengemas semua barang-barang Anda, sebelum saya merenovasi rumah ini."
Pria itu sangat lega. "Terima kasih, Nona!"
"Baiklah, semuanya sudah jelas! Sekarang, kami permisi dulu!" Nastya bangkit berdiri, diikuti oleh Giovani.
"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih, Nona!"
Nastya mengangguk. Ia dan Giovani segera pergi meninggalkan rumah itu. Giovani mengendarai mobilnya menuju pusat kota.
Di dalam mobil, Nastya menatap pria yang duduk di sampingnya. "Gio, aku ucapkan terima kasih atas semua bantuanmu! Jika tidak ada kau, aku tidak mungkin membeli rumah dengan posisi sebagus itu."
"Hey, bukankah kita adalah teman baik? Mengapa harus berterimakasih? Ini sudah seharusnya aku lakukan sebagai teman baikmu!" jawab Giovani dengan serius.
"Tapi ...jika kau tetap ingin berterimakasih, traktir makan saja, aku! Perutku sungguh lapar," candanya tiba-tiba sambil mengelus perutnya yang rata.
Nastya pun tersenyum.
"Hanya makan? Baiklah, itu hal kecil," balas Nastya, bercanda juga. "Kau ingin makan di mana? Di restoran Jepang? Restoran Italia? Atau di mana, terserah kau saja!"
"Eemmmm, di mana, ya?" Giovani pura-pura berpikir. "Aku ingin makan di restoran termahal di kota ini."
"Baiklah! Tidak masalah! Ayo kita pergi ke restoran Wabae Food, yang ada di pusat kota. Kau boleh memesan makanan apapun, sesukamu!"
"Dengan senang hati, Nona!" canda Giovani.
Mobil segera melaju dengan cepat menuju restoran Wabae Food yang ada di pusat kota itu. Salah satu restoran dengan harga makanan yang cukup mahal dengan rasa yang sangat lezat.
*
Hari sudah sore, Nastya dan Giovani duduk di salah satu meja di lantai dua dengan dinding kaca di sampingnya hingga ke langit-langit. Bisa makan sambil menikmati pemandangan indahnya kota di sore hari dari sana.
Nastya dan Giovani sudah memesan beberapa hidangan, yang kelihatannya sangat enak—dilihat dari daftar menu. Beberapa saat kemudian, pelayang datang membawakan pesanan mereka.
"Waw ... wanginya ... harum!" Giovani menghirup dalam-dalam bau masakan. "Ini pasti sangat lezat!" Ia tidak sabar ingin segera mencicipinya.
Giovani mengangkat garpu dan sendoknya, bersiap untuk menyantap semua makanan yang ada di atas meja.
"Makanlah!" ucap Nastya.
"Mari makan ...."
Ketika satu suapan masuk ke dalam mulut, cita rasa dari makanan itu langsung memenuhi semua indra perasa di lidah. Bukan hanya enak, tapi juga sangat ... sangat lezat. Giovani dan Nastya dengan serius menikmati setiap suapan makanan yang masuk ke dalam mulut.
Dari meja yang cukup jauh dari mereka, ada sosok yang tidak asing sedang duduk dan makan dengan beberapa orang di salah satu meja.
Nastya menelan semua makan yang baru masuk ke dalam mulut, menyimpan sendoknya pelan, dengan tatapan tidak beralih dari orang-orang itu.
"Ada apa?" tanya Giovani, menyadari tingkah aneh sahabatnya. Ia mengikuti arah padangan Nastya.
"Bukankah itu Narendra dan Ralin?" tanya Giovani tiba-tiba.
"Sedang apa pelakor itu di sini?" ucapnya lagi, dengan kesal.
Giovani tahu, dulu, mereka berempat adalah berteman baik. Tapi, pertemanan mereka berakhir tatkala Ralin memilih untuk merebut pacar dari sahabatnya sendiri. Giovani dan Alika, tidak suka dengan hal itu.
"Tunggu di sini!" tiba-tiba Nastya bangkit berdiri, bersiap untuk pergi.
"Hey, kau mau pergi ke mana?" Giovani menahan tangan Nastya, tidak membiarkan dia pergi. "Jangan membuat keributan di sini."
"Siapa yang mau membuat keributan? Aku masih waras!" Nastya mengangkat sudut bibirnya.
"Nih, nanti, bayar semua tagihan makannya." Nastya mengeluarkan kartu kredit dari dalam tasnya. Ia letakkan di atas meja. "Pesan lagi makanan yang kamu mau. Password-nya tanggal lahirku!"
Setelah mengatakannya, lalu ia pergi menghampiri meja itu.
Giovani tidak mengerti apa yang akan dilakukan Nastya pada Narendra dan Ralin. Ia hanya bisa menonton keributan itu dari mejanya sendiri. Ia pun sudah bersiap, akan membantu Nastya jika sampai ada perkelahian di sana.
Tiba di meja itu, bukannya membuat keributan pada Narendra dan juga Ralin, Nastya malah menyapa seorang pria yang ada di sana.
Dia adalah Hindra Adipraja ... ayah dari Narendra sendiri.
"Halo, Sayang! Maaf sedikit terlambat, di jalan sangat macet!" ucap Nastya pada Hindra, membuat pria itu menatapnya dengan bingung.
"Halo semua!" Lalu, ia menyapa dua rekan bisnisnya.
"Eh, istrimu juga ada di sini?" ucap salah satu rekan Hindra, yang waktu itu pernah bertemu dengan Nastya di acara jamuan makan malam. "Apa kalian janjian?"
"Tid—"
"Yah, dia memintaku untuk datang ke restoran ini," potong Nastya, membuat Hindra semakin bingung. "Tidak apa-apa, kan, aku ikut bergabung?"
"Ahaha, tentu saja tidak! Ayo, silahkan duduk!" Pria itu segera berpindah tempat, memberikan kursi duduknya untuk Nastya karena kursi itu tepat di samping Hindra.
"Terima kasih!" Tanpa rasa malu Nastya duduk di samping Hindra.
"Eh, ada Narendra juga!" Ia pura-pura baru melihatnya. "Sungguh senang, bisa makan bersama dengan suami, teman dan juga anak," ucapnya dengan sengaja. Membuat Narendra mengepalkan tinjunya di bawah meja.
"Aku iri pada kalian, sungguh keluarga yang harmonis!" ucap teman Hindra dengan perasaan salut.