webnovel

Pelayan Itu Adalah Pengeran Baruku

Laki-laki macam apa yang akan lebih dipilih seorang gadis? Seorang CEO yang kaya, cerdas, sukses dan bersifat manis, atau justru sosok pelayan yang kalem, maskulin, dan 100% setia merawatmu setiap saat? Dilema inilah yang sedang dialami Citra, seorang artis populer berumur 20 tahun. Apakah dia menginginkan seorang pangeran, atau apakah hidupnya justru akan lebih baik kalau didampingi seorang pelayan setia? Citra harus segera memutuskan siapakah tunangannya yang sebenarnya, dan ini benar-benar membuatnya gundah! “ Aku mencintai Miko!” Tapi Miko tidak bisa mencintai Citra karena hatinya hanya untuk Yulia, mantan Miko. Lalu apa yang harus Citra lakukan? Haruskah dia merelakan cinta pertamanya hilang? Apa dia harus membuka hatinya untuk seorang pelayan!? Yang benar saja!

Engladion · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
420 Chs

Pengawal Pribadi yang Selalu Ada di Sisinya

"Mau pergi kemana? Mobilmu tidak ada di sana, 'kan?" tanya pria yang sedang bersama dengan Satya. Satya menutup telinga dan berjalan langsung ke arah Citra.

Citra tidak tahu apa yang penggemarnya lakukan sekarang. Tapi, dia bisa merasakan ada cairan hangat yang menetes dari dahinya. Dia tertegun. Itu darah!

Pada saat itu, hanya ada satu hal yang terlintas di pikiran Citra. Tidak ada yang boleh melihatnya saat dia sedang terluka. Dia ingin menangis, tapi tidak bisa.

Citra merasa sangat bingung untuk beberapa saat, sehingga dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi semua ini. Dia bahkan berharap bisa menghilang begitu saja. Dia tidak ingin siapa pun melihat keadaannya saat ini. Sesuatu dilempar lagi ke arah Citra, dan dia mengangkat tangannya tanpa sadar untuk melindungi kepalanya. Namun, matanya tiba-tiba menjadi gelap, dan aroma napas yang familiar menyelimuti tubuhnya dan indra penciumannya.

Suara rendah seorang pria terdengar tepat di atas kepalanya, "Apa yang Anda lakukan di sini, nona? Apakah nona tidak takut akan terkena senjata yang dibawa oleh orang-orang itu?" Satya sangat tinggi hingga tubuhnya bisa melindungi Citra dari segala sisi.

Dalam cahaya redup, jika tidak dilihat dengan seksama, orang-orang tidak akan bisa tahu bahwa itu Satya dan orang yang ada di hadapannya adalah Citra. Tetapi begitu pria ini muncul, perhatian beberapa orang tertarik pada mereka berdua. Satya menundukkan kepalanya, menurunkan pandangannya untuk melihat noda dan darah di dahi Citra. Lalu, dia melirik ke arah Miko dan Yulia di sana, tatapannya menjadi tajam.

Citra menarik lengan bajunya dan membisikkan namanya, "Satya." Satya mengangkat tangannya dan memeluk Citra. Dia menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah sakit agar bisa mendapat pertolongan, "Anda terluka, saya akan membawa nona ke dalam untuk mengobati luka itu." Tingkah laku Satya membuat lebih banyak orang melihat mereka berdua.

Citra langsung membenamkan wajahnya di pelukan pria itu, ingin menyembunyikan dirinya agar tidak ada yang menyadari keberadaannya. Ketika Satya berbalik, tatapannya mengarah pada Miko dan Yulia dengan acuh tak acuh. Di saat yang sama, matanya secara tidak sengaja bertemu dengan mata Miko. Pria itu mengerutkan kening saat melihat Citra dan Satya sedang bersama. Hati Miko tiba-tiba terasa panas, dan ada rasa marah yang tak terbendung di hatinya. Rasanya seperti dia mencoba meraih suatu benda, tetapi benda itu menghilang bersama angin.

Citra menunduk, menggosok dahinya dengan mantelnya dengan perlahan, tapi itu semua sia-sia, rasa sakit di dahinya membuatnya terdiam dan tanpa sadar air mata mengalir dari mata indahnya. Satya menatapnya dan menegur, "Jangan menyentuh lukamu, nona." Citra tidak menghiraukannya, "Aku tidak akan pergi ke rumah sakit, kamu bawa aku pulang saja."

Satya tetap mengelak, "Luka itu perlu dirawat dulu. Setelah nona mendapat perawatan dari dokter, saya akan mengantar nona pulang."

"Luka ini bukan apa-apa," jawab Citra dengan tegas.

Kini Satya yang tidak memedulikan perkataan Citra. Dia bahkan tidak menatap gadis itu kali ini. Dia tidak berhenti dan tetap berjalan ke arah rumah sakit. Citra meninggikan suaranya, "Aku memintamu untuk mengantarku pulang, kamu dengar itu?"

Pria itu berkata dengan ringan, "Anda bisa berteriak seperti itu sesuka Anda, tapi saya akan tetap membawa Anda masuk dan menemui dokter."

"Satya!" bentak Citra. Satya adalah orang yang sangat sabar, jadi dia berkata dengan lembut, "Ayah nona berkata bahwa jika ini menyangkut keselamatan pribadi Anda, maka saya harus bersikap tegas."

Citra memandangi rahang Satya yang terlihat maskulin. Dia tidak pernah merasa begitu diperhatikan oleh seorang pria. Tunangannya yang sangat dia cintai justru sedang asyik melindungi mantan kekasihnya yang sudah menikah dan mengabaikannya. Semakin Citra memikirkannya, dia semakin sedih. Air mata jatuh dari matanya yang memerah. Bahunya mulai berguncang hebat seiring dengan tangisnya yang semakin tak terbendung. Dia berbaring di pundak Satya dan membenamkan wajahnya di sana.

Satya berhenti dan melihat ke bawah pada mantelnya yang sudah basah oleh air mata Citra. Satu-satunya kaos tipis di tubuhnya juga ikut basah karena gadis itu tidak berhenti menangis dari tadi. Ketika Citra menangis, dia tidak secantik di TV. Saat ini, semua air mata dan ingusnya menempel di pakaian Satya, membentuk bekas yang tidak beraturan. Satya menutup matanya sebentar. Setelah itu, dia mendekap wanita yang sedang menangis hebat itu. Dia adalah gadis yang manis, jadi hatinya terasa seperti tersayat saat melihat gadis ini menangis. Suara pria itu rendah, tapi kali ini sangat lembut, "Jangan menangis, nona. Semuanya akan baik-baik saja."

"Antar aku pulang. Aku tidak akan pergi ke rumah sakit!" bentak Citra di sela-sela tangisnya. Satya memandang rumah sakit tepat di depannya, lalu menatap Citra yang matanya memerah. Tiba-tiba, sebuah mobil sport berwarna perak yang mempesona mendekat ke arah mereka. Pria yang ada di dalam mobil itu melihat ke arah Citra yang dipeluk oleh Satya, dan sedikit mengangkat alisnya, "I-ini Citra?"

Satya tanpa ekspresi. Dia berkata, "Apakah bisa mengantar kami?" Tanpa menunggu jawaban dari pria yang ada di mobil yang ternyata temannya itu, Satya langsung membuka pintu di kursi belakang mobil. Dia menggendong Citra untuk masuk ke dalam mobil, dan memandang dingin ke temannya yang masih berdiri di luar mobil sport itu. Teman Satya bertanya, "Apa dia menangis?"

Satya tidak menjawab. Bukankah sudah terlihat jelas bahwa pakaiannya kotor karena ingus dan air mata wanita itu? Kenapa temannya itu masih bertanya?

Teman Satya akhirnya masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi. Dia melihat Citra yang masih menangis dengan wajah kotor penuh telur melalui kaca spion, dan menyerahkan beberapa tisu ke kursi belakang. Satya mengulurkan tangan dan mengambilnya. Citra awalnya ingin mengambilnya, tetapi pria di sebelahnya mengambilnya sebelum dia mengangkat tangannya. Dia menerima begitu saja saat Satya menyeka wajahnya yang kotor karena telur, darah, air mata, dan ingus yang bercampur jadi satu. Citra bahkan menutup matanya tanpa sadar.

Tapi setelah itu, dia membuka matanya dan memiringkan kepalanya untuk melihat pria di sampingnya. Satya sedang menggunakan tisu untuk menyeka kotoran dari wajah Citra yang menempel di bahunya. Tentu saja Citra tahu bahwa dialah yang menyebabkan pakaian Satya menjadi kotor.

Citra tidak mengatakan apa-apa saat melihat Satya. Dia hanya menggigit bibir dan melihat ke luar jendela mobil dengan lesu. Air matanya masih menetes seolah tidak pernah bisa berhenti, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.

Satya masih sibuk membersihkan pakaiannya, jadi dia tidak memperhatikan gadis yang ada di sebelahnya. Akan tetapi, temannya yang sedang mengemudi di depan menunjukkan senyum menggoda melalui kaca spion. Dia sudah berteman dengan Satya selama bertahun-tahun, tentu saja dia tahu bahwa Satya memang memiliki aura seperti anak bangsawan. Bahkan sebagai temannya, hingga saat ini dia masih tidak bisa percaya bahwa Satya adalah seorang pengawal pribadi.

Teman Satya mengulurkan tangan dan memberikan kotak tisu ke kursi belakang. Suaranya sangat seksi, "Citra, ini. Kamu bisa pakai tisu ini."

Citra sedikit malu, tapi dia mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Kata terima kasih belum diucapkan, tapi teman Satya sudah menjawab, "Sama-sama." Sebelum Citra bisa mengambil selembar tisu dari kotak itu, wajahnya tiba-tiba disentuh oleh jari-jari yang hangat dan kuat. Kini pandangannya mengarah tepat pada wajah tampan di sampingnya itu.