webnovel

Pelayan Itu Adalah Pengeran Baruku

Laki-laki macam apa yang akan lebih dipilih seorang gadis? Seorang CEO yang kaya, cerdas, sukses dan bersifat manis, atau justru sosok pelayan yang kalem, maskulin, dan 100% setia merawatmu setiap saat? Dilema inilah yang sedang dialami Citra, seorang artis populer berumur 20 tahun. Apakah dia menginginkan seorang pangeran, atau apakah hidupnya justru akan lebih baik kalau didampingi seorang pelayan setia? Citra harus segera memutuskan siapakah tunangannya yang sebenarnya, dan ini benar-benar membuatnya gundah! “ Aku mencintai Miko!” Tapi Miko tidak bisa mencintai Citra karena hatinya hanya untuk Yulia, mantan Miko. Lalu apa yang harus Citra lakukan? Haruskah dia merelakan cinta pertamanya hilang? Apa dia harus membuka hatinya untuk seorang pelayan!? Yang benar saja!

Engladion · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
420 Chs

Cinta Sejati

"Bukankah Miko mengatakan bahwa dia yang akan menjemput Citra? Mengapa dia malah memintamu?" tanya Bening memastikan.

Sopir itu sedikit ragu, "Ini… Saya tidak tahu tentang urusan pribadi Tuan Miko. Saya hanya mematuhi perintah darinya."

Bening sangat kecewa dengan Miko. Terlebih, Citra jarang menceritakan padanya tentang hubungan antara dia dan Miko. Dia hanya mengatakan bahwa pernikahan mereka akan dipercepat. Tapi kenapa pria itu masih tidak peduli pada Citra? Setelah terdiam sejenak, Bening membangunkan Citra, "Citra, kita akan pulang. Cepat bangun."

Citra mendengarkannya dan berdiri, tetapi dia tidak bisa berdiri dengan tegap dan terhuyung-huyung. Dia hampir jatuh. Bening bergegas membantunya. Sopir Miko juga melihat bahwa Citra kesulitan untuk berdiri, jadi dia ingin membantunya. Tetapi wanita yang terlihat mabuk itu tiba-tiba bangun, jadi dia mengurungkan niatnya.

Bening juga hendak menepis tangan sopir Miko tadi. Dia dan Citra adalah teman sekelas saat SMA, jadi dia sangat mengenal Citra. Citra sangat tidak suka terhadap kontak fisik, terutama dengan pria yang tidak dikenalnya. Namun, kekuatan Bening terbatas dan dia tidak bisa menahan Citra lagi. Citra terhuyung mundur dan tubuhnya langsung mengenai orang di belakangnya. Napas yang familiar menyelimuti Citra, dan kemudian dia dipeluk oleh orang yang ternyata adalah Satya.

Satya memeluknya, menatap Bening yang tercengang, dan berkata dengan suara rendah, "Terima kasih, Nona Bening. Bisakah Anda membantuku untuk mengambil tasnya?"

Bening melihat ke belakang dan buru-buru mengambil tas Citra dari kursinya. Dia berkata kepada sopir Miko, "Bapak bisa pulang dulu, pengawal Citra ada di sini, jadi bapak tidak perlu mengantarnya."

Sopir Miko memandang punggung pria itu yang tinggi dan tegap. Dia masih tidak percaya bahwa Satya adalah seorang pengawal.

Di sisi lain, Bening sedang bersusah payah untuk mengimbangi langkah kaki panjang Satya. Dia bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi, "Bukankah kamu mengatakan bahwa Miko yang akan datang untuk menjemput Citra? Kenapa malah kamu yang datang?"

Pria itu berkata dengan santai, "Dia tidak ada di sini. Lagipula Nona Citra tidak suka diantar orang asing." Bahkan jika Miko benar-benar datang, pria itu belum pernah menuntun Citra saat mabuk sebelumnya. Miko mungkin tidak bisa menggendongnya, apalagi seorang sopir.

"Bagaimana kamu tahu bahwa Miko tidak datang?" tanya Bening penasaran.

Karena tidak ada jawaban, Bening semakin berpikir keras. Bagaimana Satya bisa tahu bahwa dia dan Citra ada di sini? Dia tidak memberinya alamat sama sekali. Miko sudah mengirim sopir, jadi dia seharusnya tidak menghubungi Satya, 'kan?

Satya telah menempatkan Citra di kursi penumpang di bagian depan mobil. Dia meletakkan tangannya di pintu, dan menatap Bening, "Nona Bening, apakah Anda mau naik taksi sendiri, atau saya antar saja?"

Seharusnya Satya mengantar Bening tanpa harus bertanya. Tapi kenapa tawaran Satya untuk mengantarnya pulang terdengar sangat tidak tulus? Bening menyerahkan tas Citra di tangannya, "Aku akan naik taksi sendiri." Dia menutup pintu taksi, lalu mengangguk dan melirik Satya dengan acuh tak acuh hingga taksi yang ditumpanginya perlahan hilang.

Di dalam mobil, Citra yang sedang mabuk tampaknya tidak berisik, dan justru tertidur dengan nyenyak. Satya memiringkan kepalanya dan melirik ke arah sepatu yang dikenakan Citra. Sepatu itu sederhana dengan warna pastel dan tanpa motif.

Setelah tiba di apartemen Citra, Miko harus menggendongnya lagi untuk bisa masuk ke ruangannya. Citra tidak tahu kapan dia bangun. Dia menyandarkan kepalanya di pundak Satya, membuka matanya, dan pandangannya sedikit kabur, "Satya." Citra melirik ke arah Satya, "Aku minum terlalu banyak, dan aku merasa tidak nyaman. Aku sudah minta Bening menelepon Miko, mengapa kamu repot-repot mengantarku pulang?"

Angin malam bertiup kencang, membuat udara menjadi sejuk. Penglihatan Citra menjadi lebih jelas, dan dia bisa melihat rahang tegas pria itu, "Tunanganmu… Apakah kamu berhasil mengejarnya tadi?"

"Ya," jawab Satya sedikit cuek.

Citra memiringkan kepalanya, ekspresinya bingung, dan napasnya penuh bau alkohol ketika dia berbicara, "Tunanganmu punya hubungan tidak jelas dengan Arya. Apakah kamu tidak marah?"

Pria itu tetap tenang, "Masalah itu telah diselesaikan, nona." Citra bertanya lagi karena merasa tidak puas dengan jawaban Satya, "Jadi, kamu tidak marah?"

Satya menjawab dengan sabar, "Kenapa saya harus marah? Nona, Anda sedang mabuk, sebaiknya jangan banyak bicara atau Anda akan sakit kepala ketika bangun besok."

Citra tetap melihat Satya dengan tatapan tidak terima. Dia masih tidak bisa tahu jalan pikiran Satya, "Tapi kurasa tunanganmu sama sekali tidak menyukai Arya. Pria itu bajingan, tapi bahkan Bening menyukainya."

Satya menyipitkan mata, tidak berbicara sama sekali. Dia tidak memiliki rasa cinta pada Laras seperti bagaimana Citra mencintai Miko. Dia juga tidak bisa merasakan cemburu tentang hubungan antara Laras dengan Arya.

Satya menggendong Citra ke dalam kamar dan menaruhnya di tempat tidur. Satya baru saja ingin beranjak pergi, tetapi dia ditarik oleh wanita yang ada di depannya. Dia hanya bisa meletakkan tangannya di sampingnya. Jika tidak, dia akan langsung jatuh ke tempat tidur dan menindih tubuh Citra.

Satya masih mengerutkan kening karena wanita di bawahnya jelas tidak menyadari posisi mereka saat ini. Rambut Citra yang panjang terurai tampak berantakan. Wajahnya memerah karena alkohol. Matanya menatap Satya lurus hingga pria ini tidak tahu apakah dia mabuk atau sadar. Napas Citra berhembus ke wajah Satya, "Satya, aku baru tahu, ternyata kamu seperti monster berdarah dingin tanpa ekspresi, ya."

Pria itu tidak berbicara, matanya masih acuh tak acuh seperti biasanya, "Apa maksud nona?"

Mata Citra menatap Satya dengan intens, seolah dia ingin melihat lebih dalam. Ujung jarinya tanpa sadar menyentuh wajah tampan Satya. Dia bergumam, "Di matamu tidak ada kesedihan."

Satya tersenyum tipis, "Aku tidak apa-apa, kenapa aku harus bersedih?"

"Bahkan jika Laras menyukai pria lain?" tanya Citra.

Satya menjawab, "Dalam hidup, kita pasti pernah menyukai seseorang dengan sangat tulus hingga kita tidak bisa menghapus rasa cinta itu seumur hidup kita. Saya tidak masalah jika Laras mencintai Arya." Matanya sedikit menyipit, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu, "Bahkan jika dia memang menyukai Arya, saya tidak akan marah padanya karena hasilnya tetap sama. Saya akan menikah dengannya."

Citra menggelengkan kepalanya, "Tidak seperti itu, Satya. Kenapa kamu tidak paham apa yang aku katakan?"

"Lalu kenapa nona mau menikah dengan Tuan Miko? Nona tahu dia tidak menyukai nona, dan dia masih bersama wanita lain sekarang," tanya Satya dengan nada lembut.

Citra terkejut, matanya sedikit kebingungan, dan tangannya beralih dari wajah Satya, "Kamu pulang saja, aku mau tidur dulu." Satya berdiri tegak, mengucapkan salam, lalu berbalik dan pergi. Sedangkan, Citra berusaha menutup matanya di tempat tidurnya.

Ketika Satya berjalan ke pintu, dia memegang gagang pintu. Saat dia hendak menutupnya, dia berhenti tanpa sadar dan mengalihkan pandangannya untuk melihat wanita yang terbaring tak bergerak di tempat tidur.

Semua hal yang telah dikatakan Citra padanya kembali terngiang di kepalanya. Mulai dari ocehan gadis itu tentang wajahnya yang tanpa ekspresi, hubungan Laras dan Arya, hingga pertanyaannya tentang perasaan Satya pada Laras. Semua itu membuat Satya tidak bisa melakukan apa pun selain memandangi Citra yang sepertinya kini sudah terlelap di ranjang besarnya.