webnovel

Menyita Energi

"Kau ingin apartemen?"

Lia mengangguk dan menjawab mantap saat pikirannya melayang ke satu sosok wanita berumur, namun tetap tampil modis, katanya, "Pastinya. Aku ingin keluar dari rumah. Inilah alasan terbesarku menginginkan uang banyak." Ia tersenyum miris dan menambahkan, "Aku mau terbebas dari neraka, Tuan."

"Aku bisa membelinya untukmu."

Lia pun tak bisa berkata-kata, dia menganga ke arah Brian yang tampak santai menatap jalan di depan. Apartemen? Dia bisa dapat apartemen dengan cuma-cuma?

Meskipun hal paling berharga di dalam tubuhnya diberikan begitu saja. Tapi, ini yang paling ditunggu-tunggu. Dia benar-benar bisa keluar dari neraka ciptaan mamanya? Itu sangat luar biasa!

Lia berdeham singkat. Ia melirik Brian dengan raut wajah senang tak terkira. "Tu-Tuan serius?" tanyanya setelah mereka saling tatap. "Aku dibelikan apartemen? Yakin mau memberikanku apartemen?!"

Brian mengangguk. "Jika kau bisa memuaskanku. Anggap saja itu bonus."

Merasa ditampar, senyum Lia mendadak hilang. Hem, ternyata itu cuma bonus. Bagaimana kalau dia yang amatir ini gagal memuaskan tuannya? Bisa lenyap apartemen yang sudah diimpikannya itu. Padahal ia baru ingin terbang, tapi si tuan B dengan mudah menjatuhkannya sampai ke selokan.

Lia mendesah, kemudian memandang ke sekeliling. Menyapukan pandangan ke samping kanan, kiri, lalu ke depan. "Ini rumahnya?" batinnya.

Lia sedikit membuka mulut karena terkagum-kagum dengan rumah megah yang berjarak cukup jauh di depan sana. Bukankah itu rumah? Tapi, Lia lihat kalau bangunan megah nan mahal itu sangat mirip istana. Bahkan besarnya tiga kali lipat lebih besar dan luas dari rumah peninggalan sang papa.

Mulai dari gerbang yang terbuka dengan sendirinya, lalu halaman luas ditumbuhi bunga serta air mancur di tengahnya. Lia turun mobil sambil fokus melihat rumah bak istana yang sebentar lagi akan dia masuki. Sambil berusaha berjalan cepat, ia mendengus kesal di belakang tubuh sang tuan yang melangkah di depannya.

"Aish!" serunya meringis kala dahi terantuk punggung kekar Brian. "Tuan, kalau mau berhenti hati-hati! Bilang dulu atau kasih kode. Jangan asal, dong. Nabrak itu sakit."

Brian yang disalahkan tampak terdiam dengan ekspresi kaku. Pasalnya, dada gadis di belakangnya itu begitu menekan punggungnya. Bisa Brian rasakan dengan sangat jelas betapa empuknya benda kenyal itu, meskipun hanya sebentar saja menekannya. Ia pun lanjut berjalan lagi, saat sudah tahu kondisi rumahnya sepi dan semua orang pergi ke tempat yang seharusnya.

"Aku pakai gaun, tolong jangan terlalu cepat jalannya, Tuan B. Kalau Anda cepat-cepat, gaunku bisa sobek nanti."

"Sekalian kusobek saja. Aku tidak suka bermain halus."

Lia lantas menutup mulutnya seketika. Bisa sekali pria itu membuatnya takut dalam waktu sekejap. Sekali bicara, bisa membuat Lia jantungan. Meski begitu, ia tetap mengikuti Brian walaupun harus ketinggalan.

"Sama sekali tidak membantuku, bisa-bisanya dia! Mentang-mentang kaya, aku diperlakukan seenaknya! Awas saja kalau aku bisa lebih kaya darinya!" geram Lia yang cukup jauh di belakang Brian.

Setelah berjalan kurang lebih dua puluh meteran dari pintu utama, Lia terkesiap saat melihat Brian membukakan pintu untuknya. "Masuklah, jika ingin bersih-bersih pakai dulu saja kamar mandinya," ujar pria itu kemudian.

"Memangnya aku bau? Sebelum makan malam bersama, aku sudah mandi."

"Tetap saja, aku tidak ingin berhubungan dengan wanita yang berkeringat..." bisik Brian dijeda sedetik saja, lalu meneruskan, "...sebelum aku sendiri membuatnya mengeluarkan keringat." Sambil melirik bagian dada Lia yang tampak menyembul sedikit.

Lia yang sudah bergidik ketika mendengarkan penuturan lelaki itu, lantas melangkah masuk. Tapi, dirinya mendadak ingat sesuatu. "Eh, Tuan B! Aku baru ingat, enggak punya baju ganti di rumahmu ini. Ak-aku pakai apa setelah mandi?" tanya Lia yang warna pipinya sudah semerah buah delima.

"Pakai saja yang ada di dalam."

"Kau sendiri mau kemana?

Brian menoleh sekilas, kemudian melanjutkan langkahnya seraya menjawab, "Ada perlu sebentar."

"Kalau begitu aku bisa mempersiapkan diri dulu," bisik Lia yang pasti setelah pria tampan itu benar-benar menjauh dari hadapannya.

***

"Aku, aku ... kira, rasanya enggak sesakit ini," erang Lia yang sudah menangis sambil menahan nyeri di pangkal paha. Tangannya tak berhenti mencakar, meremas, dan sempat memukul Brian saat pria itu pertama kali melesakkan benda sakral yang seharusnya tak dilihat Lia. Terlebih lagi Lia harus merasakannya sekarang, tepat saat usianya sudah menginjak dewasa.

Brian hanya menikmati penyatuan itu tanpa bersuara. Bukan semata-mata menyukai permainan hebat ini, tapi ia lebih memerhatikan wajah Lia. "Aku harus menyelidikimu lebih dalam lagi," kalimat itu hanya Brian utarakan di hati karena menurut pengamatannya, Lia adalah pusat kehancuran dari seseorang yang harus ia habisi.

"Bisa berhenti sebentar? Kegiatan ini menyita energiku, Tuan B."

Brian tak menyahut, terus saja bergerak di atas Lia sambil mengendus leher gadis yang sudah menjadi seorang wanita berkat dirinya ini. Sibuk memuaskan diri sendiri, lidahnya terus naik hingga menemukan benda berwarna merah muda alami itu. Brian lantas menyesap dalam-dalam bibir yang sedari tadi berisik. Sementara sang pemilik, semakin terkejut dan merasa kepanasan.

Tak hanya di situ siksaan menggairahkan yang dirasa Lia. Tapi, ulah satu tangan Brian kembali membuatnya ingin protes. Sayangnya, dia tidak bisa karena bibir masih dikuasai. Ya, semua tubuhnya seakan menjadi hak milik Brian.

Tubuh Lia tampak makin menggeliat saat jari-jari Brian memainkan bagian atas. Titik lemahnya dimainkan sedemikian rupa sampai ia berani menarik rambut kecokelatan milik pria berumur tiga puluh tahun itu. Tidak itu saja, setelah melepas ciuman, Brian menghujani leher dan dadanya dengan kecupan dan ciuman.

"Bisa berhenti sekarang? Aku merasa pusing...."

Bagaikan manusia yang tak punya telinga, Brian terus saja memainkan mulutnya di sana sepuas mungkin. Sedangkan Lia tak berhenti juga menarik rambut Brian karena kegelian sekaligus meminta lebih. Tanpa dia sadari, tubuhnya menyukai perbuatan bejat Brian.

"Jika ingin menerima uang dan apartemen seperti ucapanmu sebelumnya, terimalah perlakuanku." Sesudah itu Brian kembali melanjutkan aktivitas yang membuat Lia meminta ampun dalam hati.

Seperti serigala yang kelaparan, malam itu Brian benar-benar menghajar Lia habis-habisan. Ia tak menyangka bisa sebuas ini. Memang tidak salah dugaannya, Lia bisa mengimbanginya meski perempuan itu belum berpengalaman sama sekali.

Kini, sang target sudah lemas. Brian menempatkan diri di samping kanan Lia yang sudah memejamkan mata. Sungguh, ia tak menyangka bisa selega itu setelah bermain dengan perempuan muda.

"Jika bukan utusan mantan istriku, kau ini siapa? Aku merasa tidak asing denganmu," gumam Brian sembari mengamati baik-baik wajah wanita itu sekali lagi.

Sayangnya, ia belum mendapatkan petunjuk apapun. Brian belum bisa mengingat siapa wanita ini sebenarnya. Alfred yang lebih dulu mengenal Lia pun tak tahu siapa perempuan itu. "Tapi aku yakin, kita pernah bertemu sebelumnya."

Brian lantas bangun dari kasur dan berjalan ke kamar kecil untuk membilas tubuhnya. Seperti yang dia katakan, dia suka kebersihan. Tubuhnya juga harus selalu wangi meskipun tanpa mandi. Padahal ini keempat kalinya Brian mandi dalam satu hari ini saja. Ya, Brian terlalu suka dengan tubuh yang segar dan harum. Meski sifatnya belum tentu seharum tubuhnya.