webnovel

Patah Paling Parah

Ndari mengalami perubahan hidup semenjak hadirnya sosok wanita yang meminta dipanggil ibu. Wanita yang mampu membuat hati ayah luluh bahkan merampas hartanya secara tak sadar. Ditambah lagi hadirnya saudara tiri yang berlagak seenak jidat membuat Ndari muak. Wanita itu benar-benar membuat tertekan batin setiap hari. Ndari diperlakukan tidak adil hingga akhirnya, memutuskan kabur. Meninggalkan semua kemewahan dan memilih tinggal di rumah pacar. Namun, apa yang terjadi? Dia malah terpaksa diusir orang tua pacar demi menghindari fitnah tetangga. Lantas bagaimana kelanjutan hidup Ndari?

Natasya_Drsye · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
36 Chs

Seperti Keluarga Sendiri

Entah jam berapa Ndari dapat tertidur pulas yang jelas kini telah bangun. Malam berlalu begitu cepat. Berulang kali menguap dan masih mengumpulkan kesadaran. Sotak terkejut menyadari dirinya tidak di kamar yang sama.

"Astaga di mana aku?"

Spontan menyibak selimut yang masih menutupi tubuh. Tanganya membenarkan rambut yang cukup semeraut menutup wajah. Sembari mengamati sekeliling ruangan. Tak lama, beranjak bangkit.

"Astagfirullah, inikan di rumah Miko. Ya Allah, baru sadar!" Ndari menepuk jidatnya sendiri.

Ingatan tadi malam mulai terulang. Ya, Om Pram memang membolehkan tidur di sini. Syukurlah. Ndari beranjak bangkit menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Sebenarnya jarang sekali mandi sepagi ini. Tetapi untuk kali ini seperti tidak masalah. Nanti malah dicap calon mantu jorok kalo bangun enggak mandi. Setelah selesai mandi, Ndari melangkah menuju dapur. Di sana dapurnya sangat luas, jauh dibandingkan dapur rumahnya.

"Sepertinya mereka belum bangun," lirih Ndari yang mencari letak kulkas.

Setelah menemukan, langsung saja dibuka dan di sana ada banyak sayur-sayuran. Sepertinya rumah seulas ini tidak memiliki pembantu? Ndari memastikan, sepertinya memang tidak ada. Sebab jika ada, tentu pembantu akan lebih awal bangun dan menyiapkan makanan.

"Eee … masak apa ya?" Ndari memegang dagu memikirkan sejenak. Menatap stok sayur yang beragam.

Ada bayam, kangkung, kacang panjang, dan juga sawi. Haduh, Ndari jadi kukur-kukur kepala bingung memilih. Setelah ditimbang-timbang akhirnya dipilihlah kacang panjang.

Tak perlu menunggu lama, Ndari bisa menyulap kacang panjang itu menjadi tumis. Dilengkapi telur dadar dan tempe goreng, siap untuk dijadikan sarapan pagi. Aroma masakan ini tercium hingga dua ruang kamar.

"Tumben sekali Miko pagi-pagi masak," lirih Pram yang masih setengah sadar.

Saat dirinya mencoba tidur kembali. Namun, aroma sedap masakan ini sangat menganggu. Ditambah perutnya yang keroncongan ingin sekali mencicipi. Alhasil, Pram bangkit.

"Tumben Ayah pagi-pagi buat sarapan. Sumpah ini aromanya mengoda banget," ucap Miko yang masih sedikit terpejam.

Seketika matanya langsung terbuka saat keingat Ndari. Sepertinya yang masak bukan ayah. Miko langsung bangkit menuju kamar mandi untuk mengosok gigi, serta mencuci muka. Setelah dirapikan tempat tidurnya bergegas menuju dapur.

"Ohhh… ternyata kamu yang masak, tak kira Miko."

"Ehhh, Om, udah bangun ya. Maaf sebelumnya, Ndari masak enggak izin lebih dulu." Ndari dengan lembut mengatakan permohonan maaf.

"Ih, kamu ini, biasa saja dong. Anggap saja rumah ini juga rumah kamu. Supaya kamu merasa bebas di sini."

"Alhamdulillah."

Ndari tersenyum ternyata Om Pram memang baik orangnya. Tak ada lagi rasa khawatir di dalam hati. Pram melangkah mendekat untuk memeriksa.

"Masak apa ini?" Wajahnya sedikit codong ke wajan.

"Tumis Om sama ceplok telur dan goreng tempe hehe. Sederhana," sahut Ndari.

"Enggak papa sederhana. Yang penting perempuan itu bisa masak. Terserah yang mau dimasak apa, asalkan bisa dimakan. Iyakan."

"Hehe…."

Miko mengamati keduanya dan mendengar semua percakapan di dapur. Bibirnya tersenyum manis, sepertinya ayah setuju jika dapat menantu seperti Ndari. Tetapi mengapa tadi malam ditampar? Ah, membawa anak gadis malam-malam memang sebuah pelanggaran.

"Miko, kamu kok malah diam di situ?" tegur Pram yang meliaht anaknya.

Sontak seyumnya mengembang, "Hehe … Miko kira yang masak tadi Ayah. Tumben sekali pagi-pagi sudah masak."

"Bukan Ayah. Itu yang masak calon istrimu."

"Hehe … Om bisa aja," sambung ndari malu-malu kucing.

Pram tertawa sedangakn Miko tersenyum dan melangkah mendekat.

"Ya suadah kalo begitu lanjutkan masaknya, Om mau mandi dulu."

"Iya Om."

Saat berselisih dengan anaknya, Pram melihatnya dengan tatapan tak biasa. Miko hanya bisa setengah menunduk. Tak mengerti apa maksud ayah.

"Katanya perempuan kalo sudah bisa masak. Artinya sudah siap menikah. Jadi, kapan kamu mau nikah sama aku?"

"Ihh, apaan. Enggak semua perempuan punya pendapat kayak gitu."

"Ahh, masak sih. Tapi kamu mau'kan nikah sama aku?" goda Miko lagi.

Ndari yang masih disibukan dengan mengoreng tempe. Lantas menoleh, menatap wajah kekasihnya yang super percaya diri itu.

"Iyakan kamu mau nikah sama aku?" ulangnya lagi.

"Kalo aku bilang mau, terus kapan kamu mau nikahnya. Sekarang, atau besok?"

"Hehe … enggak sekarang, sabar ya," ucapnya genit.

"Mangkanya jangan mancing kalo boleh siap. Dasar aneh!"

Ndari mulai risi ketika kekasihnya mengoda seperti itu, hehe.

"Enggak sabar jadi istriku, iyakan."

"Ya ada malah kamu yang enggak sabar," cetusnya langsung.

"Enggak sabar apa?"

"Tahu ah, gelap. Sana-sana pergi, nganggu aja." Didorongnya tubuh Miko agar sedikit menjauh darinya.

"Tapi kamu sukakan aku ganggu."

"Ya Allah ini anak. Jangan sampai sutil ini berpindah ke wajahmu," ancamnya.

"Widih, sadis amat jadi cewek. Jangan galak-galak Mbak nanti pacarnya diambil orang. Ingat, yang suka aku banyak lho," bisiknya mengejek.

Bibir Ndari ngengir, "Enggak nyambung!"

"Hahaha…"

Cukup lama Miko mengoda Ndari sampai ayahnya selesai mandi. Kini mereka sudah berkumpul di ruang makan. Bersiap-siap untuk sarapan pagi. Kebetulan hari ini minggu jadi Om Pram tidak kerja. Begitu pun kekasihnya, Miko tidak kuliah.

"Wah, ini aromanya saja sudah bikin Om laper. Bener, lho."

"Hehe … ya sudah kalo begitu, ayo dimakan."

"Yuk makan, jangan lupa berdoa."

Mereka bertiga langsung menyantap makanan yang sudah terjadi di hadapan. Rasanya benar-benar lezat. Ditambah selama ini tak ada wanita yang memasak di rumah. Semenjak Mama Miko meninggal.

"Masakan kamu enak. Bagaimana menurutmu, Ko?"

Miko mengangguk-anggukan kepala setuju dengan komentar ayah. Tangannya mengancungkan jempol. Sontak Ndari tertawa, "Hehe, bisa aja Miko. Bohong enggak ini?"

"Ohhh salah," ralat Miko yang kemudian melepaskan sendok dan mengangat dua jempol, "dua jempol untuk masakan kamu."

"Alhamdulillah kalo suka sama masakan Ndari."

"Sejak kapan kamu bisa masak?"

"Sejak Mama enggak ada, saya mulai belajar Om."

"Bagus."

Ndari merasa senang bisa mengenal dan berkumpul. Disambut dengan baik adalah hal terindah dalam hidupnya. Rasanya di sini seperti menemukan keluarga baru. Sampai-sampai jika boleh berlama-lama, Ndari ingin tinggal di sini lebih lama lagi.

Tetapi jika dipikir-pikir kembali. Hal itu apakah mungkin untuk dilakukan, lantas bagiaman ayah nanti? Pasti akan bersusah payah mencari. Namun, itu pun jika beliau peduli. Wanita jahat itu sepertinya tak tinggal diam.

Dia akan terus mempengaruhi ayah sampai masuk dalam perangkapnya. Nadari menarik napas dan mengembuskan pelahan. Pikirannya masih melayang-layang bingung. Pram yang sedari tadi mengamati langsung meneggur.

"Ndari, ada apa kamu kok seperti memikirkan sesuatu."

"Ohhh engagk papa kok Om. Cuman keingat Ayah di rumah."

"Oh ya, Ayah kamu apa enggak nyari? Kamu kapan pulang, kasihan lho kalo lama-lama ditinggal. Yang masakin nanti siapa," ucap Om Pram.

Ndari diam sejenak, memikirkan ada benarnya juga yang dikatakan sama beliau. Padahal dirinya ingin di sini lebih lama. Malah ditanya kapan pulang, rasanya malah bingung. Bagaimana harus menjawabnya?