Rannu tidak histeris, tetapi melangkah mundur ketika melihat Kak Arie dan Kak Lia. Kami tentu saja bingung melihat responnya itu. Matanya menatap tajam pada Kak Arie dan Kak Lia. Aku cemas. Tidak lama, Rannu berbalik melangkah meninggalkan kami. Aku tentu saja sedih melihatnya. Sepertinya Rannu masih menyimpan trauma pada Kak Arie dan Kak Lia. Tetapi yang kami syukuri, Rannu tidak lagi histeris. Itu kemajuan yang sangat pesat menurutku. Nampak jelas raut kecewa di wajah Kak Arie dan Kak Lia. Hal yang sama pada Ferdy. Ia ingin menyusul Rannu tetapi Kak Ika mencegahnya.
"Sabar ya, mungkin Rannu masih butuh waktu lagi untuk beradaptasi," ucap Kak Ika mencoba menenangkan Kak Arie dan Kak Lia. Kami lalu duduk di bangku taman, belum berminat untuk kembali.
"Rannu masih trauma ya sama kami." Suara pelan Kak Arie terdengar. Suara yang sangat bersalah atas kondisi Rannu. Aku hanya diam. Ferdy juga terdiam dan terlihat lebih banyak berpikir.
"Apa hari Sabtu depan kami masih bisa datang melihat Rannu?" tanya Kak Lia pada Kak Ika.
"Boleh, sebaiknya tetap datang saja sesuai saran Dokter Firdaus." Terlihat wajah lega Kak Arie dan Kak Lia mendengar jawaban Kak Ika. Mungkin agar Rannu terbiasa sehingga traumanya berangsur-angsur menghilang.
Aku berdiri dan bersiap membawa makanan dan minuman yang biasanya aku bawa kalau menjenguk Rannu. Jika biasanya kami menikmati makan siang sambil mengobrol di taman, biarlah kali ini aku menemani Rannu di kamarnya.
"Kak, Sandri ke kamar Rannu aja ya."
"Sandri, sebaiknya kami pulang aja. Nggak apa kami tinggal?" tanya Kak Arie.
"Nggak apa Kak." Kak Arie dan Kak Lia pun pamit dan meninggalkan aku dan Ferdy. Sementara Kak Ika kembali ke ruangannya sambil mengantar Kak Arie dan Kak Lia.
"Terakhir aku jenguk Rannu, kondisinya sangat baik. Kenapa hari ini berbeda ya?" Ferdy terlihat berpikir. Pertanyaan itu seolah ia tujukan pada dirinya. Sama seperti diriku, kondisi Rannu seperti sudah normal saat aku mengunjungi dan berakhir dijemput paksa oleh Arion.
"Mau ikut ke kamar Rannu nggak Mas?"
"Boleh." Ferdy berjalan di sampingku menuju kamar Rannu. Kami tiba di depan kamar Rannu yang pintunya terbuka. Di dalam Rannu sibuk dengan kegiatan merajutnya. Dia tidak menyadari kedatangan kami. Aku mengetuk pintu.
"Rannu?" Ia menoleh. Tatapannya tidak seperti tadi saat bertemu Kak Arie dan Kak Lia. Sudah terlihat normal lagi. Ia tersenyum padaku dan Ferdy.
"Boleh kami masuk?"
"Masuk aja." Di lantai kamar ada karpet tempat Rannu mengerjakan rajutannya. Kami lalu duduk tidak jauh darinya. Aku mengeluarkan makanan dan minuman yang kubawa. Aku melirik Ferdy. Dia tampak serius melihat kegiatan Rannu. Tangannya lalu terulur mengusap kepala Rannu.
"Rannu sehat aja kan ya?" tanyanya dengan lembut. Rannu hanya mengangguk dan tersenyum. Melihat mereka berdua seperti ini, aku terharu. Rasa kesal pada orang yang memisahkan mereka seketika hadir kembali. Mengapa mereka dipisahkan? Aku sangat yakin, Ferdy tipe penyayang dan bisa membimbing Rannu dengan baik. Harapku, semoga saja mereka bisa bersatu kembali.
"Makan sekarang ya." Aku lalu menyodorkan bagian Rannu, kemudian Ferdy dan terakhir untukku. Kami pun menikmati makan siang dalam diam. Aku melirik Ferdy yang nampaknya suka dengan menu makan siang kami yang sangat sederhana. Mungkin dalam hal selera makan, dia sama saja dengan Arion. Tetapi misteri mengenai kelakuan buruk Arion di masa lalu masih menghantuiku. Entah apa yang telah dilakukannya sehingga keluarga Rannu sangat membencinya. Kadang aku ingin bermasa bodoh dengan itu, tetapi sekali waktu aku juga penasaran. Selama aku bersamanya, dia lelaki yang cukup baik. Yah, walau tipe pemaksa sih, tapi menurutku tidak berlebihan. Ia bisa dengan mudah mengemukakan alasannya agar aku luluh dan mengikuti kemauannya.
"Rannu nggak kangen sama Kak Arie dan Kak Lia?" Aku coba bertanya, ingin melihat responnya.
"Kangen. Tapi Rannu masih takut dekat-dekat Kak Arie dan Kak Lia." Jadi ini penyebab Rannu tidak jadi mendekat ketika bertemu Kak Arie dan Kak Lia tadi.
"Kenapa?"
"Rannu takut dipukul." Rannu tertunduk saat mengucapkan kalimat itu. Aku berjengit kaget. Bola mata Ferdy sampai membulat karena juga tak menyangka kalimat yang barusan diucapkan Rannu. Jadi selain kekerasan verbal, Rannu juga mengalami kekerasan fisik dari kakaknya? Astaga! Pantas saja jika ia masih trauma. Hal yang sama sekali tidak kuketahui. Ferdy mendekat lalu merengkuh Rannu dalam dekapan. Tangannya dengan lembut mengusap punggung Rannu. Rasa bersalah telah meninggalkannya kembali menderaku. Sayang jam besuk hampir habis. Dengan berat kami pun pamit. Dia terlihat sangat sedih.
"Kalau nggak sibuk, kami pasti jenguk Rannu kok." Aku dan Ferdy membujuknya. Wajahnya lalu terlihat cerah kembali. Dia pun mengizinkan kami meninggalkannya.
"Kalau Sandri datang lagi, dompetnya pasti sudah selesai," ujarnya sambil tersenyum.
"Terima kasih ya Rannu." Selalu saja, hasil rajutannya diberikan padaku. Aku sngat terharu.
Aku dan Ferdy menyusuri koridor menuju lobby untuk berpamitan dengan Kak Ika. Hal baru yang disampaikan Rannu tadi, membuat kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pasti Ferdy sudah menganggap kakak Rannu sangat biadab. Kekerasan yang telah dialami Rannu hingga membuat mentalnya terganggu seperti ini, tentunya sangat kejam. Aku miris. Sangat miris. Aku tidak menyangka mereka sampai menggunakan kekerasan fisik pada adiknya. Seingatku, Kak Arie dulu sangat baik. Dia yang sering mengajari kami menggambar waktu kecil. Juga menemani kami ke toko buku. Kadang juga membelikan kami jajanan. Kepalaku jadi penuh dan tidak menyadari sudah tiba di depan lobby.
"Bareng aku aja ya Sand. Tunggu di sini." Tanpa menunggu jawabanku, Ferdy menuju tempat parkir. Aku menatap punggungnya yang menjauh. Mendengar info dari Rannu tadi, aku malu pada Ferdy. Malu dengan kelakuan keluargaku. Aku lalu berpikir kembali tempat tinggal Rannu jika ia sudah bisa keluar dari rumah sakit. Jika ia tinggal dengan Tante Elis, pasti masih sering bertemu dengan Kak Arie dan Kak Lia. Aku berpikir keras mengenai tempat tinggal Rannu nanti. Klakson mobil Ferdy membuatku tersadar dari lamunan.
"Kamu baik aja Sandri?" Pertanyaan Ferdy membuatku menoleh. Terlihat raut khawatir di sana.
"Baik aja. Kenapa Mas?"
"Dari tadi kamu diam aja."
"Capek aja sih Mas."
Di perjalanan kami lebih banyak diam. Aku melamun dan kadang tersentak kaget jika Ferdy bersuara. Tubuhku juga terasa lemas. Mungkin ini efek dari informasi dari Rannu tadi. Efeknya memang sangat luar biasa bagiku. Aku tak pernah mengira, hal demikian bisa terjadi pada Rannu, dari orang terdekatnya pula. Sungguh sangat mengguncangku. Aku saja yang hanya bisa mendengarnya dari Rannu, mengalami demikian, wajar jika yang mengalaminya langsung bisa berakibat fatal. Mengapa mereka sampai berbuat keji pada Rannu? Kesalahan apa yang dibuatnya sehingga Kak Arie dan Kak Lia tega memukulnya? Rannu sudah dewasa, tidak bisakah mereka memberitahunya dengan baik-baik jika berbuat kesalahan? Aku masih saja melamun sampai tak tahu jika kami sudah tiba di depan gerbang rumah.
"Sandri?"
"Ehh, maaf ya Mas. Saya malah melamun. Makasih." Aku bergegas turun dan lupa mengajak Ferdy mampir, walau hanya sekedar berbasa-basi saja.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya kemudian saat aku menutup pintu dan Ferdy menurunkan kaca.
"Baik aja kok Mas."
"Oke, sampai ketemu ya. Telepon kalau kamu butuh sesuatu." Ucapannya membuatku jadi bertanya. Memang aku membutuhkan apa sampai harus menelponnya? Kadang omongan Arion dan Ferdy sering bersayap yang aku tak tahu arahnya ke mana. Aku masuk setelah mobil Ferdy berlalu. Masuk ke rumah, aku tidak banyak berbicara, hanya menyapa biasa saja. Papa seperti biasa asyik dengan bacaannya, sementara Mama sedang sibuk dengan kegiatannya di dapur jadi aku bersyukur saja tidak ditanya macam-macam. Balik dari tempat Rannu membuat moodku benar-benar jatuh. Aku langsung masuk kamar. Setelah bersih-bersih, lanjut berbaring. Ponsel ku non aktifkan. Sebelumnya aku info ke Dita jika mau menghubungiku via telepon rumah saja. Pikiranku lalu melayang ke mana-mana.
*****
Senangnya bisa menyapa kembali.
Semoga pada sehat-sehat aja ya di sana.
Selalu patuhi protokol kesehatan ya, agar kita bisa meminimalkan penyebaran virus.
Rannu masih rada trauma dengan Kak Arie dan Kak Lia.
Dan fakta baru mengenai penyebab traumanya membuat Sandri shock.
Sedih banget ya kehidupan Rannu.