Pulau Selayar
*tok* *tok* *tok*
Seorang Pria yang sudah tua, datang mengetuk pintu Rumah, salah satu Keluarga Karunrung. Matanya sipit, rambut kepalanya telah memutih seutuhnya. Dari dalam, Sang Pemilik Rumah perlahan-lahan membukakan pintu karena ia sudah sama seperti Tamunya.
"Assalamualaikum," ujar Ayanokouji.
"Waalaikumsalam, ayo silahkan masuk Tuan Ayanokouji. Kenapa kau tidak berkirim surat dahulu jika ingin ke Pulau Selayar," balas Mertua Karunrung
"Tidak usah terlalu formal temanku."
Tatapannya dingin itulah ciri khas dari Ronin tua ini. Dahulu ia pernah bekerja sebagai Samurai dari Sultan Kamboja yaitu Sultan Ibrahim Ramathipadi. Namun semenjak kematian Sultan itu, ia memutuskan untuk tinggal di Kesultanan Gowa hingga akhir hayatnya dan ia telah memeluk agama Islam sejak lama.
"Jadi Ayanokouji-san kau masih menganggap orang sebagai alat?" Tanya Mertua Karunrung dengan santai sambil membuatkannya teh.
"Hah kau ini bicara apa?"
"Hanya bercanda, kau ingin menemuiku karena hutangku waktu itu."
"Sebenarnya aku hanya ingin mengunjungi teman lamaku. Hutangmu itu urusan yang berbeda, kalau kau ada uangnya sekarang cepat bayar."
"Ya itu sama saja Ayanokouji-san," balasnya berusaha menahan gelak tawanya.
"Memangnya ada yang lucu," balas Ayanokouji masih melirik ke arahnya dengan tatapan dingin.
*tok* *tok* *tok*
"Sebentar," sahutnya segera berdiri membukakan pintu.
Tanpa diduga olehnya, Menantunya datang bertamu dan Suami dari Cucunya yaitu Malewai, Djapu Kepala Suku Yolngu dan Raja Balanipa Mallari. 3 orang pengawal dari Balanipa diperintahkan untuk berjaga di depan rumah. Sedangkan pengawal lain berkemah di sebelah Rumah itu yang merupakan tanah kosong.
"Assalamualaikum Ayah," ujar Karunrung.
"Waalaikumsalam nak, kenapa kau tidak bilang-bilang dulu ingin kesini. Ayah ini sudah rindu ingin melihat Cicit,"
"Benar tidak terasa aku sudah menjadi seorang Kakek saja haha, waktu begitu cepat namun sayang sekali keadaan Kerajaan ini hampir tidak ada perubahan."
"Sebentar bukankah Mertuamu harusnya keturunan Raja Pulau ini. Tapi..." sahut Mallari keheranan.
"Dia bukanlah Raja meskipun begitu, hatinya kaya raya bak Bangsawan Mallari. Oh ya Ayah kenalkan ini temanku, dan mereka yang duduk di tangga adalag pengawal dari Balanipa 3 orang," ujar Karunrung.
"Salam kenal," serempak ujar Djapu dan Mallari.
"Kau telah bekerja sangat keras Karunrung,"
"Kenapa Paman Ayanokouji ada disini?" tanya Karunrung melirik ke arah Pria Tua yang telah dikenalnya sejak lama.
"Hanya ingin mengusir rasa bosan, lagipula kenapa juga kau disini?" balas Ayanokouji.
"Ayolah paman jangan terlalu dingin begitu, temanku Raja Balanipa ingin berkonsultasi itu kenapa kami kesini," jawab Karunrung.
Karunrung, Mallari, dan Ayanokouji duduk saling menghadap satu sama lain. Seperti yang sudah dijanjikan, Karunrung akan membahas masalah tentang Persenjataan Api Kerajaan Balanipa.
"Mallari itinggar dan meriam bukan mantra petir namun senjata yang terbuat dari besi dan bubuk mesiu. Kalau kau mau nanti setelah sampai di Istana Tallo, akan kutunjukan siapa pemilik lokakarya pengrajin besi di wilayahku. Mungkin saja dia mau membantumu, tapi tunggu dulu memangnya Armada laut Balanipa tak memakai lantaka?" tanya Karunrung.
"Ternyata aku baru tahu lantaka dan meriam itu sama saja hanya beda ukuran. Karunrung kenapa kau bukan pemilik lokakarya tersebut?" balas Mallari.
"Kalau semua dipegang oleh para bangsawan bisa hancur sebuah negara Mallari. Seluruh unsur harus stabil agar ekonomi dapat bertumbuh. Tidak terkecuali di Negeri Mandar seperti Kerajaan Balanipa atau Konfederasi Pitu Babana Binanga." jawab Karunrung.
"Tapi bukankah aneh kalau..."
"Semua orang berhak untuk kaya dan memiliki properti pribadi Mallari. Kalau mereka punya bakat dan membutuhkan modal, aku akan memberi uang secara cuma-cuma. Untuk apa harta berlimpah kalau kubiarkan emas dan perhiasan itu berkarat di Gudang tanpa bisa meningkatkan priduktivitas atau kekuatan militer kita."
"Ilmu pemerintahan ini kau belajar darimana?" tanya Mallari.
"Dari buku-buku ayahku yaitu Karaeng Patinggaloang, Dia mempunyai perpustakaan dan globe pribadi. Jadi logika dasar buku itu begini. Kemajuan tercipta akibat adanya persaingan, kalau properti hanya dipegang oleh Raja atau Bangsawan tidak akan maju." jawab Karunrung.
"Berarti kau ingin bilang kalau kita tidak memegang tampuk kekuasaan lagi maka Kerajaan akan jadi semakin kuat. Tapi kalau begitu, Negara kita bukan Kerajaan lagi."
"Keliru bodoh yang aku tekankan adalah pembagian harta dan tahta yang lebih merata. Tetap saja kita berada di atas kebanyakan rakyat jelata, kalau tidak begitu maka semua orang akan miskin bukannya kaya karena tidak ada sekat."
"Benar juga kita hanya satu dua yang berperang menggunakan lantaka."
"Heh, tidak biasanya kau bijak Mallari. Eropa kafir itu selalu berusaha menggunakan taktik baru, senjata baru, cara baru, untuk menjajah kita, mereka memiliki sumber daya yang melimpah untuk itu."
"Aku paham sekarang kau hanya menjadi seperti pengawas dan tidak ikut berbisnis."
"Mengelola bisnis itu hanya bikin sakit kepala Mallari, oh ya Malewai dan Djapu kalian ke sini. Berbincanglah dengan Paman Ayanokouji, aku akan membuatkan teh dulu," ucap Karunrung segera berdiri dan pergi ke dapur untuk membuat teh.
"Aku dengar Jepang menghukum mati siapa saja yang pergi ke Dunia luar dan melarang pedagang asing kecuali Belanda. Apa tidak ada cara untuk mendapatkan keringanan dari Shogun (Pemimpin Tertinggi)," ujar Mallari.
"Tidak ada cara kembali kecuali menyelinap namun tubuh ini telah renta. Sekali Shogun bertitah, maka tidak ada celah. Dulu aku pernah membuat perahu namun ditenggelamkan oleh kapal Jepang. Di lain waktu, aku pernah menumpang kapal Belanda dan berusaha menyusup namun ketahuan dan diusir. Setelah itu aku memutuskan untuk pergi saja ke Kamboja."
"Paman aku perhatikan dari tadi ekspresinya tidak berubah," ketus Djapu.
"Apa ketenanganku mengganggumu?" timpal Ayanokouji.
"Djapi jangan seperti itu terhadap Paman. Memang raut wajahnya itu datar namun jangan sakiti perasaannya," sahut Karunrung.
"Kalau kuperhatikan sebenarnya ada kemiripan antara Paman dengan Karunrung," ujar Mallari.
"Ibu kemana?" ujar Malewai.
"Sudah meninggal," ucap Mertua Karunrung.
"Inalillahi wa inna ilaihi rajiun, kenapa tidak kirimi surat. Tehnya ini silahkan dinikmati Tuan yang mulia." ujar Karunrung sembari meletakan teh ke meja ia pun mengambil salah satu gelas dan menuangkan tehnya.
"Teh aku penasaran rasanya," ucap Djapu
"Yapu kalau terasa pahit beri saja air tebu," ujar Malewai.
"Oh ya Mallari... kau sudah tahu seluruh bahan baku meriam dan istinggar?" tanya Karunrung.
"Belum, memangnya apa saja bahan bakunya.'
"Kita membutuhkan besi tentunya namun akhir-akhir ini entah mengapa besi mengalami kelangkaan. Aku bingung harus mencari dimana persedian besi yang melimpah."
"Aneh kau ini ada Luwu adalah Kerajaan penghasil besi. Tidak kurang-kurang mereka menambang besi untuk dikirim lalu dijadikan parang."
"Luwu itu Negara gagal sekarang Mallari, tambang besi mereka bangkrut karena dikelola tidak becus oleh bangsawan mereka dan besi dari Luwu tak bisa dipakai untuk membuat meriam ataupun istinggar."
"Benar juga pantas berita tentang kehebatan Settiaraja jarang tersohor."
"Itulah di Nusantara Barat entah kenapa pedagang kita seperti dibenci dan diboikot. Tetangga iri dengan kejayaan kesultanan ini. Sultan Hasanudin telah berusaha sekuat tenaga tapi kau tahu Belanda itu tidak akan diam dan menikmati kue kesukaan mereka. Sialnya bagi Gowa, Kesultanan yang hubungannya dekat dengan kita tidak memproduksi besi."
"Sayang sekali itulah kenapa aku tidak terlalu terpaku membuat mantra bedil." ujar Malewai.
"Diamlah... Mallari setelah mencetak senjatanya, untuk mekanisme menembaknya kau hanya perlu arang, belerang, dan sendawa (potassium nitrat). Peluru bola meriam sendiri terbuat dari batu, sebenarnya moncong meriam bisa diisi dengan besi tapi untuk menghemat biaya dan langkanya persediaan besi berkualitas tadi kita menggunakan batu."
Puas mengunjungi pulau itu, tidak terasa lusa sudah berlalu. Kini mereka menaiki kapal segera berlabuh meninggalkan Pulau Selayar.
--
Istana Kota Tallo
Karunrung beserta rombongannya memasuki istana, tampak pengawalnya yang berjumlah sangat banyak berbaris rapih di Gerbang Istana menunggu kehadiran tuannya.
"Yang mulia sudah hampir seminggu anda..." sahut Pengawalnya.
"Bukan urusanmu terserah diriku mau kemana. Kalian cepat panggil pelayan dan layani tamuku! kau cepat panggil beberapa para pemilik pengrajin besi!"
"Siap yang mulia!" balas Prajuritnya sambil menunduk.
Mereka semua masuk ke dalam, Karunrung lalu bertemu dengan Popo menanyakan keadaan pemerintahannya. Sementara Djapu, Malewai dan Mallari duduk dan dijamu di ruang makanan bersama Tuan Ayanokouji sembari menunggu kedatangan Karunrung.
"Popo, bagaimana dengan kerajaan kita?" tanya Karunrung.
"Seperti biasa beberapa Daeng bawahanmu mengeluh tentang kelakuanmu. Terutama sikapmu yang berkali-kali melanggar adat dan tradisi," jawab Popo.
"Tradisi apa?" tanya Karunrung masih heran.
"Kau jarang bersilaturahmi dan jarang ikut hajatan. Terlena dengan pekerjaanmu itu keluhan mereka," jawab Popo.
"Haha aku kira karena rakyatku, bagaimana dengan besi dan sendawa Popo."
"Karunrung, kita masih belum bisa mendapatkan besi dalam jumlah besar."
"Cih, padahal menurut perkiraanku perang besar akan dimulai pada pertengahan tahun. Popo beri perintah kepada Prajurit yang menjaga Gudang Persenjataan untuk memberi Raja Mallari beberapa pucuk meriam dan istinggar flintlock buatan kita."
"Apa tidak apa-apa? memberikan flintlock kita pada vassal secara cuma-cuma?" tanya Popo, dari raut wajah Pria paruh baya berjenggot lebat itu nampak jelas keraguannya.
"Sudah laksanakan saja Popo kau ini," ketus Karunrung.
Karunrung hendak menemui mereka yang sedang duduk dijamu oleh para Dayang dengan makanan yang lezat. Diantara mereka, hanya Djapu yang memakan masakan itu seperti tergesa-gesa.
"Lezat! lezat!" ujar Djapu, setelah meminum kuah pindang.
"Mana etikamu kau ini Bangsawan kan Djapu apalagi ini Makassar. Habiskan dulu ikannya baru lahap kuahnya, seperti orang tidak berada," ujar Mallari.
"Tradisi suku aborigin tidak berperadaban seperti itu jangan kau bawa-bawa ke Sulawesi," sahut Malewai.
"Malewai tadi itu kau keterlaluan. Djapu tolong jangan tersinggung dengan ucapannya," balas Mallari seraya menepuk pundak Malewai.
"Apa maksudmu menepuk pundakku hah! Arung Balanipa! bukannya kau ikut mengecam orang Marege itu tadi," ketus Malewai mulai meninggikan suaranya.
"Aku tidak suka dengan sifatmu itu anak muda," balas Mallari menatap Malewai dengan tajam
"Tolong jangan bertengkar, aku minta maaf," ujar Djapu.
"Tak usah minta maaf Yapu, memang Raja Sidenreng yang salah. Seharusnya dia paham hubungan istimewa antara Gowa dan Yolgnu, lihat kan dia hanya diam saja sambil menikmati makanannya bukannya berfikir. Aku paham sekarang dengan Karunrung."
"Ada pesan untuk Raja Balanipa, Kerajaan Tallo memberikan 100 Meriam dan 120 Istinggar Flintlock serta amunisi untuk Kerajaan Balanipa." ujar salah satu pengawal membacakan Isi Lontara.
"Haha cepat tanggap dan tegas! itulah hasil metode latihan selama beberapa tahun belakang," sahut Karunrung ikut duduk bersama mereka.
"Hoy Mangkubumi! kau... kau serius mau memberikan meriam sebanyak itu secara cuma-cuma!?" tanya Mallari yang hampir tersedak mendengar surat itu.
"Mengapa tidak Gowa dan Balanipa adalah Keluarga. Besok kau akan mengadakan pertemuan dengan para pemilik lokakarya pandai besi. Dan juga aku mengajukan diri menjadi pelatih prajurit Kerajaan Balanipa, pasukanmu perlu dilatih untuk menggunakan senjata api dan kedisiplinan."
"Baiklah perdana mentri, aku terhormat mendengarnya!" sahut Mallari seakan tidak percaya mendengarkan tawaran Karunrung.
"Ayah siapa yang akan mengisi tugas Perdana Mentri dan Raja Tallo," sahut Malewai.
"Tidak perlu dipikirkan, Lengkese Raja Tallo dan Popo Perdana Mentri. Asal kau tahu Lengkese telah dipilih sebagai calon penerusku oleh Dewan Adat," balas Karunrung.
"Nanti dulu Karunrung kau tidak bisa seenaknya seperti itu, aku tahu niatmu baik tapi kau bermudah-mudah dengan posisimu," ketus Mallari.
"Mallari perang sebentar lagi akan berkecamuk, apa kau mau rakyat Mandar diperkosa dan dibantai oleh Belandam kalau mereka sampai tahu kalau ketentaraanmu lemah, tentu saja jawabannya tidak."
"Lebih baik mati daripada sejengkal tanah Pitu Babana Binanga jatuh ke tangan orang kafir."
"Itulah Mallari, Paman kita sudah lama tidak bermain Shogi?" ucap Karunrung melirik Ayanokouji.
"Baiklah aku juga bosan disini terus, sudah sejauh mana perkembanganmu nak Karunrung,"
Karunrung menantang Ayanokouji dalam permainan Shogi, Mallari dan yang lainnya hanya bisa terheran-heran melihat permainan ini. Karena sekilas, sudah sangat berbeda dari catur.
"Skak! masih mau lanjut Karunrung? kau masih punya 5 bidak lagi." ucap Ayanokuji setelah menekan Rajanya menggunakan Benteng.
"Hebat padahal baru mulai sudah Skak saja... kuat sekali Kakek ini," sahut Malewai.
"Sayang sekali aku belum mau menyerah Kakek Tua,"
Tidak lama setelahnya, serangan balik Karunrung dalam permainan itu gagal. Karaeng itu tidak berdaya melawan permainan Ayanokouji.
"Aku tidak pernah menang melawan Paman sampai sekarang."
"Karena menang adalah segalanya di dunia ini," ucap Ayanokouji dengan ekspresi datar
Seketika perkataan Ayanokouji bergema di hati Karunrung, kalau Gowa sampai kalah melawan Belanda atau Arung Palakka maka mereka akan menjadi hina. Hanya dengan kemenangan, Wajo, Luwu, Mandar, bahkan Yolngu dan yang lain akan mau menjadi Vasal Kesultanan Gowa. Untuk apa dipimpin oleh kerajaan yang dipecundangi oleh dunia.
Ayanokouji dari kecil memang sering menelan pahitnya kekalahan, mulai saat ia berusia 15 tahun ketika itu di Pengepungan Osaka ia dijadikan sebagai Ashigaru (Prajurit Rendahan) Klan Mori yang tunduk pada Klan Toyotomi. Namun setelah ia kalah, ia terpaksa berhenti menjadi samurai dan lebih memilih untuk bertani.
Saat berdagang bersama rekannya ke Negara lain, tiba-tiba saja Jepang ditutup oleh Klan Tokugawa. Ia tdak bisa pulang dan memilih untuk bertarung bersama Sultan Kamboja, Namun ia kalah lagi saat Sang Sultan digulingkan oleh Dinasti Tuan Nguyen dari Vietnam dan sekarang menetap di Makassar.
Sudah lama Samurai tua itu tidak melihat anak dan istrinya lagi. Pasti ia telah memiliki cucu yang tidak akan pernah diketahui namanya. Alasan itu mengapa menang adalah segalanya bagi Ayanokouji.