webnovel

Sembilu Kata

Menjadi satu dari sekian banyak orang yang berlalu lalang di jalanan ini mengingatkan aku pada kejadian beberapa tahun yang lalu. 

Ketika ada banyak orang yang meremehkan keputusanku. Bahkan saat itu aku pun merasa jika keputusan yang kuambil bukan sebuah keputusan yang benar.

Udara dingin yang menyentuh tubuh membawa ingatanku kembali pada peristiwa hari itu.

***

Bekerja memang menjadi keinginan semua orang. Mendapat gaji lalu hidup dengan tenang. Tapi pekerjaan yang mereka sebut-sebut bukanlah apa yang menjadi keinginanku.

Pergi setiap pagi, menghabiskan waktu sekian jam di dalam satu ruangan, pulang sore  atau malam hari, dan begitu hampir setiap harinya. Semua itu bukanlah pekerjaan yang kuinginkan.

"Terus kamu mau kerja kaya apa? yang penting sekarang itu ya uangnya," ujar salah seorang wanita paruh baya yang duduk tak jauh dariku.

Tidak ada kalimat yang bisa kuberikan untuk menjawab pertanyaannya. Hanya senyuman yang penuh keterpaksaan sebagai jawabannya.

Selanjutnya aku tahu ke mana arah pembicaraan wanita paruh baya ini. Pada akhirnya semua akan bermuara pada desas-desus mengenai keputusanku yang beberapa hari ke belakang telah menyeruak hingga ke luar rumah.

"Jaman sekarang cari pekerjaan itu susah, gak usahlah itu tolak-tolak kerjaan," lanjut wanita itu.

 "Bukan nolak, tapi memang bukan yang diinginkan." Ingin rasanya aku mengatakan hal itu, tapi kalimat itu tidak sampai dilontarkan oleh mulutku.

"Gak ada cerita anak saya itu nolak pekerjaan. Lulus SMA pun saya suruh langsung kerja, cari duit. Gak usahlah dia kuliah-kuliah segala ngabisin duit."

Aku benar-benar terkesiap dengan apa yang dikatakannya. Wanita paruh baya ini benar-benar menyerangku menggunakan kata-katanya. Di antara manusia yang duduk di pekarangan saat ini hanya akulah sarjana. Bergelar tapi tidak berguna karena sampai dengan saat ini aku belum mampu menghasilkan uang.

Sementara itu, sebagian dari mereka adalah wanita paruh baya yang pendidikan pun hanya sebatas SMP dan sisanya teman sebayaku yang kini telah menimang anak mereka masing-masing.

Seketika itu kurasakan gelar yang saat ini ada di belakang namaku sangat tidak berguna. Sama sekali tidak bisa mengantarkanku pada kemapanan hidup. Tapi apa keputusan yang kuambil ini mempengaruhi wanita itu hingga dia menyerangku habis-habisan.

Apa yang salah dengan keputusanku? Aku tahu dan bahkan sadar betul jika manusia membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Tapi jika harus menggadaikan ketenangan jiwa bukankah itu sama dengan bunuh diri perlahan?

AHH,, 

Kalimat-kalimat itu hanya ada di dalam kepalaku. Bagaimanapun aku berpikir dan menyampaikannya tetap tidak akan mengubah pikirannya. Bisa saja kalimat-kalimatku itu akan ditolak mentah-mentah oleh kebanyakan orang. Mereka semua pasti menganggapku aneh, gila, sok berprinsip. Pada kenyataannya bekerja dan mendapat uang adalah yang utama dalam hidup.

Abaikan…

Bagiku, pekerjaan yang seharusnya aku kerjakan adalah pekerjaan yang sesuai dengan hati dan passionku. Tidak peduli sekeras apa aku bekerja nantinya, hatiku akan mendapat kepuasan bukan sekadar selesai dan memulai hal yang lain.

Tapi biarlah kalimatku itu ada di dalam diriku sendiri. 

***

"Gak malu apa kamu dari tadi jadi bahan omongan?" tanya ibuku sesaat setelah aku menutup pintu rumah.

Pertanyaan itu seketika membuat wajahku terangkat. Mataku tepat berhadapan dengan daun pintu yang jaraknya hanya beberapa senti dariku.

Kukedipkan kelopak mataku berkali-kali. Kuhembuskan pula napas dari mulutku.

"Ya udahlah," jawabku sembari berjalan melewati ibuku yang sudah mendaratkan tubuhnya di atas kursi

"Malulah. Umurmu udah berapa? Mau sampai kapan kamu kaya gini?"

Rasanya dua pertanyaan itu jauh lebih menyakitkan daripada kalimat-kalimat wanita paruh baya sebelumnya.

"Kalau Mama gak banyak ngomong ke orang, mereka juga gak akan tahu."

"Kamu nyalahin Mama?"

Seketika tubuhku berbalik menatap ibuku yang kini tengah menatapku dengan mata bulatnya. Aku terdiam sejenak menatap lekat wajah ibuku yang tidak pernah ramah.

"Aku bahkan tidak punya hak untuk menyalahkan siapapun."

"Maksud kamu apa?"

Sama sekali tidak kugubris kalimatnya. Kuputuskan untuk meninggalkannya secepat mungkin dan kembali mengurung diriku di dalam kamar.

Sepertinya, keputusanku untuk menyapa tetangga sekitar adalah pilihan yang salah. Lebih baik mereka tidak mengetahui keberadaanku.

Kalimat-kalimat menyakitkan yang dilontarkan ibuku tidak berhenti sampai di situ. Ia terus melontarkan kalimat-kalimat yang tidak kalah menyakitkannya. Entah ketika ia sedang berbicara dengan seseorang atau saat sedang sendiri.

Ibuku pasti begitu muak melihatku berlama-lama berada di rumahnya, tapi untuk mengusirku pergi ia pun tak sanggup.

Hal seperti ini bukan kali pertama terjadi. Entah ini sudah kali ke berapa hingga untuk yang ke sekian kalinya perutku tidak menerima jatah makan malam.

Bukan karena ibuku tidak menyediakan makan malam. Ibuku tidak sekejam itu, hanya saja aku terlalu gengsi untuk meninggalkan kamarku.

Tapi percayalah, apa yang diperbuat ibuku sudah membuatku hampir menyerah. Ingin kuturuti apa yang menjadi keinginannya. Bekerja di satu perusahaan, duduk berjam-jam mengerjakan sesuatu, lalu pulang setelah pukul sekian dan kembali lagi keesokan harinya di jam yang sama.

Atau kutinggalkan rumah ini, hidup bebas di luar sana sembari mengejar mimpiku. Tapi jika kulakukan hal itu lantas apa bedanya dengan aku bekerja seperti yang diinginkan ibuku.

Sempat terpikir pula olehku untuk menikahi seorang duda yang bergelimangan harta supaya aku tidak perlu lagi repot-repot bekerja. Tapi yang jadi masalah adalah duda mana yang mau menikahiku? wanita yang sama sekali dunia macam apa yang ada di hadapannya.

Sungguh sesak menghadapi situasi seperti ini. Rasanya benar-benar ingin kulepaskan semuanya dengan berteriak sekeras mungkin atau berjalan seorang diri di malam hari tanpa ada yang peduli dengan apa yang sedang kulakukan.

Sayangnya aku tidak memiliki keberanian untuk itu.

Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Begitu yang kulakukan berulang-ulang hingga aku lupa apa yang menjadi beban pikiranku.

***

Tapi hari ini aku menyadari jika jalanku sudah cukup jauh. Walau tertatih tapi akhirnya aku mampu berada di antara orang-orang dengan warna kulit dan rambut yang jauh berbeda dariku.

Menelusuri jalan ataupun berpapasan dengan orang lain bukanlah hal yang menguras pikiranku lagi. Tidak lagi semua itu mengganggu pikiranku. Apa yang kulakukan pun sama sekali tidak menarik perhatian mereka hingga menjadikanku bahan pembicaraan yang tiada henti.

Aku sadar, walau akhirnya aku harus berada jauh dari kota kelahiranku tapi hati dan pikiranku jauh lebih tenang. Tidak perlu lagi aku berlapang-lapang dada untuk hal-hal yang sebenarnya tidak kuperlukan.

Hari-hariku jauh lebih baik di sini. Di tengah orang-orang asing yang tidak mengenal latar belakangku. Yang mereka perlukan hanyalah hasil kerjaku.

Aku bangga dengan keputusan yang kuambil bertahun-tahun yang lalu. Kukuh pada pendirian walaupun jalan yang kutempuh amat begitu sulit.