webnovel

H+5 Part 1

Dua hari sebelumnya, aku tahu jika kondisi kakek sudah tidak baik-baik saja. Tubuhnya hanya mampu berbaring di atas beralaskan seprai dan kain-kain yang sengaja ditumpuknya. Kakek sudah tidak basi bergerak dengan leluasa, bahkan kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya pun begitu terbatas.

Hari itu, sekali lagi dan untuk kesekian kalinya aku mendapat kabar jika kondisi kakekku kembali menurun. Tubuhnya sudah tidak mampu bergerak banyak, suaranya sudah tidak lagi jelas, jari-jarinya bahkan sudah dingin layaknya es.

Mendapati kabar itu, aku memang tidak lagi merasa terkejut, tapi apapun yang sedang kukerjakan hari itu benar-benar kutinggalkan begitu saja. Aku berusaha secepat mungkin untuk tiba di tempat kakek.

langkahku begitu lebar karena pikiranku mulai meracau. Tapi bagaimana pun, aku berusaha untuk membuat hati dan wajahku terlihat tenang. Tidak akan baik jika aku menangis, menambah kepanikan yang sudah pasti tercipta di rumah itu.

Kuperhatikan orang-orang yang berada di sekitaran kediaman nenekku. Dari wajah-wajahnya dapat kusimpulkan jika kabar mengenai kondisi kakekku tidak sampai ke luar rumah. Berbeda dengan kejadian-kejadian sebelumnya, wajah orang-orang sekitar akan menjadi sendu, bahkan tidak jarang pula dari mereka yang masih terisak meski sudah lama meninggalkan kediaman kakekku.

Langkahku semakin cepat ketika kedua mataku melihat pagar kediaman kakek. Hatiku sudah tidak tahan untuk segera melihat kakekku. Tanpa kusadari, langkahku semakin cepat bahkan setengah berlari.

Rupanya kedatanganku sudah ditunggu benar oleh mereka. Sesaat setelah aku tiba, mata mereka seketika menatapku. Sorot matanya memancarkan kesedihan yang begitu mendalam. Wajahnya sudah berubah merah karena efek air mata yang tiada hentinya keluar.

Saat itu tampak olehku bagaimana kondisi kakek yang sudah benar-benar lemah tak berdaya. Kondisinya begitu memprihatinkan. Anak perempuannya bahkan memerah wajahnya sembari tidak melepaskan tangan keriput kakekku.

Hancur bukan main hatiku melihat tubuh tua itu sudah benar-benar tidak lagi berdaya. Suara yang keluar dari mulutnya pun sudah tidak jelas lagi terdengar olehku. Aku mendekat pada tubuh kakek yang kini disangga oleh bertumpuk-tumpuk bantal. Wajahnya begitu putih dengan peluh sebesar biji jagung menghiasi keningnya.

Matanya sudah mulai kehilangan cahayanya. Perlahan mata itu mulai redup. Mulutnya terus menganga berusaha mengucapkan kata-kata yang tidak kupahami. Ia menggenggam tanganku, menatapku, dan berucap padaku. Aku hanya mengangguk, dan segala yang dikatakannya kuindahkan. Tidak ingin menyakiti hatinya.

Aku bahkan tidak ingat apakah saat itu air mataku kembali mengalir atau sudah mengendap lantaran hatiku sudah benar-benar menerima kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.

Sesekali kudengar kakek merintih kesakitan. Ia mengeluhkan ada banyak rasa sakit di tubuhnya. Melihat hal itu, hilang sudah keinginanku untuk tetap bersikap tegar. Air mataku memang tidak terjatuh, tapi hatiku remuk. Hatiku berkata, akan ada hal lain yang terjadi setelah hari ini.

Semakin lama kondisi kakek semakin menurun. Satu dua orang mulai tiba, meski hanya sesaat untuk sekadar meminta maaf atau menunggu beberapa lama. Situasi yang demikian berlangsung dalam beberapa jam. Malam itu kondisi kakek tidaklah membaik ataupun memburuk. Hanya saja, kali ini dia menjadi lebih tenang daripada sebelumnya.

***

Dua hari berselang setelah peristiwa itu, aku merasa jika hari ini sangatlah jauh berbeda dari hari-hari biasanya. Entah apa yang akan terjadi. Sejak pagi hari aku memiliki keinginan untuk pergi menikmati udara luar bersama dengan seorang temanku, Tapi meski ada keinginan itu, aku sama sekali tidak mengutarakannya. Aku hanya membiarkan keinginan itu berputar-putar di dalam kepalaku.

Aku tidak mengerti bagaimana caranya, tapi teman yang kumaksud sebelumnya juga memiliki suasana hati yang sama. Dia mengajakku untuk pergi untuk sekadar menikmati segelas kopi di tempat favorit kami, lebih tepatnya di kafe satu-satunya yang ada di tempatku. Tanpa pikir panjang aku pun mengindahkan ajakannya. Gayung bersambut.

Setelah ajakan itu kusetujui, di hatiku tidak lagi ada kebimbangan seperti sebelumnya. Dengan perasaan hati yang gembira aku mengenakan pakaian yang cukup nyaman di tubuhku dan berhias secantik mungkin. Bukan untuk menggoda lawan jenis, lebih tepatnya agar wajahku yang kusam saat itu bisa tersamarkan.

Hari itu, aku mengenakan pakaian hitam. Dari sekian banyak pakaian yang kumiliki, pakaian dengan nuansa hitam adalah jalan ninjaku. Tidak ada yang spesial dari pakaianku sampai saat ini. Memang aku menyukai nuansa hitam dan banyak dari pakaianku berwarna hitam. Tapi warna hitam yang kupakai hari ini layaknya sebuah pertanda yang telat kupahami.

Sekitar pukul tiga sore, aku dan seorang temanku itu pergi menuju kafe yang tujuan kami. Aku memesan segelas caramel macchiato dan beberapa jenis camilan. Kami duduk di lantai dua, menghadap jalan raya dengan begitu banyak kendaraan yang berlalu lalang. Melihat bagaimana lautan dan bagan-bagan yang terapung di atas samudra luas. Walaupun jaraknya cukup jauh, tapi pemandangan itu cukup menghibur mata kami.

Percayalah, kami berdua tertawa lepas. Membahas satu dan lain hal. Bahkan beberapa orang teman kami satu persatu datang. Aku lupa bagaimana cara mereka bisa menemui kami di kafe tersebut. Apakah temanku itu yang menghubungi mereka atau bagaimana caranya aku benar-benar lupa.

Tepat ketika pukul lima sore, saat kami terpikir pergi ke pantai untuk menikmati sunset tiba-tiba saja ponselku berdering. Tentu kuraih ponselku yang terus berdering memekakan telinga. Di layar ponsel yang menyala aku melihat nama sepupuku terpampang di sana.

Hatiku yang semula tenang kembali menangkap sinyal jika ada hal yang sedang menantiku. Hatiku seolah berkata jika ada hal buruk yang akan kudengar beberapa saat lagi. Hatiku tiba-tiba saja menjadi keras. Sama sekali tidak bisa kukendalikan.

Kuangkat panggilan itu. Di seberang sana, terdengar suara tangis sepupuku yang terisak. Mendengar hal itu semakin jelaslah prasangkaku.

"Teteh, kakek udah gak ada…"

Cukup kalimat itu membuat hatiku remuk redam. Akan tetapi, jawabku saat itu hanyalah, "Iya gak pa-pa. Teteh pulang sekarang."

Hanya itu yang kuucapkan. Bahkan aku tidak merasakan sedih walaupun hatiku sudah hancur. Aku masih mampu mengendalikan seluruh tubuh dan pikiranku.

Kututuplah panggilan itu, kumulai mengemasi beberapa barangku yang tercecer di atas meja. Kukatakan pada temanku jika aku harus pulang saat itu lantaran kakek sudah tidak lagi ada. Saat itu aku tidak mengatakan dengan jelas jika kakekku sudah meninggal dunia. Aku hanya mengatakan jika kakek tidak ada. Hanya itu.

Tidaklah salah jika temanku tidak langsung memahami apa yang kukatakan. Aku harus mengatakan hal tersebut berulang kali hingga akhirnya temanku yang sedari tertawa pun menjadi diam. Dia segera mengindahkan keinginanku dan berpamitan dengan beberapa orang teman yang lain.

Menyadari alasanku pulang dengan begitu terburu-buru, beberapa temanku lantas memberikan ucapan bela sungkawa yang seketika mengundang perhatian dari beberapa pengunjung kafe lainnya. Aku hanya tersenyum menyambut ucapan mereka yang sama sekali tidak berarti apa-apa untukku.

Temanku saat itu hanya mengantarkanku hingga persimpangan jalan. Ia memilih untuk tidak turut menemaniku dan itu menjadi keputusan baik yang dia ambil. Akan apa jadinya jika dia turut serta bersamaku hari itu.

Aku mengucapkan terima kasih padanya karena sudah mau mengantarku dan meminta maaf karena telah memotong waktunya untuk bersenda gurau.

Selepas itu, aku pun berjalan menuju kediaman kakekku. Aku masih bisa merasakan sedikit sisa akal sehat di dalam kepalaku. Aku selalu berucap jika semua yang terjadi sama sekali bukan masalah besar. Aku masih mampu mengendalikan langkahku dengan pasti.

Sampai ketika ada seseorang berpapasan denganku. Ia melihatku berjalan dengan langkah yang tidak terburu-buru. Ia mengatakan, "Neng, kakek udah gak ada. Yang sabar ya." sambil lalu.

Aku pun lantas menyambut perkataan itu, "Iya engga pa-pa".

Percalah, jawaban yang kuucapkan saat itu adalah kebohongan besar. Sesaat setelah aku berucap demikian, tanpa sadar kakiku berlari dengan kencang membawa tubuhku yang sudah kehilangan akal sehat. Tidak peduli apa yang akan orang katakan ketika mereka melihatku berlari tunggang langgang.