webnovel

Oh My Gay

Menjadi teman tanpa menikah bukan sebuah impian Earth dan Sky. Namun keinginan keduanya untuk bersama, harus dikubur kareana adanya pertentangan dari ayah Earth. Jika itu cinta, tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Earth kembali dipertemukan dengan Sky, disaat ia telah bersama seorang wanita bernama Moon. Namun kakak Sky —Cloud- yang masih menyimpan benci kepada Earth dan keluarganya, ingin menghancurkan hubungan Earth dengan Moon. Apakah Earth dapat mempertahankan jati diri yang diminta oleh Ayahnya? Atau ia memilih untuk kembali bersama Sky dan menjadi teman tanpa menikah? . . . IG :@puspasariajeng

Ajengkelin · LGBT+
Không đủ số lượng người đọc
114 Chs

Bukan yang Diinginkan

Cklek

"Earth?" Mata Moon membesar ketika melihat kehadiran Earth di depan pintu rumahnya. Ia menggigit bibir bagian bawahnya, seperti bingung dengan kedatangan Earth yang tidak memberi kabar lebih dulu.

"Mau pergi?" tanya Earth, melihat penampilan Moon yang sepertinya hendak pergi, karena pakaian yang dipakainya bukanlah pakaian rumah.

Moon menyeringai, menggaruk kepala belakangnya. Ia mempersilakan Earth masuk ke dalam rumahnya lebih dulu, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Moon masuk lebih dulu dan diikuti oleh Earth di belakangnya. Tangan Eart meraih tangan Moon, kemudian ia menariknya, membuat Moon tersentak dan berbalik badan, menghadapnya.

"E—earth? A—ada apa?" tanya Moon, cemas.

"Apa yang sedang kau tutupi dariku? Tidak biasanya seperti ini?" tanya Earth, merasa ada yang berbeda dari Moon.

Moon mengerjap, ia menelan salivanya.

"T—tidak ada apa-apa … eu … m—mari duduk," ucap Moon mengajak Earth untuk duduk. Ia mendorong dada Earth agar pria itu melepaskannya.

Earth menggelengkan kepalanya, masih belum bisa percaya dengan apa yang dikatakan oleh Moon. Sepertinya Earth sudah memahami Moon dengan baik, apakah Moon sedang berbohong atau berkata jujur.

Earth duduk di sofa, bersebelahan dengan Moon. Namun Moon hanya diam, tidak melihat Earth dan terlihat kalau dirinya sedang mengalihkan pandangannya dari Earth.

"Ingin pergi kencan?" tanya Earth melemah.

Moon menoleh pada Earth dengan mata yang membesar. Ia menggelengkan kepalanya, kemudian menyeringai.

"Berikan padaku, dimana lokasi kalian akan melakukan janji temu," ujar Earth, menebaknya. Ia sudah dapat menerka gelagat Moon dan tidak ingin lagi mengulur waktu.

"Earth …."

***

"Pergi dengan siapa, Cloud?" tanya mamanya, lagi-lagi memancing karena terlalu ingin tahu.

Cloud menyegerakan minumnya dan kemudian meletakkan kembali botol tersebut ke dalam lemari es dan menyimpan gelasnya di wastafel.

"Pergi dengan mahasiswa baru. Ia akan seangkatan dengan Sky nanti."

"Wah, apa kamu sedang mendekati seorang gadis?" tanya sang mama, sangat ingin tahu.

"Ma … aku tidak ingin ia menunggu. Biarkan aku pergi dan aku akan menceritakannya saat kembali nanti," tutur Cloud, terlihat tidak sabar ingin bertemu dengan Moon.

"Ok. Silakan pergi tapi ingat, jangan pulang terlalu malam. Meski besok adalah akhir pekan, tapi kita harus pergi seharian untuk menemani Sky."

"Baik, Ma. Aku mengerti."

Cloud keluar dari rumahnya dan menghampiri sebuah mobil yang terparkir dengan rapi di halaman rumahnya. Satu-satunya mobil yang ada di rumah itu adalah milik peninggalan Ayah Cloud, yang telah gugur dalam perang beberapa waktu lalu. Cloud sebagai anak pertama dituntut untuk bertanggung jawab atas keluarganya, sebagaimana ada ibu dan juga Adiknya yang kini baru saja kembali dari perjalanannya ke Eropa.

Cloud mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah kafe yang telah ia janjikan dengan Moon. Cloud tersenyum, merasa bisa dengan mudah memperdaya Moon.

Moon adalah wanita pertama yang ia ajak kencan dalam waktu singkat. Nyatanya selama ini Cloud diduga sebagai seorang gay karena dirinya yang tidak pernah memiliki pasangan dan mungkin saja nyaris tidak pernah jatuh cinta pada wanita mana pun.

"Ah, Moon terlalu pandir," gumamnya menaikkan sebelah bibirnya, tersenyum sinis.

Mobil Cloud menepi di sebuah kafe yang menjadi tempatnya kencan dengan Moon. Ia melihat dirinya di kaca spion mobil, merapikan rambutnya dan memperlihatkan ketampanannya. Cloud tersenyum dan kemudian melepaskan seat belt, agar ia bisa keluar dari mobilnya.

Bugh!

Could menutup pintu mobil dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kafe tersebut. Pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang duduk di sudut, kini tengah menoleh kepadanya. Cloud menaikkan sebelah bibirnya, kemudian menggelengkan kepalanya. Ia berjalan menghampiri meja tersebut dan kemudian berhenti tepat di hadapan orang yang sedang ia tuju.

"Pada akhirnya … kamu datang juga," tutur Cloud, nadanya terdengar sangat sinis.

Ia mendapat balasan senyum yang sangat sumringah. Membuatnya ikut tersenyum yang sama, meski itu terpaksa.

"Bukan seperti yang kau inginkan, bukan?"

"Kau salah. Ini adalah yang aku inginkan, Earth," balas Cloud, seperti menantang Earth yang datang menggantikan Moon di kencan pertama Cloud dengan Moon. "Sepertinya aku harus berterima kasih pada Moon, karena telah membawamu datang menemuiku," lanjut Cloud.

"Tidak perlu. Lagipula, aku datang hanya untuk meperingatkanmu. Jangan pernah mengganggu Moon, apalagi mengusiknya dengan masa lalu kita yang tidak perlu lagi untuk dibicarakan," tutur Earth.

"Ouw … masa lalu? Masa lalu kita kau bilang?" kekeh Cloud, memalingkan pandangannya sejenak. "Hmmm … baiklah, aku hanya ingin memberitahumu … besok pagi, aku akan peri menemani Sky untuk mempersiapkan perlengkapan kuliahnya. Jika kau ingin ikut, bisa datang sebelum matahari terik. Aku masih tinggal di rumah yang lama," tutur Cloud.

"Terima kasih. Tapi aku tidak tertarik dengan ajaknmu, Cloud," balas Earth menolaknya. "Jika tidak ada yang ingin disampaikan lagi, biarkan aku pergi."

"Ouh, silakan. Tidak ada yang melarangmu untuk angkat kaki dari sini … dan dari hadapanku," ujar Cloud kemudian menepi, memberikan jalan untuk Earth untuk beranjak dari tempat duduknya. Ia segera berlalu meninggalkan Cloud dengan perasaan kesal pastinya.

'Sial!' umpat Cluod dalam hati. "Kamu tidak tertarik atau takut, Earth?" gumamnya kemudian, menerka apa yang dirasakan oleh Earth.

Sementara itu, Earth berlalu dari kafe dan menuju ke sebuah halte, untuk menunggu bus menuju ke rumahnya. Ia duduk di sana dan menunggu bus nya datang, sembari melamun, mengingat sesuatu yang pernah terjadi di sama lalu. Masa lalu yang indah namun berubah menjadi sebuah petaka baginya.

Drrrt drrrt

Ponselnya tiba-tiba saja bergetar, menadakan adanya panggilan masuk. Earth meraih ponselnya dari saku celana jeasn yang ia kenakan. Nama Moon tertera pada layar ponselnya, wanita itu menghubunginya.

"Halo?" sapa Earth, menerima panggilan dari Moon.

"Earth, kamu dimana?" tanya Moon dalam panggilannya.

"Aku sedang di halte, menunggu bus untuk pulang. Ada apa, Moon?"

"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Cloud?"

"Hm. Aku sudah mengatasinya. Aku memintanya untuk tidak mengganggumu lagi."

"Apa ia akan menurut pada ucapanmu?"

"Aku rasa iya. Meski tidak, aku tetap akan menjaga dan melindungimu, Moon. Kamu tidak perlu khawatir."

Sementara itu di rumah, Moon tengah menatap cermin pada meja riasnya, sembari melakukan panggilan dengan Earth. Rautnya terlihat begitu datar, sepertinya ada kecewa yang membuatnya seperti itu.

"Baiklah kalau begitu, Terima kasih atas bantuannya," ucap Moon. "Hati-hati di jalan."

Moon mengakhiri panggilannya dan kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. Ia masih menatap dirinya di depan cermin. Tatapannya sangat sendu, menggambarkan suasanya hatinya saat ini.

"Bukan itu yang aku inginkan, Earth," gumam Moon.

Ia bukan hanya sekadar berharap mendapat perlindungan dari Earth, namun Moon sudah merasa ingin memiliki Earth bukan hanya sebagai teman saja. Setelah tiga tahun ia meminta waktu kepada Earth untuk bertahan sebagai teman, kini perasaanya telah goyah dan ingin menjadikan Earth sebagai kekasihnya.