webnovel

Ocean Earth

Ketika daratan perlahan digantikan dengan lautan, dua pilihan dihadapkan kepada manusia, pasrah menunggu nasib atau berusaha untuk hidup...

Amethyst1984 · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
21 Chs

Chapter I: Missing Land

Kiamat, satu kata dengan banyak makna. Bagi beberapa orang, kata itu adalah yang mereka tunggu-tunggu. Bagi sebagian yang lain, mereka tidak ingin dia datang. Ironisnya, segala sesuatu pasti punya akhir. Ia hanya menunggu waktu. Menunggu dan melihat apa yang dilakukan umat manusia sembari menanti kedatangannya. Apakah dengan menambah pahala dan memperdalam agama? Atau dengan membuat banyak hal dan rencana untuk melarikan diri? Entahlah, aku tak peduli.

Tiga bulan yang lalu, fenomena aneh yang menggemparkan terjadi. Pulau Jawa lenyap dalam semalam, membuat Indonesia kehilangan pemerintahan pusatnya. United Nations atau PBB menjamin keamanan bangsa Indonesia selama Indonesia dalam masa kekosongan pemimpin dan perlahan, terbentuklah pemerintahan pusat di Borneo, atau yang lebih dikenal dengan Kalimantan.

Para peneliti dari berbagai dunia berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk meneliti tentang fenomena ini. Ratusan dari mereka yang datang, tak pernah kembali, seperti fenomena di segitiga Bermuda. Mereka hilang, tanpa bekas dan tanpa jejak. Bahkan, blackbox yang bisa digunakan untuk mencari tahu penyebab kecelakaan mereka pun hilang.

Beberapa peneliti mencoba mengambil jalur laut, mengingat mereka yang hilang menggunakan jalur udara. Namun, di saat mereka mendekati lokasi, menara control menangkap sinyal bahaya. Anehnya, kapal tersebut dikatakan masih terus mendekati lokasi hingga akhirnya hilang dari radar. Seolah-olah ada yang menyeret mereka sehingga mereka tak bisa kabur.

Penelitian akhirnya dihentikan mengingat banyaknya korban jiwa yang terus bertambah. Tetapi, satu bulan kemudian, Norwegia, Swedia dan Finlandia menghilang, dengan tanggal yang sama ketika pulau Jawa menghilang. Pemerintah dunia panik, mengingat empat negara sudah menjadi korban dan bukan sebuah kemustahilan negara lain merasakan hal yang sama.

Penelitian kembali berlangsung, namun dengan cara apapun, para peneliti tetap menghilang tanpa jejak. Rumor mengatakan bahwa menara komunikasi menangkap suara dari kapal terakhir. Suara seorang lelaki yang meneriakkan, "Sebuah kuil! Kami menemukan sebuah kuil!" Tak lama, sinyal dari kapal tersebut putus dan kapal tersebut menghilang dari radar.

Lelaki tersebut diduga Prof Hawkins Eissenmeyer, peneliti asal Florence, Italia yang juga terlibat dalam penelitian tentang pulau Jawa yang menghilang, tetapi beliau tidak mengikuti ekspedisi. Beliau berperan dalam penelitian tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan mengaitkannya dengan logika dan ilmu alam. Entah apa yang dipikirkannya ketika mengikuti ekspedisi kedua.

"Arutala, bisakah kau menyelesaikan artikelnya hari ini? Kita tak bisa menunggu lagi,"kata Rebecca yang membuatku tersadar dari lamunan. "Ah iya, tentu saja, aku akan menyelesaikannya hari ini."kataku sambil membenarkan posisi dudukku. "Bagus, kalau begitu, aku duluan. Semoga berhasil,"katanya sambil melambaikan tangan.

Aku bergegas menyelesaikan artikelku(yang menurutku tidak penting), menyerahkannya kepada ketua tim dan beranjak pulang. Aku harus segera tidur, pikirku. Besok adalah hari yang penting. Hari pertamaku meliput berita besar! Aku dan ketua akan menghadiri konferensi pers Zadweg von Kalstreeg! Dia adalah ketua peneliti sekaligus satu-satunya yang selamat dari ekspedisi kedua. Dan yang lebih hebatnya lagi, ketua berhasil membuat janji untuk mewawancarainya selama tiga puluh menit! Sungguh menakjubkan!

Aku bergegas menuju parkiran dan menghidupkan mobilku. Satu hari yang melelahkan. Menghabiskan waktu untuk menulis berita yang tidak penting sungguh menghabiskan tenagaku. Maksudku, siapa yang peduli tentang hubungan asmara artis disaat dunia dalam bencana seperti ini? Lebih baik penuhi mejaku dengan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan daratan-daratan yang hilang!

Aku membanting kepalaku ke setir, membiarkan suara klakson memenuhi ruangan. Ada yang aneh. Mengapa Zadweg von Kalstreeg yang telah mengurung diri selama satu bulan akhirnya mau melakukan konferensi pers? Ditambah lagi menyetujui wawancara selama 30 menit? Apa yang ada di otaknya? Mengapa akhirnya dia mau bicara? Sesuatu pasti telah terjadi.

Aku menjalankan mobilku sambil terus berpikir. Jalanan Barcelona terlihat sepi, suatu pemandangan yang sangat jarang terjadi di Barcelona. Saat itu, aku harusnya tahu bahwa malam yang sepi sangat aneh di Barcelona. Biasanya di jam segini, nyala lampu warna-warni masih bisa terlihat dari jendela kantorku, tapi tadi tidak. Biasanya jalanan utara masih terang benderang dengan…sebentar, siapa itu di sana?

Prak! Seorang laki-laki menggedor kaca jendelaku. Penampilannya mencurigakan dengan rambut panjang dan muka yang tidak terurus. Mungkin dia gelandangan, atau bisa jadi orang jahat. Aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya. Ia berteriak, makin lama makin keras. "Kumohon, pak! Kau harus membiarkanku masuk!"

Ahh…merepotkan. Siapa orang gila ini? Kuputuskan untuk meladeninya sebentar saja. "Selamat malam, pak. Anda punya masalah denganku?"kataku dengan galak. "Kumohon, pak. Anda harus membawa saya pergi dari sini! Jika tidak, mereka akan membunuhku!"katanya dengan gemetar. Ia melihat ke kanan, kiri, dan belakang.

Sinting, kataku dalam hati. Siapa yang mau membunuhnya? Dia benar-benar sudah gila! Aku menutup kembali kaca jendelaku yang kemudian ditahannya dengan jarinya. "Hei! Apa yang kau lakukan? Kau melukai dirimu sendiri! Aku akan memanggil polisi!"ancamku padanya. "Kumohon, pak. Anda satu-satunya harapanku. Aku harus segera pergi dari sini, kalau tidak kota ini akan tenggelam!"teriakknya dengan keras.

"Apa?"kataku tanpa sadar. "Percayalah padaku, pak! Keselamatan kota ini bergantung padaku!"teriaknya lagi. "Sekarang aku tahu kau bukan hanya orang gila tetapi, teroris!"kataku dengan marah. "Apa yang kau rencanakan, hah? Menenggelamkan kota ini? Dengan cara apa? Kau pikir kau siapa? Sedari tadi kau hanya menggangguku! Dan sekarang kau malah mengancamku? Aku benar-benar kehabisan kesabaran sekarang."

Ia terlihat menyadari sesuatu. Ia memasukkan tangannya ke dalam jaketnya dan mengeluarkan sebuah kartu yang kemudian diberikannya padaku. "Ini, ini identitasku. Aku baru tersadar waktu kau bilang aku ini siapa. Kau bisa memastikannya dengan ini." Kartu kependudukan dan kartu apa itu? Aku memutuskan untuk melihat keduanya dari jauh. Tidak ada baiknya menerima sesuatu dari orang asing dan yang lebih parahnya, gila pula.

Aku melihat huruf-huruf kecil itu dengan seksama. Gelapnya malam membuatku makin memicingkan mataku untuk melihatnya dengan jelas. Zad…weg…von...Kals..treeg? Zadweg von Kalstreeg? Orang gila ini? Orang gila ini adalah professor yang akan ku wawancarai besok? Satu-satunya yang selamat dari ekspedisi kedua?

Ketukan kaca membuyarkan lamunanku. Ia terlihat panik. "Cepat! Bunyi air sudah terdengar!" Aku membuka kunci pintuku dan ia bergegas masuk. "Kemana?"tanyaku padanya. "Lurus terus, kemudian ikuti aku. Kita harus bergegas ke laboratorium ku." Aku menginjak pedal dan membiarkan mobilku melaju dengan kecepatan tinggi. Lampu berubah menjadi merah, aku memberhentikan mobilku.

"Kenapa kau berhenti?"tanyanya frustasi. "Lampu merah! Aku bisa didenda!"kataku sambil menunjuk lampu lalu lintas. "PERSETAN DENGAN LAMPU MERAH! JALANKAN MOBILMU SEKARANG!"teriaknya dengan panik. Aku melihat kaca spionku. Tidak ada apapun, apa dia berhalusinasi? "Sebenarnya mengapa kita terburu-buru?"tanyaku.

"Dengar, apapun yang kau tanyakan akan ku jawab nanti. Sekarang prioritasmu hanyalah mendengarkan apa yang kukatakan dan mengantarkanku sampai laboratoriumku. Dan satu pertanyaan, kau bisa mengendarai kapal laut?"katanya sambil melihat GPS mobilku. "Pertanyaan macam apa itu?"balasku. "Kau hanya perlu menjawabnya, ya atau tidak?"

"Ya!"teriakku. "Bagus,"katanya sambil tetap melihat GPS. "Sepertinya Tuhan memang berniat menyelamatkanku hari ini,"gumamnya. Sesekali, ia melihat ke belakang dan melihat ke belakang lagi dengan membawa handphone-nya. "Ada apa di belakang?"tanyaku padanya. "Bukan urusanmu, anak muda, lanjutkan mengemudi,"katanya tak peduli.

"Baiklah tapi setidaknya beritahu aku di mana lab-mu berada!"teriakku, kesal. "Di bawah tanah Hospital del Mar, percepat lajumu anak muda, sebelum semuanya terlambat."katanya sambil terus melihat ke belakang. Aku berbelok dan menuju jalan Av. Del Litoral. Melanggar aturan memang, mengingat jalan ini satu arah, tapi aku tak peduli. Aku sedang dalam kasus emergency saat ini!

"Kita sudah sampai,"kataku padanya. "Bagus, sekarang ikuti arahanku."katanya sambil memasang sesuatu di atap mobilku. "Tabrak bangunan itu,"katanya sambil menunjuk rumah sakit. "APA?"