Seorang pemuda tegap tinggi berucap kata di atas sebuah panggung.
"Dengarkan wahai rakyatku! Tidak ada yang lebih baik dibandingkan mengutamakan kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan rakyat. Kami menjunjung kebebasan. Setiap hak rakyat dijamin oleh kerajaan. Tanggung jawab dan pengabdian akan dinomorsatukan. Jangan bimbang dan ragu, rakyatku, dan yakinlah bahwa Kerajaan Kutai adalah yang terbaik!"
Sekitar tiga puluh orang berdiri mendengarkan sang pemuda di depan panggung dengan tinggi satu depa setengah tersebut. Pemuda tersebut berambut panjang, berkulit sawo matang, berwajah oval, dan bersuara nyaring. Jika penilaian seorang wanita diperlukan, ia dapat memerhatikan bahwa pemuda tersebut bukanlah pemuda yang tampan.
"Raja kita yang sekarang, adalah raja yang terhebat di seluruh nusantara. Ia mampu menyatukan berbagai macam suku dan kerajaan – kerajaan kecil di tanah Kalimantan timur untuk bersatu menjadi satu kerajaan. Bontang, Tenggarong, Muarajawa, semua daerah di pinggiran Sungai Mahakam dipersatukan di bawah satu kedigdayaan: Kerajaan Kutai. Oleh karena itu, rakyat yang ingin berpindah ke tempat lain atau merantau ke tanah Jawa, mereka adalah orang – orang bodoh!"
Ucapan terakhir sang pemuda disambut dengan tepuk tangan oleh khalayak yang mendengarkan. Beberapa orang yang lalu – lalang di kerumunan pasar menghentikan langkahnya dan ikut mendengarkan. Beberapa memutuskan untuk meninggalkan kerumunan.
Sebuah suara nyaring menyela dari tengah kerumunan.
"Jika Kutai adalah yang terhebat, mengapa hanya Kalimantan timur yang kau persatukan? Hanya bisa mengandalkan sungai Mahakam, eh?"
"Bagaimana dengan Kerajaan Sriwijaya? Kau tidak tahu apa – apa!" Suara lainnya ikut menimpali.
Mendengar celaan tersebut, sang pemuda pun naik pitam.
"Kalian tahu, Balikpapan baru saja menyerah dua tahun yang lalu. Dan tidak lama lagi, kerajaan ini akan berkembang ke seluruh penjuru Kalimantan. Banjarmasin, Muarateweh, dan Sarawak akan menjadi bagian dari Kerajaan Kutai dalam lima tahun ke depan. Percayalah, kami tidak akan kalah lagi dengan Kerajaan Sriwijaya. Tidak, saat aku akan memerintah dari singgasana nanti."
Sebuah suara kembali menyela.
"Bahkan ayahmu pun belum naik tahkta. Kau bermaksud mendahului ayahmu?" Kalimat tersebut diakhiri dengan sebuah tawa dan diikuti tawa dan cemoohan seluruh rakyat yang mendengarkan di kerumunan.
Sang pemuda tidak dapat mengendalikan emosinya. Ia berlari menuju tepi panggung, melompat, dan menerjang ke arah kerumunan. Perkelahian tidak dapat dihindarkan. Ia memukul dan menendang ke segala arah, berusaha menjatuhkan setiap orang yang ia temui dengan bogem mentahnya. Balasan pun ia terima, beberapa orang di kerumunan mulai menghujamkan pukulan dan tendangan ke arahnya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama setelah tiga orang dengan memakai baju besi berlari ke arah kerumunan, mengeluarkan pedang, dan berusaha melerai sang pemuda dengan kerumunan.
"Cukup! Hentikan semua ini. Sekarang bubar!" ujar salah seorang berpakaian besi.
Rakyat yang berada di kerumunan tersebut kemudian membubarkan diri dan melanjutkan kegiatan mereka seperti biasa, meninggalkan sang pemuda bersama para penjaganya. Sang pemuda masih tersujud, berusaha memulihkan keadaan. Darah segar mengalir dari mulutnya.
"Kau ini, sudah kuperingatkan. Persiapkan dulu perkataanmu, baru melangkah menuju panggung pasar. Lihat apa yang terjadi saat kau main asal tembak saja. Setidaknya bogem dan tendangan tadi menjadi peringatan."
Salah seorang penjaga bertubuh besar membantu mengangkat sang pemuda berdiri. Ototnya yang kuat dan besar mampu mengangkat sang pemuda hanya menggunakan satu lengan saja.
"Aku tidak apa – apa. Cukup. Aku bisa berjalan sendiri."
Seorang penjaga lainnya berucap,"Benar – benar khotbah yang buruk. Apa – apaan tadi? Aku tidak dapat menangkap intinya."
Ketiga orang lainnya menatap penjaga tersebut. Yang ditatap kemudian melanjutkan perkataanya.
"Dan tentunya khalayak yang buruk pula. Mereka harusnya mendukung putra mahkota dalam menjunjung semangat kebersamaan di Kerajaan Kutai."
"Hina kerajaan ini dan kepalamu tidak akan tinggal lama di atas tubuhmu itu."
Sang pemuda mengancam sang penjaga yang diikuti oleh anggukan bahu penjaga tanda mengerti. Mereka berjalan beriringan melewati kerumunan orang – orang pasar. Bau amis ikan dan daging mentah tercium jelas di hidung sang pemuda.
Penjaga lainnya berucap, "Simpan amarahmu itu, pangeran. Khotbahmu tadi diperhatikan oleh kakekmu. Ia ada di ujung pasar ini."
Sorot mata sang pemuda berubah. Mukanya mengekspresikan keterkejutan. Ia tidak menyangka bahwa kakeknya ada di pasar ini memperhatikannya. Ia benar – benar kaget karena ia memastikan bahwa kakeknya sedang berlayar ke dataran di seberang Pelabuhan Mahakam pagi tadi sebelum ia berencana untuk naik ke podium pasar.
"Ke mana sekarang kita menuju?" ujar sang pangeran kepada para penjaga. Kata – kata yang tidak tersusun baik mencerminkan kepanikannya.
"Kau tahu sendiri."
Mereka melangkah beberapa langkah sebelum akhirnya berhenti di sebuah kedai kopi kecil terletak di pintu masuk pasar. Beberapa orang terlihat duduk di atas kursi menikmati kopi dan susu dan berbincang – bincang. Kumpulan orang – orang tersebut membuat sang pangeran tidak dapat mengenali darah kandungnya sendiri.
Seorang tua berambut putih lebat dengan jenggot tebal berpakaian katun duduk berbincang – bincang bersama koleganya. Ketika para penjaga bersama sang pangeran menghampirinya ia sedang tertawa terbahak – bahak. Salah seorang penjaga harus menepuk pundaknya untuk menyadarkan kehadiran mereka.
"Ah, para pengawal! Mau apa kalian, mau menangkapku? Aku tidak melakukan apa – apa."
Sang penjaga kemudian menatap sang kakek dengan muka serius.
"Oh, tolonglah, tidak punyakah kalian selera humor sedikit? Aku sedang berusaha memenangkan permainan ini."
Sang orang tua kemudian melihat sang pemuda di belakang para penjaga dan memanggilnya ke samping, "Hai nak, kemarilah, lihatlah ke sekelilingmu."
Di depannya ia melihat meja dipenuhi oleh kartu – kartu bergambar berbagai macam kerajaan. Beberapa botol tuak menghiasi, serta uang judi berada di sisi meja. Permainan kertas bergambar. Ia melihat beberapa orang tertawa dan memegang kartu di depan meja tersebut. Seseorang sedang mengisap candu cengkih. Sang pemuda melihat enam orang ada di sisi meja tersebut.
Sang tetua kembali ke posisi menghadap meja dan memegang kartu. Ia mengeluarkan sebuah kartu yang diikuti dengan ekspresi kekecewaan dari seluruh koleganya di sisi meja tersebut. Sang kakek bersorak tanda ia memenangkan permainan dan mengacungkan kedua tangannya ke udara. Beberapa saat kemudian ia mengumpulkan uang – uang di atas meja tersebut. Setelah sang kakek mengumpulkan uang – uang tersebut, ia berbalik menghadap sang pemuda.
"Benar – benar pidato yang buruk. Apa – apaan tadi? Aku tidak dapat menangkap intinya."
Perkataan yang sama diulangi oleh orang yang berbeda. Dari sudut matanya sang pemuda dapat melihat salah seorang penjaga membentangkan tangannya tanda setuju. Kali ini sang pemuda tidak dapat mengeluarkan amarahnya, karena ia sedang berhadapan dengan orang nomor satu di Kerajaan Kutai.
"Aku ingin kita bertukar posisi. Sekarang kau gantikan aku di permainan ini. Aku ingin menuju panggung pasar itu. Sudah lama rasanya aku tidak berceramah. Hahaha, mengapa aku jadi bergairah sendiri."
Beberapa langkah menuju podium sang kakek berbalik menuju sang pemuda. Ia memberikan ancaman, membuat sang pemuda sedikit bergidik ngeri.
"Jangan tinggalkan kursi ini karena aku akan kembali setelah berceramah. Aku tidak ingin kehilangan tempat di permainan ini. Jangan pernah beranjak dari kursi ini selama aku masih berada di atas panggung."
Ketika sang kakek menginjakkan kakinya di atas panggung, tidak ada yang memperhatikan. Semua khalayak melakukan pekerjaan seperti biasa. Sang pemuda dapat melihat orang lebih banyak berkumpul di kedai ikan milik Jarawidha, yang terletak tepat di samping panggung, yang memang dikenal memiliki kualitas daging ikan terbaik di pasar itu dan masyarakat harus rela antri untuk mendapatkan ikan yang diinginkan. Melihat itu sang pemuda tidak lagi memperhatikan kakeknya dan mulai menyibukkan diri dengan kartu di hadapannya, terlebih salah seorang pemain di sisi meja tersebut sudah terlihat tidak sabar untuk memulai permainan.
Sang kakek mulai berbicara, "Selamat pagi, wahai rakyat, senang kembali bisa berbicara di atas panggung ini."
Tidak ada yang memperhatikan. Ia pun melanjutkan, kini sambil setengah berteriak, "Kerajaan Kutai adalah kerajaan yang terburuk di nusantara ini! Kerajaan Kutai tidak akan bisa menguasai alam nusantara! Bahkan tidak hanya nusantara, alam Kalimantan pun tidak akan pernah tunduk dengan kerajaan ini!"
Kini orang – orang mulai memperhatikan. Ia melanjutkan.
"Omong kosong jika kalian puas dengan kerajaan ini. Kerajaan ini adalah kerajaan baru! Tidak mungkin kalian menyukai setiap orang di kerajaan ini. Aku yakin jika kalian melihat ke depan, belakang, kiri, kanan, kalian akan bertemu dengan musuh – musuh lama saat kalian masih menjunjung tinggi adat kesukuan kalian masing – masing. Satu gesekan saja dan kerajaan ini akan lenyap!"
Salah seorang kemudian menyahut, "Itu raja!" dan semakin banyak orang berkumpul di kerumunan depan podium.
"Paser, Banjar, Ahe, Basap, dan Kutai sendiri, aku yakin kalian memiliki keyakinan bahwa suku kalian adalah yang terhebat di tanah Kalimantan ini. Dalam perjalananku aku telah menemukan berbagai macam orang – orang dan tidak ada yang menyukai suku tetangganya. Orang Kutai dan Banjar berasal dari pesisir, dan orang Paser serta Basap lebih senang berburu dan bercocok tanam. Tidak ada kesamaan yang seharusnya dapat mempersatukan kalian!"
Semakin banyak orang yang berkumpul sehingga suara semakin bising. Kali ini sang kakek berbicara dengan lebih pelan, memaksa khalayak untuk mengecilkan suara mereka.
"Dan tetap kalian memilih untuk tinggal di tempat ini. Tetap kalian memilih untuk bersatu. Aku mengingat – ingat janji apa yang aku tawarkan sehingga kalian memilih untuk meninggalkan kepentingan pribadi kalian dan menyatukan kekuatan di bawah panji bernama Kerajaan Kutai."
Semakin banyak rakyat yang berkumpul di depan podium memancing keingintahuan sang pemuda untuk melihat apa yang terjadi. Salah seorang penjaga menggeleng – gelengkan kepala agar sang pemuda tidak meninggalkan tempat duduknya. Namun nampaknya ancaman kakeknya tidak lagi memiliki pengaruh terhadap sang pemuda. Ia berlari dan menyelinap di dalam kerumunan hingga dapat melihat sang kakek.
"Aku tidak menjanjikan kerajaan ini akan menjadi besar. Saat bertemu pemimpin kalian, ludah dan kata makian sudah menjadi makananku sehari – hari. Berulang kali aku membujuk para pemimpin untuk menyatukan kekuatan. Berulang kali pula aku gagal. Aku tidak menjanjikan akan mengalahkan negara maritim terkuat di nusantara. Tidak, kita tidak memiliki potensi seperti itu mengingat pengalaman dan pengetahuan berlayar kita yang masih sangat kurang."
"Aku tidak menjanjikan muluk – muluk. Aku hanya menjanjikan satu hal: tidak ada orang yang tidak diperhatikan di Kerajaan Kutai. Tidak ada lagi perhambaan, perbudakan, orang tanpa pekerjaan. Di tanah asalku Kamboja memang ada perbedaan status sosial, tapi aku tidak menyukai hal itu. Aku berpendapat setiap orang berhak untuk mencapai kedudukannya masing – masing. Aku menjunjung tinggi usaha, harga diri, dan semangat juang!"
Salah seorang khalayak menimpali, "Hidup raja!"
"Kerajaan Kutai adalah kerajaan baru. Namun aku ingin ini tidak menjadi alasan bagi kita untuk menjadi lemah. Kerajaan ini tumbuh dengan cepat. Semakin hari masyarakat pedalaman meminta bergabung dan kekuatan pesisir kita bertambah kuat sehingga dapat mendorong orang kepulauan untuk bersatu. Mereka melihat kekuatan kerajaan ini, memiliki mimpi yang sama, dan yakin kita akan menaklukkan nusantara."
"Di sini kita berdiri, melupakan kepentingan pribadi dan suku kita masing – masing, bersatu di bawah bendera Kutai, mencoba mencapai mimpi yang tinggi: mempersatukan Kalimantan, tidak hanya itu, mengalahkan Sriwijaya, mempersatukan nusantara!"
Sorak – sorai yang membahana diikuti dengan kepalan tangan masyarakat yang teracung menandai akhir khotbah seorang raja di tanah timur Kalimantan. Seorang pemuda kemudian menyingkir dari kerumunan dengan muka masam serta kepala menunduk, berjalan menuju pintu gerbang Pasar Mahakam.
Masih terlalu cepat, Mulawarman. Masih terlalu cepat.