webnovel

November Rain- Three

Three

"Jadi, gimana sama sekolah baru lo?'

"Ya biasa-biasa aja sih," jawab Wenda cuek melempar batu ke arah danau.

"Gue pikir lo nemuin sesuatu yang menarik, lo nggak habis ngehajar orang kan?"

"Tau dari mana lo?" Tanya Wenda memiringkan wajahnya sambil menyipitkan mata menatap curiga Jillian yang duduk dengan satu tangan bertumpu pada rerumputan dan satu tangan lainnya sibuk memegang rokok yang tinggal separuh.

"Haha, lo lupa matiin telfon berengsek." Jillian tertawa geli. Wenda hanya terkikik sambil menundukkan wajahnya sedikit malu.

"Gue baru sadar," Wenda melemparkan batu terakhir yang ia pungut ke danau lalu kembali menatap Jillian yang menikmati rokoknya, untung mereka nggak sedang memakai seragam sekolah karna Wenda nggak akan membiarkan jillian merokok.

Jillian, cewek tomboy berambut sepunggung yang selalu di cepol asal itu Wenda merasa sedang melihat cerminan dirinya sendiri jika menatap Jillian. Mereka sama-sama tomboy, berandal, benci penindasan tapi Wenda bukan perokok dan Jillian adalah tipe yang terlihat paling ceria di antara mereka, orang-orang pasti nggak akan mengira seseorang yang ceria seperti Jillian memiliki masa lalu yang kelam.

Jillian melempar puntung rokoknya hingga asap mati di bawah sepatu snakers putihnya, "Gue ada urusan," dia bangkit dari duduk dan memakai kembali jaket denimnya, Jillian juga segera mengambil lagi puntung rokok yang telah mati itu sebelum Wenda memakinya karna membuang sampah sembarangan.

"Kemana?"

"Lo mau ikut?"

"Nggak deh, gue mau pulang bentar lagi."

"Gue duluan," Jillian melenggang begitu saja meninggalkan Wenda sendiri yang masih duduk bersila menatap kosong ke arah danau berwarna hijau lumut, pemandangan yang menyegarkan mata setelah seharian mengalami hal nggak menyenangkan.

Wenda menarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan kasar, mungkin saat pulang nanti ia akan meminta maaf pada abangnya, Johan. Wenda mengecek ponselnya yang masih menunjukkan pukul 16;34 langit sudah terlihat keoranyean dan mungkin ia akan mampir sebentar ke supermarket nanti. Wenda mengedarkan pandangannya kesekeliling taman yang sepi hanya ada beberapa orang yang duduk di bangku pinggir danau seperti biasanya. Namun ada yang menarik perhatian Wenda kali ini, yaitu cowok yang duduk di rerumputan bawah pohon rimbun dengan wajah yang sangat putih, kalo nggak mau di bilang pucat, mengingatkan Wenda pada seorang cowok tunawicara di kelasnya. Wenda sering ke taman ini tapi baru sekali melihat cowok itu di sini atau memang dari dulu ia yang nggak terlalu memperhatikan?

***

"Gue minta tolong lo awasan dia,"

"Bang Jo?" Panggil Wenda saat menutup pintu apartemennya, tempat yang ia huni bersama abangnya hampir 2 tahun belakangan. Karna orang tuanya jauh di desa maka mereka memutuskan untuk membeli satu unit apartemen yang nggak terlalu mewah tapi tetap ayaman di tinggali semua agar mereka bisa bersekolah di kota, ayah dan ibunya terlalu sibuk mengurus perkebunan sawit di tempat terpencil itu.

"Ada apa adekku sayang?" Tanya Johan yang terburu-buru mematikan telfon dan memasukkannya kedalam kantong celana jeans pendek berwarna hitam, itu favoritnya. Wenda mengernyit karna sifat Johan telah kembali menyebalkan seperti biasanya, apakah dia udah nggak marah lagi?

"Habis telfon siapa lo?" Wenda melepas hoddienya dan meletakkannya di sandaran sofa abu-abu ruang tamu yang nggak terlalu luas. Johan melirik hoddie pertemanan yang menurutnya konyol itu masih Wenda kenakan hingga sekarang.

"Nggak sopan kamu yah panggil abang sendiri pake 'lo'." Johan menghampiri Wenda dan menghempaskan tubuhnya di samping Wenda yang sedang duduk di sofanya dengan nyaman sambil bersila nggak menggubris perkataan Johan sama sekali, ia sibuk dengan ponselnya lalu memutar bola matanya melirik Johan dengan malas.

"Iya, iya, aku juga mau minta maaf karna bikin Abang kecewa sama masalah kemarin." Wenda mencoba meminta maaf dengan tulus merasa bersalah. Ia meletakan ponselnya ke meja kosong di sampingnya.

"Udah nggak usah di bahas lagi, Abang tau kamu lakuin itu pasti karna Jillian kan?" Wenda hanya mengangguk pelan menanggapi perkataan Johan. Abangnya tau bahwa ia dan Jillian adalah sahabat karib, sedikit lama mereka terdiam hingga Wenda membuka pembicaraan lagi.

"Tadi Abang habis nelfon siapa bisik-bisik? Jangan bilang kalo Abang minta uang jajan tambahan sama Ayah dan nggak mau ketahuan aku?" Tuduh Wenda menatap Johan yang sedang fokus pada TVnya sambil memegang remot dan mencari saluran yang menurutnya menarik.

"Iya hehe," Johan hanya cengegesan memasang tampang konyol di wajah tampannya, membuat Wenda memberikan tatapan sinis dan memecahkan susana canggung beberapa menit yang lalu. Dia hanya nggak tahu kalau abangnya sedang berbohong, semua sifat aslinya itu tertutupi olah sikap konyol nya yang membuat Wenda menganggap bahwa abangnya hanya serangga pengganggu di setiap harinya dan selalu mengutuknya.

"Ngomong-ngomong Abang udah tau siapa yang nyebarin foto kamu,"

"Dari siapa? Pasti Gibran yang bilang?" Johan hanya diam lalu mematikan TVnya. "Abang nggak bakal mukulin Adam kan?" Johan menggelengkan kepalanya lalu bangkit dari sofa.

"Bukannya yang terpenting sekarang jangan sampe Jillian tau?" Jawab Johan singkat melangkah ke kamar meninggalkan Wenda yang hanya terdiam memikirkan perkataan Johan.

Wenda menyandarkan kepalanya ke sofa menatap kosong langit-langit apartemennya, lagi-lagi ia menarik nafas panjang lelah menghadapi masalah yang nggak kunjung selesai selama ia masih hidup. Wenda bangkit dari duduknya dengan malas lalu berjalan ke belakang melewati dapur dan membuka pintu balkon apartemennya, udara malam menampar wajahnya membuat beberapa helai rambutnya berterbangan. Ia berdiri di dekat pagar balkon dan menyandarkan tangannya, berusaha menekuk jari-jarinya yang pegal karna memukuli orang hingga berbunyi 'krek'.

Langit malam ini terlihat cerah namun hanya sedikit bintang yang menyembul dengan malu-malu, Wenda masih sangat ingat saat itu, kekacauan terbesar yang Jillian buat ketika mereka masih mengenakan seragam biru putih. Cewek berandal yang saat itu masih terkesan pendiam mematahkan tangan salah satu murid cowok populer di sekolahnya. Tapi bukan tanpa alasan, saat itu mereka baru saja keluar dari toilet wanita sambil tertawa karna candaan receh Wenda dan tiba-tiba Rafa cowok berengsek itu menyikut payudara Wenda tanpa rasa bersalah ia bersama anak cowok lainnya tertawa terbahak. Jillian yang memang sensitif karna pernah mengalami pelecehan menubruk Rafa hingga cowok itu jatuh tersungkur di bawah Jillian tanpa ampun dia menghajarnya membuat murid yang melihatnya berteriak histeris untuk memanggil guru. Sayangnya belum sampai guru datang Jillian telah mematahkan pergelangan tangan cowok berengsek itu, Wenda kewalahan untuk mencegahnya saat itu Adam juga masih seorang penakut yang akan beringsut jika melihat perkelahian dan Gibran sedang nggak masuk sekolah karna sakit.

Wenda menatap langit yang mulai terlihat mendung, ia pikir itu semua pasti nggak akan terjadi jika Wenda nggak ikut campur urusan Rafa anak yang sebenarnya cengeng, dia terlihat kuat hanya karna merasa hebat menindas yang lemah dan melakukan tindakan bullying. Jillian hanya beruntung nggak di keluarkan dari sekolah karna ayahnya memiliki koneksi dan dia hanya mendapatkan skors selama seminggu. Sejak saat itu Jillian mulai menunjukkan wajah cerainya, tapi orang yang tau sifat aslinya yang nekat nggak akan berani mengusiknya. Wenda merasa saat itu sikap Jillian berubah 180 derajat, dia jadi lebih sering tertawa, berbicara dan menyapa. Wenda hanya nggak mengerti dan menyesal saat tau kenyataannya saat ia nggak sengaja melihat luka memar di sekujur tubuh Jillian karna di pukuli ayahnya, saat itu Wenda benar-benar merasa bersalah. Tapi Jillian hanya berkata sambil tersenyum lebar bahwa dirinya senang karna bisa membantu Wenda dan bisa menghajar orang yang melakukan pelecehan, selama ini dia hanya bisa memendam rasa takutnya. Namun saat itu Jillian merasa sebagain beban yang dia tanggung terlepas. Sejak hari itu hubungan mereka menjadi semakkin akrab, Wenda tau semua tentang Jillian begitu juga sebaliknya.

Wenda memejamkan matanya, mengengam erat kalung berwarna silver dengan liontin separuh sayap burung di lehernya. Ia hanya berharap nggak akan terjadi perpecahan di antara persahabatan mereka jika Jillian tahu kebenaran bahwa salah satu di antara mereka berkhianat. Wenda berpikir untuk mengikuti perkataan Adam sebelumnya agar nggak ikut campur lagi dalam urusan orang dan melupakan jauh-jauh nama 'sayap pelindung' perkumpulan yang terdiri dari 4 orang, Wenda Wijaya, Jillian, Gibran Angelo dan Adam Bramasta. Perkumpulan yang membuat sekolah mereka terbebas dari kasus bullying.

ooOoo