webnovel

BAB ENAM

"Kami berdua sangat menyayangimu Selena. Tapi kita berdua memang tidak bisa bersama lagi. Banyak hal yang menjadi penyebab ibu dan ayah bercerai dan nanti kau akan tahu sendiri. Sekarang ibu tidak bisa menjelaskan banyak hal kepadamu . Ibu hanya ingin kau jangan bersedih .karena ibu berjanji akan selalu ada di sampingmu sayang," kata Bea menangis sambil memeluk sang anak.

"Bu, kau serius? Jangan tinggalkan aku Bu," Selena terus memeluk Bea.

"Maafkan ibu sayang," bea melepaskan pelukan dan kini ia hanya bisa memandang Selena dan Deevano di sana. Ia telah masuk ke dalam mobil dan kini melakukan mobilnya.

"Ibu...?" panggil Selena seraya berteriak.

"Sudah sudah jangan pedulikan ibumu," kata Deevano dengan cepat menarik lengan Selena.

"Aku tidak mau berpisah dengan ibu," Selena menangis sesegukan.

"Kau bisa hidup bersama ayah. Jangan pedulikan ibumu itu," kata Deevano lalu mengunci pintu rumah dengan cepat.

Selena hanya bisa masuk ke dalam kamarnya dengan berlinang Air mata.

Selena duduk sendiri di balkon kamarnya, sebuah cangkir teh hangat di tangan, mengamati pemandangan kota yang diselimuti rintik hujan. Keheningan malam hanya dipecahkan oleh suara hujan dan kadang-kadang gemericik angin. Dia merenung, melihat ke arah bangunan-bangunan tinggi yang tertutup kabut tipis. Cahaya-cahaya dari jendela-jendela apartemen seolah-olah mencerminkan kerumitan perasaannya yang campur aduk.

Hujan malam di kota Canada membawa suasana yang penuh dengan romantisme dan nostalgia. Tetes-tetes hujan gemericik lembut di jendela dan atap rumah-rumah, menciptakan latar belakang yang menenangkan namun juga melankolis. Lampu-lampu jalan berkilauan lembut di permukaan basah trotoar, menciptakan pantulan cahaya yang indah.

Wajah Selena mencerminkan kesedihan yang dalam. Meskipun hujan memberikan suasana yang tenang, hatinya sedang dilanda oleh perasaan yang rumit. Kedua orang tuanya yang akan berpisah mengisi pikirannya dengan rasa kehilangan dan kecemasan akan masa depan. Dia merasa seakan-akan di tengah-tengah badai emosi yang sama seperti hujan di luar.

Namun, di antara rasa sedih dan nostalgia, ada keindahan dalam momen itu. Kejernihan tetes-tetes hujan dan bau tanah basah mengingatkannya akan kenangan-kenangan manis bersama keluarganya. Suasana itu juga memberinya ruang untuk merenung, menghadapi perasaannya sendiri, dan merangkul kedewasaan yang sedang tumbuh di dalamnya.

Dengan perlahan, Selena merasakan kehangatan cangkir tehnya dan melihat ke langit yang masih berwarna gelap. Dia menyadari bahwa perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup, meskipun sulit untuk diterima. Hujan yang turun dari langit mengajarkan padanya bahwa air mata dan kesedihan juga adalah bagian alami dari proses ini.

Sambil terus memandangi kota yang diterangi cahaya lampu jalan, Selena membiarkan perasaannya mengalir. Hujan dan keheningan malam menjadi teman yang setia dalam momen refleksinya.

Esok harinya Selena bergegas untuk pergi ke sekolah. Ia sama sekali tidak menyapa sang ayah yang telah menyiapkan sarapan di atas meja. Selena hanya duduk lalu memakan dengan cepat sarapannya.

"Kau mau ayah yang mengantarmu ke sekolah?" Tanya Deevano bersikap ramah.

"Tidak usah ayah. Aku tidak terbiasa untuk kau antar ke sekolah," kata selena dengan datar. Entah kenapa ia tidak bisa bersikap ramah dengan sang ayah.

"Selena kau makan harus dengan hati hati," kata ayah yang melihat Selena cepat sekali makannya.

"Aku tahu ayah," kini selena telah selesai dengan sarapannya. Ia segera saja meminum susu vanila lalu bergegas membawa piring kotor ke dapur.

"Aku pergi ayah," kata Selena segera keluar rumah.

Sang ayah hanya bisa menatap anak gadisnya dengan sedih. Pagi yang cerah di kawasan tempat tinggal Deevano, namun suasana di hatinya begitu mendalam dan penuh dengan kesedihan. Dari pintu rumahnya, dia memandang pemandangan jalanan yang tenang, tetapi matanya tertuju pada Selena yang sedang berjalan menuju sekolah. Wajahnya penuh dengan ekspresi campuran antara kepedihan dan rasa penyesalan.

Deevano merasakan beban berat di dadanya, ketika dia menyadari bahwa dia telah terlalu fokus pada pekerjaannya dan telah melupakan pentingnya kehadiran dalam hidup Selena. Hatinya terbelah antara kerinduan untuk membuat putrinya bahagia dan penyesalan karena telah melewatkan momen-momen berharga dalam hidupnya.

Saat Selena melangkah menjauh dari rumah, Deevano merasakan kerinduan yang mendalam. Dia menyadari bahwa dia akan segera berpisah dengan istrinya, dan perasaan itu semakin memperkuat kesadaran atas waktu yang telah terlewatkan. Keinginannya untuk menjadi sosok ayah yang hadir dan penuh perhatian begitu kuat, tetapi realitasnya tidak sejalan dengan harapannya.

Deevano menyesali bahwa dia tidak pernah benar-benar menjadi pemimpin dalam rumah tangga, bahwa dia telah terlalu terjebak dalam rutinitas sehari-hari dan tanggung jawab pekerjaannya. Dia tahu bahwa perpisahan dengan istrinya juga berarti menghadapi perubahan besar dalam keluarganya, dan rasa takut akan masa depan semakin menyergapnya.

Tetapi dalam kesedihannya, Deevano juga merasakan dorongan untuk berubah. Dia ingin mengambil langkah-langkah untuk lebih hadir dalam kehidupan Selena, meskipun dia tahu bahwa perbaikan ini akan membutuhkan waktu dan usaha. Melihat Selena semakin menjauh, Deevano bersumpah dalam hati bahwa dia akan berusaha lebih keras untuk memperbaiki hubungan mereka, meskipun mungkin ada tantangan besar yang harus dia hadapi.

Dengan napas dalam-dalam, Deevano menutup pintu rumahnya dan memutuskan untuk mengambil langkah pertama menuju perubahan. Meskipun ada rasa penyesalan dan kesedihan yang mendalam, dia juga menyimpan harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana ia bisa menjadi ayah yang hadir dan mendukung Selena dengan sepenuh hati.

"Selena adalah anak aku satu satunya. Aku tahu dia pasti sangat sedih melihat aku dan bea berpisah. Aku memang bukan suami yang baik. Tapi sekarang aku akan berusaha menjadi ayah yang baik untuk Selena. Dia sangat aku sayangi sekarang. Maafkan ayah selama ini Selena," kata Deevano menitikkan air mata di depan meja makan.

***

Pagi hari di sekolah menengah ke atas di Kanada membawa suasana yang sejuk dan tenang. Cahaya matahari pagi perlahan-lahan menembus awan, menerangi lorong-lorong yang masih sepi. Gedung sekolah terlihat megah dengan arsitektur yang modern, dan hiruk-pikuk aktivitas sekolah belum sepenuhnya dimulai. Suara langkah kaki dan bisikan-bisikan pelan terdengar di sekitar, menciptakan suasana yang damai dan penuh antisipasi.

Namun, di tengah keindahan pagi itu, Selena duduk sendirian di bangku dekat jendela, pandangannya kosong ke luar. Wajahnya mencerminkan perasaan sedih yang mendalam. Dia merasa hampa di tengah kerumunan dan aktifitas sekolah yang seolah-olah berlangsung di dunia paralel. Kehidupannya telah berubah drastis sejak orang tuanya memutuskan untuk bercerai.

Selena merasa kesepian karena kini dia hanya tinggal bersama ayahnya. Pikirannya melayang-layang kepada ibunya, yang kini tidak lagi berada di sisinya. Rasa cemas dan pertanyaan yang tak terjawab menghantuinya. Dia tidak tahu di mana ibunya berada atau bagaimana mereka akan melanjutkan hidup tanpanya.

Meskipun suasana sekolah tampak normal, Selena merasakan beban yang berat di dadanya. Dia mencoba untuk tetap tegar di tengah situasi sulit ini, tetapi perasaan kehilangan dan kerinduan terhadap ibunya membuatnya merasa rapuh. Dia merenung tentang kenangan indah yang mereka bagikan dan merasa hancur karena kenyataan bahwa masa-masa itu telah berlalu.

Tiba tiba saja Justin melihat selena. Melihat Selena yang berwajah sedih itu. Membuat Justin segera mendekat ke Selena.

"Hari ini kau berangkat pagi sekali. Kau sangat rajin ya," sapa Justin mencoba membuat Selena tersenyum.

Selena hanya diam saja. Melihat justinpun tidak.

"Maafkan aku ya Selena jika aku sering membuatmu kesal. Aku tahu, aku tidak seharusnya melarangmu masuk ke tim cheerleder. Ya jika itu maumu aku tidak akan melarangnya. Tapi aku hanya ingin berpesan jika sebaiknya kau hati hati dengan tim cheerleder," ucap Justin yang kini duduk di samping Selena.

"Bukan soal itu. Aku bahkan sudah memafkanmu. Karena kau tidak tahu bagaimana tim cheerleder sebenarnya," kata Selena dengan tegas.

"Aku tahu kok, aku tahu tim cheerleder itu seperti apa. Jeslyn membuat seleksi rahasia sendiri kan? Seleksi itu sangat tidak masuk akal kan. Aku tahu Selena. Aku tahu karena aku pernah menjadi kekasih jeslyn. Aku tahu semuanya," kata Justin dengan yakin.

"Maka dari itu aku bergabung ke dalam tim cheerleder agar aku bisa menjadi ketua tim di dalamnya. Aku akan menghapus seleksi yang tidak masuk akal bagi calon tim cheerleder, kau mengerti?"

"Wah kau sangat baik sekali. Aku akan mendukungmu," kata Justin tersenyum lebar.

Tapi Selena hanya mengangguk saja. Bahkan Selena terus memandang ke arah lapangan. Pikirannya masih tertuju pada orang tuanya. Apalagi hatinya begitu sedih sekali.

"Jadi kenapa kau terlihat sedih sekali Selena?" Tanya Justin pria dengan hoodie berwarna kuning itu.

"Hidupku berantakan sekarang. Orang tuaku sebentar lagi akan bercerai," kata Selena menelan kesedihan yang mendalam.

"Benarkah? Ya ampun aku sedih sekali mendengarnya," kata Justin menghela nafas berat.

"Lalu, bagaimana denganmu Justin? Aku yakin pasti kau sangat bahagia dengan keluargamu. Karena kau selalu terlihat bahagia saat di sekolah. Ya maksudku, kau sering berceloteh tidak jelas di sekolah. Leluconmu di kelas yang sering kau lakukan. Kau bahkan bisa berteman dengan siapa saja. Itu pasti menunjukkan bahwa kau pasti dari keluarga yang sangat bahagia," kata Selena yang kini melihat Justin.

Justin mendelik tak percaya dengan pandangan Selena.

"Oh benarkah? Kau mengira keluargaku bahagia? Ahahaha kau benar sekali. Tentu saja. Aku mempunyai keluarga yang sangat bahagia. Itu membuat hidupku sangat bahagia melakukan apapun," kata Justin tertawa lebar.

Selena menepuk lengan Justin dengan keras.

"Ah! Enaknya menjadi dirimu! Aku ingin sekali menjadi seorang Justin!" Kata Selena berteriak kesal.

Mereka tertawa di kelas dengan ceritanya masing masing. Hubungan mereka kini menjadi lebih baik. Bahkan sepulang sekolah Justin mengajak Selena untuk pergi jalan jalan.

"Tenang saja aku yang akan menelpon langsung ayahmu. Bahwa ada pekerjaan sekolah yang harus di kerjakan di rumahku," kata Justin dengan yakin.

"Oke ,baiklah, aku akan segera menelpon ayah,". Selena dengan cepat menelpon Deevano.

"Halo ayah, aku akan kerja kelompok di rumah Justin. Ini Justin, dia ingin berbicara denganmu jika kau tidak percaya," kata selena memberikan ponselnya ke Justin.

"Halo, iya ini aku teman Selena. Dia akan mengerjakan pekerjaan sekolah di rumahku. Apa kau mengizinkannya?" Tanya Justin.

"Jaga anakku baik baik ya, kau boleh belajar dengan Selena," kata Deevano dengan tegas.

"Terimakasih banyak ayah," ucap Selena di dekat ponsel yang ada di telinga Justin.

Kini sambungan panggilan terputus.

"Hahaha kau sangat hebat Justin. Apakah kita berdua benar benar akan belajar di rumah mu?" Tanya Selena tertawa kecil.

"Oh, tentu tidak. Kita akan pergi ke mall!" Seru Justin berteriak lalu berlari di jalanan kota. Selena berusaha mengejarnya dengan cepat.

Selena dan Justin berlari di tengah kota, langkah-langkah mereka penuh semangat dan riang. Sinar matahari senja memancarkan cahaya hangat, menciptakan bayangan panjang di jalan-jalan perkotaan yang sibuk. Bangunan tinggi dan gedung-gedung modern mengelilingi mereka, menciptakan latar belakang yang mencolok namun indah.

Mereka tertawa dan berbicara dengan antusiasme, saling melemparkan pandangan penuh kebahagiaan. Seolah-olah, kota itu adalah milik mereka, dan waktu sepulang sekolah adalah momen yang ditunggu-tunggu untuk mengeksplorasi segala sudut dan menikmati keindahan yang tersembunyi di dalamnya.

Setiap langkah yang mereka ambil adalah pelarian dari rutinitas dan tugas sekolah. Angin sepoi-sepoi kota menyapu rambut mereka, memberikan rasa kebebasan yang hampir tak terbatas. Mereka berlari melewati taman-taman kecil, berhenti sejenak untuk mengagumi bunga-bunga yang bermekaran.

Tak ada beban di pundak mereka saat ini, hanya ada rasa keterlibatan dan kebahagiaan dalam setiap detik yang mereka habiskan bersama. Selena dan Justin saling memberikan dukungan satu sama lain, mengingatkan bahwa saat-saat seperti ini adalah yang harus diabadikan dalam ingatan.

Namun, di balik senyuman mereka dan suasana riang, mereka juga menyadari kompleksitas hidup yang menanti di masa depan. Mereka tahu bahwa mereka memiliki impian besar dan tanggung jawab yang akan datang. Namun, dalam momen berlari ini, mereka dapat mengesampingkan semua itu dan hanya fokus pada kebersamaan mereka.

Sepulang sekolah, mereka duduk di tepi sungai yang mengalir melalui kota. Air mengalir tenang, mencerminkan ketenangan dan harapan yang ada dalam diri mereka. Mereka bercakap-cakap tentang masa depan, tentang impian dan cita-cita yang mereka miliki. Dan meskipun mereka menyadari bahwa takdir mungkin akan memisahkan mereka di suatu hari nanti, mereka berjanji untuk menjaga hubungan ini, menjaga kenangan masa muda yang begitu berharga.

Kota yang indah, langit senja yang memukau, dan tawa riang mereka menjadi simbol dari kebersamaan, kebebasan, dan impian besar yang mereka anut. Dalam suasana ini, Selena dan Justin berlari, menikmati hidup dengan sepenuh hati, dan mengukir kenangan abadi di jalan-jalan kota yang tak pernah berhenti berdetak.

"Hampir malam apa kita akan jadi ke mall?" tanya Selena dengan antuasi.

"Tentu saja! Kita akan pergi ke tempat bermain!" Kata Justin kini berlari menuju ke halte bus.

Selena mengikutinya dengan cepat. Sampai di sebuah mall yang besar. Mereka segera masuk menuju ke tempat permainan. Melewati masa masa itu seperti seorang anak kecil.

"Oh, ya tuhan hari ini sangat seru sekali. Lihatlah jam berapa sekarang?" tanya Selena kepada Justin.

Justin yang sedang menyeruput minuman soda itu kini berhenti dan melihat ponselnya.

"Oh ya tuhan, ternyata sudah pukul sebelas malam," kata Justin mendelik.

"Kita harus pulang sekarang juga!" Kata Selena dengan cepat berlari . Justin mengikutinya dengan cepat. Justin takut sekali jika Selena akan mendapatkan amarah dari ayahnya. Tapi Justin berjanji tidak akan pulang begitu saja. Ia akan mengantar Selena sampai di depan pintu.