webnovel

10. Penerbangan Ditunda

Penerbangan Satria ditunda hingga sore karena cuaca buruk. Saat ini dia tengah menyetak beberapa dokumen yang ia revisi dari Lucky. Bhista sengaja tak masuk bekerja untuk membantunya menyiapkan keperluannya.

"Ah, maafkan aku, Sayang. Kau sampai tak masuk bekerja," kata Satria.

"Bukan masalah, aku sudah menelpon Kak Adit dan dia bisa mengerti," jelas Bhista.

"Terima kasih, Sayang," ujar Satria

"Apa kau butuh dasi cadangan? Hanya ada dua dasi di kopermu," tanya Bhista lembut.

"Aku butuh kau ikut denganku, Sayang, bisakah kau masuk koper itu dan turut dalam perjalananku?" canda Satria.

"Curang sekali, kenapa tak membelikan aku tiket tapi memintaku masuk koper untuk kau bawa?" balasnya.

"Sungguh kau akan ikut jika aku membelikanmu tiket?" tanya Satria serius.

"Perjalananmu hanya dua hari, kurasa terlalu merepotkan jika aku ikut. Aku akan menunggumu sampai kembali," jelas Bhista.

"Sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu, Baiklah," jawab Satria.

Dia segera berjalan ke arah istrinya dan memberi pelukan yang sangat erat.

"Aku mencintaimu, aku akan merindukanmu dalam dua hari ke depan, Sayang. Ingat jangan pernah abaikan panggilan teleponku," kata Satria setengah memaksa.

"Astaga, kau benar-benar," protes Bhista.

Semua barang yang suaminya butuhkan sudah Bhista siapkan. Saat ini mereka akan segera turun untuk sarapan. Hati Bhista sedikit merasa takut karena kejadian semalam. Dia yakin ibu mertuanya sangat kecewa. Namun ini semua bukan hanya karena Bhista tak ingin pernikahannya ternoda, tapi sekarang juga karena dia sangat mencintai suaminya.

Langkah keduanya sampai di ujung tangga. Tampak kedua mertuaBhista sudah duduk di sana. Wajah ibu mertuanya sangat sendu, jelas sekali dia banyak menangis semalam. Matanya sembab dan pancaran kesedihan begitu jelas.

"Jangan khawatirkan apapun, kita akan hadapi bersama," bisik Satria.

Bhista hanya mengangguk mengiyakan perkataan suaminya. Dia tak takut apapun lagi saat ini.

"Selamat pagi Ayah, Ibu," sapa Bhista.

"Selamat pagi, Nak, duduklah kita sarapan," sahut ayah mertuanya.

Mereka segera duduk di kursi kami masing-masing.

"Apa Lucky belum bangun?" tanya Satria setelah melinguk tak ada Lucky di sana.

"Dia tidur sangat larut semalam menyelesaikan berkasmu jangan ganggu dia dulu, bangunkan dia nanti saja," jelas Tuan Winata.

Satria mengangguk mengerti dan mereka memulai aktivitas sarapan dengan suasana yang sedikit berbeda. Nyonya Winata jelas sekali kecewa. Dia tak mengangkat wajahnya sedari tadi.

"Apa yang membuatmu bersikap seperti ini, Sayang? Kau tak bicara apapun sedari bangun tidur," tanya Tuan Winata.

Bhista melempar pandangan pada suaminya itu. Bagaimana juga dia merasa semua karena peristiwa semalam.

"Arsy kembali dalam keadaan sakit, hidupnya diujung kematian namun putraku menolak memenuhi permintaanku untuk menikahinya demi janjiku pada mendiang sahabatku itu," jelas Nyonya Winata.

"Apa maksudmu? Satria sudah memiliki istri dan kau memintanya menikah lagi. Apa sudah tak waras kau ini?" bentak Tuan Winata.

"Jangan berbuat semaumu, Ibu. Ini tentang pernikahan dan kesucian janji kepada Tuhan. Tak bisa dipermainkan sesuka hati Ibu," jawab Satria.

"Tapi janji Ibu pada mendiang Ibu Arsy saat itu juga janji di depan Tuhan," balas Nyonya Winata.

Perkataan Nyonya Winata membuat Bhista merasa terpojok. Terlebih ibu mertuanya itu terlihat menyembunyikan kekecewaan yang sangat besar.

"Tapi, Ibu," sela Bhista.

"Sudah, Nak. Jangan dibahas. Ini bukan masalahmu," jawab ayah mertuanya.

"Jangan katakan ini bukan urusannya. Kuncinya hanya dia. Jika dia meminta suaminya menerima Arsy, semua akan selesai," bentak Nyonya Winata.

"Hentikan, Ibu. Ini masih pagi untuk ribut tentang hal itu, apa pantas bersikap seperti itu di depan makanan," jelas Satria yang tak ingin tersulut emosi.

Nyonya Winata terlihat sangat kecewa, wajahnya merah redam di serang suami dan putranya sendiri. Sebagai seorang perempuan Bhista merasakan betapa hancurnya hati ibu mertuanya itu. Jika saja permintaannya itu bisa ia kabulkan. Pasti hubungan keduanya akan baik-baik saja.

"Ibu, maafkan aku. Jika tentang ...," ucap Bhista.

Satria menyentuh tangan istrinya.

"Jangan katakan apapun atau kau akan menyesal," ucap Satria.

Semua pandangan mengarah pada putra tunggal keluarga Winata itu.

"Saat aku mulai bisa menerima, mengapa semua ini harus terjadi?" batin Bhista.

Pandangan penuh kekecewaan Nyonya Winata layangkan pada menantunya itu.