webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · Lịch sử
Không đủ số lượng người đọc
240 Chs

24. Hari Keputusan Besar 2

"Melihat dari banyaknya korban yang mereka bunuh, apalagi korban ini adalah murid dari perguruan yang menjadi tonggak dilahirkannya bibit-bibit abdi negara. Maka berurusan dengan Perguruan Wana Wira sama saja berurusan dengan Kerajaan. Ini adalah satu kelancangan. Hukumannya harus berat supaya di luar sana tidak ada lagi yang berani bermacam-macam dengan kerajaan. Saya menyarankan hukuman gantung atau penggal," tutur Hanung Cumangkir.

Semua yang berada di ruangan kembali berisik saling tatap dan saking bicara kepada rekan-rekannya masing-masing.

"Tolong, semuanya untuk tenang!" Hakim Agung kembali memukul gong di belakang kursinya.

"Sekarang, silakan Empu Handaya!" lanjut Hakim mempersilakan.

"Mohon maaf Yang Mulia Hakim Agung. Pendapat Hanung Cumangkir ada benarnya. Mengadili pelaku kejahatan memang harus mampu memberikan efek jera bagi yang lainnya. Apalagi dengan kasus kejahatan berat semacam ini. Tetapi masalahnya adalah mereka pesuruh. Ada nama besar yang terlibat di belakangnya. Nama Saga Winata tidak bisa dianggap remeh. Karena, mendengar dari pengakuan pelaku, Saga Winata memberikan imbalan yang begitu besar, ini menandakan bahwa dia bukan orang biasa. Dia kaya raya. Orang kaya selalu menyimpan kepentingan besar. Dia punya pengaruh besar. Atas dasar apa orang kaya macam Saga Winata menyerang Perguruan Wana Wira yang berada di tengah hutan? Sedangkan perguruan ini saya rasa tidak pernah membuat masalah dengan siapapun. Bukankah begitu Mahaguru Sutaredja?" ujar Empu Handaya yang kemudian bertanya kepada Mahaguru untuk meyakinkan dirinya.

"Benar, Gusti Empu. Hamba tidak pernah mempunyai musuh. Hamba selalu menjalin hubungan baik dengan perguruan lain. Hamba juga tidak pernah punya hubungan dengan para pedagang kaya." Sang Guru menjelaskan.

"Nah itu...! pedagang. Di negeri ini kemungkinan orang untuk menjadi kaya ada dua. Kalau dia bukan pedagang ya pejabat. Bagian menariknya adalah pelaku mengakui kalau mereka ditawari jabatan di istana. Artinya ada kemungkinan kalau Saga Winata ini adalah seorang pejabat. Atau ada pejabat di belakang Saga Winata yang mendanai aksinya ini. Tetapi untuk kepentingan apa?" lanjut Empu Handaya.

"Mohon maaf, Empu," potong Hanung. "Itu semua memang harus kita cari tahu. Tetapi bukan berarti kita mengabaikan hukuman yang akan diberikan kepada keempat pelaku ini. Bagaimanapun mereka yang melakukannya langsung dengan kekejian yang mereka sudah perhitungkan sendiri. Kalaupun mereka orang suruhan. Bisa saja perintahnya sederhana, tetapi cara membunuhnya adalah rencana murni mereka berempat." Hanung berdiri sambil menunjuk-nunjuk pelaku.

Kemudian Asmaraga yang menyaksikan itu meminta izin kepada Ayahnya Tumenggung Aria Laksam untuk turut menyampaikan pendapat. Ayahnya mengangguk tanda menyetujui.

Asmaraga mengangkat tangannya.

"Silakan Raden Asmaraga. Kita memang haus akan pendapat dari sudut pandang kalangan muda di sini," ujar Hakim Agung.

"Terima kasih Yang Mulia Hakim. Mohon maaf Gusti Hanung Cumangkir. Menurut saya Gusti Empu Handaya tidak mengatakan akan mengabaikan hukuman untuk keempat pelaku ini. Beliau hanya menyarankan supaya kita lebih fokus ke tujuan dan alasan kenapa mereka melakukan ini. Saya lebih setuju dengan hal itu. Supaya kita bisa menemukan garis besarnya. Tentu saja keempat pelaku ini akan tetap kita adili, tetapi kita tunda dahulu sampai kita bisa menangkap pelaku utamanya. Mereka baru akan dihukum setelah kita bisa menangkap Saga Winata. Setidaknya kita tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan. Apapun bisa terjadi!" ujar Asmaraga.

Sang Guru mengacungkan tangannya.

"Silakan, Guru Sutaredja!" ucap Hakim mempersilakan.

"Ampun Yang Mulia. Hamba keberatan jika harus menunda hukuman untuk keempat pelaku ini. Hamba bukan bermaksud meragukan keamanan penjaga istana, tetapi hamba tetap saja khawatir kalau ada pihak-pihak yang menghalangi hukuman ini berjalan jika pelaku dibiarkan terlalu lama menunggu sampai Saga Winata tertangkap. Apalagi pelaku sempat menyebut kalau ada keterlibatan pejabat istana. Hal itu turut menambah keraguan hamba jika harus menunda hukuman mereka. Lagipula, tertangkap atau tidaknya Saga Winata, Pelaku ini tetap harus dihukum karena hamba sendiri yang menyaksikan pembantaian itu ditambah lagi pelaku sudah mengakuinya. Itu cukup untuk menyimpulkan kalau mereka berempat bersalah. Sekaligus mengisyaratkan bahwa sekarang ataupun nanti, pelaku akan tetap dihukum. Maka demi menghindari pihak yang mengagalkan hukuman yang justru nanti akan tambah mencemarkan nama baik kerajaan. Lebih baik secepatnya pelaku dihukum." ujar Sutaredja.

"Lagipula seberapa yakin kita bisa menangkap Saga Winata dengan cepat?" potong Hanung Cumangkir. "Dia adalah seorang kepala begal. Kemungkinan dia memiliki kesaktian yang tinggi pasti ada. Menemukan keberadaannya saja akan cukup sulit dan memakan waktu lama, apalagi jika harus menangkapnya dengan cepat. Dan perlu diingat, dia dilindungi oleh seorang pejabat. Yang kemungkinan pejabat itu adalah salah satu yang berada di ruangan ini. Seperti kata Raden Asmaraga, semua bisa terjadi!" lanjut Hanung Cumangkir sambil melirik ke arah Asmaraga. Asmaraga pun menunduk tak membalas arah lirikannya itu.

Semuanya yang hadir terdiam dan saling tatap.

Kemudian seseorang dengan tubuh besar dan gagah bangkit dari duduknya. Semula dia hanya diam memperhatikan perdebatan. Namun kali ini dia memulai untuk bicara. Pendapatnya adalah yang paling ditunggu oleh semua orang. Semua hadirin terdiam bersiap mendengarkan kalimat yang keluar dari mulutnya. Dia adalah Mahapatih Adimukti Nataprawira. Sang kepala pemerintahan. Penguasa negara tertinggi kedua setelah raja.

"Berhentilah bersikap seolah kalian tahu segalanya. Untuk mencari tahu intisari permasalahan, kita harus mulai dari sikap tidak tahu apa-apa."

Gelegar suara Mahapatih menggetarkan semua yang mendengarnya.

"Bagaimana kalau pengakuan mereka berempat itu palsu? Bagaimana kalau tidak ada yang namanya Saga Winata? Bagaimana kalau sebenarnya mereka berbohong? Bagaimana kalau semuanya sudah diatur agar mereka berempat sampai di ruangan ini? Bagaimana kalau kita yang dipermainkan? Hakim Agung, silakan berikan keputusan yang adil menuruti hati nuranimu." Mahapatih kemudian pergi meninggalkan ruangan sidang dengan langkahnya yang tegap nan berwibawa.

"Baiklah, saya sudahkan sidang ini. Saya dan kedua hakim yang lain telah berdiskusi kecil dan telah mengambil keputusan besar," ujar Hakim Agung. "Dengan ini saya memutuskan untuk memberikan waktu lima hari bagi tentara keamanan untuk menangkap Saga Winata sekaligus mengukuhkan status orang yang bernama Saga Winata ini sebagai buronan kerajaan. Jika dalam waktu tersebut Saga Winata tidak berhasil ditangkap, maka keempat pelaku ini akan menjalani hukuman mati dengan cara dipenggal. Hukuman akan dilakukan di alun-alun lapangan penghukuman dan disaksikan oleh seluruh masyarakat." Hakim Agung berdiri dan memukul gong di belakangnya menandakan keputusan sidang telah sah berlaku.

"Dengan ini maka selesai sudah persidangan hari ini, silakan prajurit bawa kembali pelaku ke ruang tahanan, para pejabat kembali melanjutkan pekerjaannya, dan keluarga korban kembali ke wisma tamu untuk beristirahat. Terima kasih."

Semua yang hadir pun membubarkan diri.

Guru Sutaredja, Jayendra, Lingga, Saksana saling berpelukan. Sementara Seruni hanya mampu menatapnya haru.

"Kemarilah Seruni, sekarang kamu juga bagian dari keluarga kami" ucap Mahaguru Sutaredja.