webnovel

Chapter 9: Probabilitas

Beberapa hari kemudian ...

"Selamat pagi," sapa Ruru.

"Selamat pagi juga," balas Azalea.

"Kalian berdua selalu datang awal seperti biasanya ya. Aku jadi iri melihatnya," ujar Ruru.

"Sudah jadi kebiasaan sih," kata Azalea.

"Lemuel, kok kamu kelihatan seperti orang habis kerja paksa, sih? Ada apa?" tanya Ruru diiringi sedikit tawa.

"Seperti yang kamu lihat ... Sebuah penyiksaan baru untuk mengawali hari yang baru. Dengan kata lain ... Sekolah itu sebuah penyiksaan," kata Lemuel.

"Lah? Masa sekolah kamu bilang penyiksaan? Bukankah itu karena kamu sendiri yang bermain monopoli sampai subuh bareng Artha?" balas Azalea.

"Oh pantas saja. Itu sih salahmu sendiri," kata Ruru.

"Ruru, nanti habis jam istirahat pertama akan ada pembukaan babak final festival, kan?" tanya Lemuel.

"Ya, benar. Jam sepuluh kalau tidak salah," jawab Ruru.

"Akhirnya, ada juga sedikit hiburan di saat-saat seperti ini," kata Lemuel.

"Wah lagi bahas apa nih? Kayaknya seru sekali," balas Rumy yang baru saja datang.

"Lagi bahas pembukaan festival untuk nanti siang," ujar Azalea.

"Wah pas sekali. Aku baru selesai membuat poster untuk babak final," kata Rumy.

"Benarkah? Apa aku bisa melihatnya?" tanya Ruru.

"Duh, aku belum mencetaknya. Nanti saja deh kita cetak bareng," jawab Rumy.

"Ya sudah deh, apa boleh buat," kata Ruru.

"Oh ya, kamu tidak berangkat bareng Nara?" tanya Rumy.

"Nggak. Dia tadi bilang kalau ada sesuatu yang harus dia urus," jawab Ruru.

"Hmm ... Kira-kira apa ya yang ingin dia urus?" tanya Rumy.

"Mana aku tahu," jawab Ruru.

"Kalau begitu aku mau duduk di kursiku saja deh, lumayan masih ada cukup banyak waktu untuk tidur," ucap Rumy.

"Kok semua orang jadi senang tidur sih belakangan ini?" tanya Azalea.

"Entah," jawab Rumy.

Rumy kemudian pergi ke tempat duduknya.

"Hmm ... Aku penasaran siapa yang akan menjadi lawan selanjutnya," kata Azalea.

"Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan," sahut Lemuel.

"Aku setuju. Pasti ada cara untuk menang jika kita serius," kata Ruru.

"Ada benarnya juga sih," balas Azalea.

Pada siang harinya ...

"Kok sudah pada menghilang saja sih? Padahal baru juga pulang sekolah," keluh Azalea ketika keluar dari gedung utama sekolah.

Tiba-tiba, Mallorie datang dan menepuk bahu Azalea, membuatnya sedikit terkejut.

"Hei, sedang apa kamu?" tanya Mallorie.

"Duh jangan ngagetin dong! Kalau aku sampai jantungan, memangnya kamu mau tanggung jawab?" balas Azalea.

"Dih gitu aja marah. Lagi cari yang lain kan? Coba ke bazar makanan. Harusnya mereka sedang ada di sana," ujar Mallorie.

"Kok bisa tahu?" tanya Azalea.

"Aku baru selesai belanja di sana. Nih lihat aku bawa kantong plastik isi minuman," jawab Mallorie.

"Tidak mau menonton pembuka babak final?" tanya Azalea.

"Malas ah, membosankan," jawab Mallorie yang kemudian berjalan ke arah asrama.

"Dasar pemalas," pikir Azalea.

Azalea kemudian berjalan menuju ke bazar makanan. Sesampainya di sana, ia melihat Nara dan Ruru sedang makan di salah satu stand. Azalea pun menghampiri mereka.

"Hei, makan kok tidak ajak-ajak sih? Aku kan juga lapar, tahu!" seru Azalea.

"Maaf ya. Kukira kamu sudah kenyang," balas Ruru.

"Lagipula kamu kenapa langsung menghilang sepulang sekolah? Siapa yang menghadiri pembukaan finalnya?" tanya Azalea.

"Rumy," jawab Ruru.

"Sendirian?" tanya Azalea.

Di sisi lain ...

"Kok yang lain belum datang juga sih? Duh, mana posternya belum selesai dicetak pula. Oh ya, pendaftaran nya juga belum beres!" seru Rumy.

Tanpa arah tujuan yang jelas, Rumy berjalan menuju ke tempat percetakan untuk mencetak poster lomba. Di saat yang bersamaan ...

"Hahaha, tenang saja. Dia bisa kok melakukannya sendiri," kata Ruru.

"Hmm ... Bagaimana kalau kita bantu saja. Aku jadi tidak enak melihatnya mengurus semuanya sendiri," balas Nara yang baru saja selesai makan.

"Sebentar, aku telepon Artha dulu. Aku akan minta dia membantu Rumy. Nanti kita menyusul saja setelah selesai makan," kata Ruru.

"Wah parah kamu Ruru, malah merepotkan orang lain," balas Azalea.

"Santai saja," kata Ruru.

"Oh ya, ada yang lihat Lemuel tidak? Dia juga tidak kelihatan sejak awal," balas Azalea.

"Pertanyaan bagus. Aku juga belum melihatnya sejak pulang sekolah," kata Ruru.

"Nara, apa kamu melihatnya?" tanya Azalea.

Nara menggelengkan kepalanya dan berkata,"Tidak. Aku juga belum melihatnya sama sekali. Aku bersama Ruru sejak pulang sekolah."

Sementara itu ...

"Sial! Dompetku tertinggal di kantin," ucap Lemuel.

"Duh aku balik saja lah. Semoga dompetnya belum diambil orang," ucap Lemuel lagi. Ia lalu langsung berlari menuju ke kantin.

Namun sesaat sebelum sampai di kantin, ia melihat seekor kucing yang hampir terjatuh dari pohon. Tanpa pikir panjang, Lemuel langsung bersiap untuk menangkapnya. Untunglah, kucing tersebut berhasil ia tangkap. Akan tetapi, kucing tersebut terlihat mengalami sedikit cedera.

"Duh, sepertinya kakinya patah. Aku harus mencari bantuan," pikir Lemuel.

Lemuel kemudian melihat ke sekelilingnya. Karena tak melihat siapapun yang bisa membantunya, ia membawa kucing itu ke sebuah kursi di dekat pohon. Beberapa saat kemudian, Aisara datang datang.

"Apakah kucing itu terluka?" tanya Aisara.

"Ya. Kucing ini terjatuh dari pohon," jawab Lemuel.

"Boleh kulihat?" tanya Aisara.

Lemuel lalu memperlihatkan kucing tersebut. Dengan tenang, Aisara mengarahkan tangannya dan menyembuhkan kucing tersebut dengan sihir. Dalam sekejap, kucing tersebut bisa berjalan kembali.

"Maaf kalau aku sedikit lancang, tetapi apakah kamu bisa mengajariku teknik penyembuhan yang barusan?" tanya Lemuel.

"Tergantung," jawab Aisara.

"Maksudnya?" tanya Lemuel.

"Jika kamu menggunakannya hanya untuk kebaikan, maka aku bersedia untuk mengajarimu," jawab Aisara.

"Tentu. Aku tidak akan menyalahgunakan apa yang kamu ajarkan," kata Lemuel.

"Hmm ... Baiklah, datanglah ke sini nanti sore sekitar jam empat. Aku akan mengajarkanmu dasar sihir penyembuhan," ujar Aisara.

"Terima kasih," balas Lemuel dengan sedikit rasa antusias.

Lemuel kemudian langsung pergi mencari dompetnya yang tertinggal di kantin. Sesuai dugaan awalnya, dompet itu sudah tidak berada di situ lagi. Akan tetapi, pada akhirnya Lemuel dapat menemukannya setelah membuat laporan kehilangan di pusat informasi. Sore harinya, ia menemui Aisara dan diajarkan dasar ilmu penyembuhan sesuai yang dijanjikan. Di sisi lain, Lavina meminta Rebecca datang ke ruang kepala sekolah untuk mendiskusikan sesuatu pada malam harinya.

"Rebecca, aku punya permintaan untukmu," kata Lavina yang baru saja duduk di sebuah sofa.

"Permintaan? Tidak biasanya kamu meminta sesuatu padaku," balas Rebecca. Ia yang tadinya sedang mengetik sesuatu mendadak berhenti.

"Ya, kali ini situasinya cukup serius. Jadi, aku harus meminta bantuanmu," ujar Lavina.

"Maksudmu? Jangan bilang ini ada hubungannya dengan sihir," kata Rebecca.

"Ya benar. Ketika aku diam-diam memindai energi sihir semua orang yang masuk ke area festival, ada satu orang yang jumlah energinya naik sampai sekitar sembilan kali lipat jumlah energi sihir manusia normal. Sepertinya dia menggunakannya untuk mendeteksi bentuk kehidupan setiap orang di area festival," jelas Lavina.

"Duh bagaimana ya ... Saat ini aku masih melakukan penelitian untuk Ruru. Kurasa aku akan sedikit kesulitan jika harus membagi waktu untuk menangani kasus ini," balas Rebecca.

"Apa tidak ada yang bisa kamu lakukan? Ini bisa jadi suatu pertanda hal buruk akan terjadi," ucap Lavina.

"Aku akan mencoba menghubungi salah satu sahabatku, Teo Anthrum. Dia harusnya bisa menyelesaikan masalah ini," balas Rebecca.

"Kalau begitu ini catatan tentang temuanku. Semoga itu bisa menjadi petunjuk untuk melihat motif dibalik kejadian ini," kata Lavina sambil menyerahkan beberapa lembar kertas kecil.

Setelah menyerahkan kertas tersebut pada Rebecca, Lavina kemudian keluar dari ruang kepala sekolah. Seketika, Rebecca mengaktifkan sihir miliknya untuk berpindah tempat secara instan. Ia berpindah tempat ke daerah sekitar pelabuhan yang cukup jauh dari area Ilustrinis.

"Cih ... Tempat ini masih saja dingin. Seharusnya aku membawa jaket sebelum berangkat ke sini," gumam Rebecca.

Angin dingin yang terus berhembus membuat Rebecca sedikit kesulitan untuk mencari Teo. Pada akhirnya, ia berteduh sejenak di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari tempat ia datang.

"Selamat datang" ucap salah satu pegawai.

"Halo. Aku pesan teh hangatnya satu ya," balas Rebecca.

"Baik, mohon ditunggu ya," ucap si pegawai.

Rebecca kemudian duduk di salah satu kursi. Beberapa menit kemudian, seseorang datang dari arah belakang dan menaruh secangkir teh serta beberapa potong biskuit di meja. Rebecca kemudian menoleh ke belakang dan berkata,"Terima ka-"

"Rebecca? Tumben sekali kamu datang ke sini," ucapnya.

"Teo? Bukankah kamu sekarang masih menjadi seorang walikota?" tanya Rebecca.

Teo kemudian duduk di seberang Rebecca dan berkata,"Memang benar. Aku hanya bekerja di sini untuk mengisi waktu. Lagipula, masa jabatanku sudah mau habis."

"Oh begitu. Kukira kamu sedang ada masalah. Kebetulan nih, aku sedang mencarimu," balas Rebecca.

"Kenapa? Apakah ada masalah besar yang sulit ditangani?" tanya Teo.

"Bukan seperti itu. Saat ini aku sedang ada penelitian yang tak bisa ditunda, jadi aku agak sedikit kesulitan untuk menangani masalah satu ini," jawab Rebecca.

"Ceritakanlah. Siapa tahu aku bisa membantu," kata Teo.

"Ada seseorang yang menimbun energi sihir dan menggunakannya untuk memantau pergerakan semua orang yang ada di Ilustrinis," ujar Rebecca.

"Hmm ... Sepertinya ini masalah besar. Ketika seseorang menimbun energi sihir dalam jumlah besar, biasanya dia sudah merencanakan penggunaan sihir yang memerlukan banyak energi. Salah satunya adalah hujan meteor," balas Teo.

"Apa kamu bisa membantuku?" tanya Rebecca.

"Kurasa tidak. Kalau aku ke sana sekarang, akan sangat mudah baginya untuk mendeteksi keberadaanku," jawab Teo.

"Lalu apakah kamu memiliki saran?" tanya Rebecca.

"Begini. Aku mengenal seseorang yang mungkin bisa membantumu. Dia adalah manusia setengah vampir. Namanya Mythia Batford. Mungkin jika kamu memberikan sedikit mantra padanya, dia bisa diandalkan," jawab Teo.

"Mungkin saja. Memang aku memiliki mantra untuk itu, tetapi itu sangat menguras energi. Aku butuh suplai energi tambahan untuk melakukannya, kata Rebecca.

"Tenang saja, aku punya stok ramuan yang dapat menambah energi. Tetapi, kamu tidak boleh gagal melepas mantranya. Stok yang kupunya hanya satu," balas Teo.

"Baiklah. Kalau soal itu aku bisa melakukannya," ujar Rebecca.

"Kalau begitu akan kuantar saat kamu selesai makan," kata Teo.

"Terima kasih," balas Rebecca.

Dengan perasaan lega, Rebecca pun menyantap makanannya sampai habis. Setelah itu, Teo dan Rebecca pergi ke sebuah studio tempat Mythia bekerja. Saat sampai di depan studio ...

"Apa kamu yakin ini tempatnya? Dia bekerja sebagai penyanyi, kan?" tanya Rebecca.

"Ya, betul. Seharusnya memang di sini kok," jawab Teo.

"Baiklah, aku akan coba masuk dan berbicara dengannya," kata Rebecca.

"Kuharap dia sedang tidak ada acara," balas Teo.

Rebecca lalu masuk ke dalam studio, namun ia keluar dari sana beberapa menit kemudian.

"Bagaimana? Apakah kamu berhasil bertemu dengannya?" tanya Teo.

"Kata salah satu staf studio, Mythia baru saja berangkat ke kafe tempatmu bekerja," jawab Rebecca.

"Yah masa kita balik lagi," balas Teo dengan sedikit rasa kesal.

"Mau pakai sihir saja?" tanya Rebecca.

"Tidak usah. Buang-buang energi," jawab Teo.

"Baiklah," kata Rebecca.

Mereka berdua kemudian kembali ke kafe. Sesampainya di sana, Mythia terlihat sedang memesan sesuatu.

"Aku kembali bekerja dulu ya. Kamu langsung bicara saja dengannya," kata Teo.

"Baiklah," balas Rebecca.

Setelah mengatakan itu, Teo langsung pergi menuju ke dapur. Di sisi lain, Rebecca menghampiri Mythia.

"Selamat malam. Boleh minta waktunya sebentar?" tanya Rebecca.

"Tentu. Duduk saja," jawab Mythia.

"Terima kasih," kata Rebecca.

"Ada perlu apa ya?" tanya Mythia.

"Pertama-tama, perkenalkan, namaku Rebecca Raphaelle. Saat ini, aku sedang punya situasi yang cukup rumit. Tolong dengarkan terlebih dahulu," jawab Rebecca. Ia kemudian menceritakan semuanya tentang apa yang telah terjadi di Ilustrinis, termasuk kasus percobaan pembunuhan dan juga keanehan energi sihir di sana.

"Aku tak yakin bisa banyak membantu dalam hal ini. Aku bahkan tidak memiliki kemampuan sihir," ujar Mythia.

"Tolonglah. Hanya kamu satu-satunya harapan saat ini. Kalau soal sihir, aku bisa meminjamkanmu sedikit energi sihir," kata Rebecca.

"Hmm ... Baiklah. Tetapi, aku tidak bisa keluar dari studio saat siang hari," balas Mythia.

"Ah ya, kamu adalah setengah vampir. Tapi jangan khawatir, aku bisa membuatmu kebal terhadap sinar matahari dengan salah satu sihirku," ujar Rebecca.

Tiba-tiba, Teo datang dan menghampiri mereka berdua sambil membawa dua gelas minuman.

"Halo Mit, ini pesanan teh susu mutiara rasa talas seperti biasa ya. Nih, kuberikan bonus kupon untukmu," kata Teo.

"Oh terima kasih Teo. Dalam rangka apa nih?" tanya Mythia.

"Anggap saja rasa terima kasih karena sudah mau mendengar masalah dari Rebecca," jawab Teo.

"Hm ... Kenalanmu?" tanya Mythia.

"Hahaha, dia adalah orang yang membuatku berhasil menjadi walikota di kota ini. Dia ini peramal yang cukup hebat tahu. Bahkan dia bisa melihat masa lalumu," jawab Teo.

"Peramal? Sulit dipercaya," kata Mythia.

"Mari kita coba," ujar Rebecca. Ia kemudian menjentikkan jarinya dan dalam seketika, suasana kafe yang tenang berubah menjadi sebuah kastil yang cukup megah.

"Aku yakin kamu mengenal tempat ini," kata Rebecca.

"Ini kan ... Tempat tinggalku sebelum aku diusir," balas Mythia.

"Nah, sekarang cukup," ucap Rebecca yang kemudian menjentikkan jarinya lagi dan mengembalikan suasana kembali seperti di kafe.

"Hei, kalian ini jangan tiba-tiba menghilang dong. Pesanannya belum dibayar, tahu!" ujar Teo.

"Maaf ya, sudah kebiasaan," balas Rebecca.

"Ya sudah, kurasa aku bisa membantumu, tetapi mungkin hanya untuk sekali saja. Aku kurang suka dengan suasana siang hari," kata Mythia.

"Tentu. Aku tidak masalah jika kamu membantuku saat sore atau malam hari. Oh ya, satu-satunya yang perlu kamu lakukan adalah pergi mengikuti seseorang," balas Rebecca. Ia kemudian mengeluarkan sebuah foto dan menyerahkan pada Mythia.

"Jadi maksudmu menguntit?" tanya Mythia.

"Tepat sekali," jawab Rebecca.

"Memangnya ada apa dengan orang ini?" tanya Mythia.

"Detailnya tertulis di balik fotonya," jawab Rebecca.

"Hmm ... Ya sudah deh," kata Mythia.

"Terima kasih ya. Besok datang saja ke alamat yang tertera di foto yang kuberikan," balas Rebecca.

Sementara itu ...

"Ruru, apa yang kamu inginkan jika memenangkan festival ini?" tanya Artha.

"Aku ingin melanjutkan penelitian akhirku agar bisa lulus," jawab Ruru.

"Lalu setelahnya, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Artha.

"Entah. Aku tidak tahu lagi," jawab Ruru.

"Apakah-" kata Artha. Saat akan mengatakannya, Ruru langsung memotong pembicaraan dan berkata,"Artha, ingat kesepakatan kita. Aku tidak mau terlibat dengan urusan perasaan sampai festival ini selesai."

" ... " Artha terdiam. Ia sadar bahwa tidak seharusnya dirinya mengatakan hal itu.

"Jangan takut, aku juga tidak akan ke mana-mana kok. Kamu cukup bersabar saja," kata Ruru.

"Ya," balas Artha.

"Sebaiknya kita kembali ke asrama sekarang. Terima kasih ya sudah menemaniku makan malam," ujar Ruru.

"Tentu," balas Artha.

Keesokan harinya ...

"Akhirnya sekolah kelar juga! Waktunya pulang," ujar Ruru dengan antusias.

"Pulang? Kamu kan masih ada acara promosi bareng Nara dan Rumy," balas Azalea.

"Ah ya betul. Oh tidak," kata Ruru.

"Semangat!" kata Lemuel.

"Kalau begitu kami duluan ya," balas Azalea.

Lemuel dan Azalea kemudian keluar dari kelas.

"Sudahlah, lebih baik aku langsung ke aula saja," ucap Ruru.

Di sekitar gedung utama ...

"Mau makan apa kita hari ini?" tanya Azalea.

"Mau nasi goreng yang waktu itu?" jawab Lemuel dengan pertanyaan.

"Boleh, kebetulan aku juga sedang mau makan nasi," kata Azalea.

Ketika mereka akan menuju ke kantin, Mythia menghampiri mereka.

"Selamat siang, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Mythia.

"Ya?" balas Azalea.

"Apa orang dalam foto ini sedang ada acara hari ini?" tanya Mythia sambil menunjukkan foto yang diberikan oleh Rebecca.

"Wah tentu. Dia selalu ada acara setiap hari. Biasanya siang-siang seperti ini dia sedang promosi di gedung utama," jawab Azalea.

"Kalau boleh tahu, gedung utama itu di mana ya?" tanya Mythia.

"Dari sini cukup lurus saja. Di sana ada gedung dengan pintu berwarna biru. Itu adalah gedung utama," jawab Azalea.

"Terima kasih," balas Mythia yang kemudian berjalan ke arah gedung utama.

"Dia memiliki suara yang bagus ya," kata Lemuel.

"Begitulah. Kurasa juga demikian," sambung Azalea.

Di saat yang bersamaan, Mythia yang sudah sampai di gedung utama kemudian menggunakan sihir perubahan wujud agar tidak keberadaannya tidak diketahui oleh Myasha. Beberapa jam setelah mengikuti acara promosi di gedung utama, Myasha dan Aisara akhirnya menuju keluar dari gedung utama. Agar tidak kehilangan jejak, Mythia langsung ikut berjalan di belakang keduanya.

"Tunggu sebentar. Kok tiba-tiba aku merasa ada yang mengikuti kita ya," kata Aisara.

"Ah mungkin itu hanya perasaanmu," balas Myasha.

"Mungkin. Oh ya, bisa kita mampir sebentar ke kantin? Aku agak haus setelah acara hari ini," ujar Aisara.

"Ya. Tentu saja," balas Myasha.

Keduanya lalu mampir sebentar di kantin untuk makan malam. Sesampainya di sana, keduanya duduk di kursi dekat jendela setelah memesan makanan. Sementara itu, Mythia kembali ke wujud asalnya dan ikut masuk ke kantin. Walaupun begitu, ia tetap menggunakan sihir penghilang keberadaan agar tidak dicurigai oleh Myasha.

"Aku tidak habis pikir, kok hari ini jumlah penonton acara promosi bisa semakin banyak. Padahal, kemarin kita tidak membuat jadwal acara apapun karena lupa," kata Aisara.

"Itu sih tidak penting. Satu-satunya tujuanku datang ke festival ini adalah apa yang sudah kita sepakati dari awal," balas Myasha.

"Kenapa kamu bersikeras untuk membunuhnya? Apa kamu tidak kasihan padanya? Dia bahkan tidak melakukan kesalahan apapun," ujar Aisara.

"Kamu kira aku mau melakukannya? Kamu pikir aku mau membunuh Ruru tanpa alasan yang jelas? Tentu saja tidak! Satu-satunya alasan mengapa aku sampai seperti ini adalah karena paksaan dari keluargaku," balas Myasha.

"Lalu kenapa sampai sekarang kamu masih mencari cara untuk membunuhnya? Bukankah sebaiknya mencari cara lain?" tanya Aisara.

"Lupakan soal itu. Sekarang aku lebih memilih untuk memenangkan festival ini agar uang kemenangannya dapat kugunakan untuk kabur dari keluargaku," jawab Myasha.

"Jadi kamu tidak berencana untuk kembali ke rumahmu?" tanya Aisara.

"Tidak. Aku muak dengan tuntutan yang mereka berikan. Aku bukan budak mereka dan aku tidak mau melakukan kejahatan seperti ini. Aku tahu dia adalah ancaman keluargaku. Tetapi dari apa yang kulihat, Ruru adalah orang yang baik. Mana bisa aku membunuhnya," jawab Myasha.

"Baiklah. Sekarang aku mengerti masalahnya," kata Aisara.

"Ya sudah, sekarang lebih baik cepat habiskan makanannya. Aku mulai kedinginan sekarang," balas Myasha.

Beberapa jam kemudian ...

"Kamu kira Mythia akan berhasil?" tanya Rebecca.

"Tentu. Dia dapat diandalkan kok. Aku tidak yakin dia akan terluka," jawab Teo.

Tiba-tiba ...

"Permisi, bolehkah aku masuk?" tanya Azalea dari luar ruang kepala sekolah.

"Teo, cepat ubah dirimu jadi benda mati. Jangan sampai ada yang tahu kamu di sini," kata Rebecca.

Teo kemudian menggunakan sihirnya dan mengubah dirinya menjadi sebuah lukisan. Setelah itu, Rebecca mempersilahkan Azalea masuk.

"Ini uang yang tadi Ruru dan Artha pinjam. Terima kasih banyak ya. Kalau tidak ada ini, mungkin mereka tidak jadi promosi hari ini," ujar Azalea sambil menyerahkan sebuah amplop kecil.

"Duh padahal sudah kubilang tidak usah dikembalikan. Ada-ada saja kelakuan Ruru ini ya," balas Rebecca.

"Mungkin dia tidak enak karena terus merepotkanmu," kata Azalea.

"Kan keluarganya juga yang menciptakanku. Mana mungkin aku menolak permintaannya. Di sisi lain, apa yang sedang dia lakukan sekarang?" tanya Rebecca.

"Seperti biasa, makan malam bersama Artha," jawab Azalea.

"Oh seperti itu. Baiklah, terima kasih ya sudah repot-repot ke sini," ucap Rebecca.

"Tak masalah, balas Azalea.

Azalea lalu keluar dari ruang kepala sekolah. Sesaat setelahnya, seseorang mengetuk pintu ruang kepala sekolah kembali.

"Silahkan masuk," sahut Rebecca dari dalam ruang kepala sekolah.

Orang tersebut kemudian masuk.

"Ah akhirnya kamu kembali juga, Mythia. Apa kamu menemukan sesuatu yang penting?" tanya Rebecca.

"Tidak banyak. Tetapi, kurasa informasi ini akan cukup untuk membuatmu puas," jawab Mythia.

"Katakan," balas Rebecca.

"Myasha Vai sepertinya akan berhenti mengejar Ruru apabila ia memenangkan festival ini," ujar Mythia.

"Apa kamu yakin dengan hal itu? Aku tidak yakin seorang penyihir seperti dia akan menyerah begitu saja," balas Rebecca.

"Begitulah. Aku yakin dengan hal itu. Di sisi lain, aku juga mempunyai info tentang keluarganya," ujar Mythia.

"Keluarganya?" tanya Rebecca.

Mythia lalu menceritakan semuanya tentang tekanan yang Myasha dapatkan dari keluarganya dan alasannya untuk berusaha membunuh Ruru.

"Menarik. Apa ada info lain yang masih bisa kamu beritahukan?" tanya Rebecca.

"Aku sudah memberitahukan semua informasi yang aku dapat. Apa lagi yang harus kuberitahukan padamu?" tanya Mythia.

"Apa kamu tidak mendapat informasi tentang sihir yang ia miliki?" tanya Rebecca.

"Tidak, dia tidak sedikitpun menggunakan sihir miliknya. Hmm ... Atau mungkin ini karena aku yang tidak memiliki banyak ilmu sihir sepertimu?" jawab Mythia.

"Aku tidak yakin. Sihir seharusnya bekerja lebih maksimal pada makhluk hidup campuran," ujar Rebecca.

"Yah bagaimanapun juga, aku sudah melakukan semua yang kubisa. Sisanya kuserahkan pada kalian saja. Kalau aku boleh memberi saran, sebaiknya kalian biarkan saja dia menang. Bisa bahaya kalau sampai dia menggunakan sihir yang kita tidak bisa atasi," balas Mythia.

"Baiklah, saranmu itu akan kupertimbangkan. Terima kasih atas bantuannya," kata Rebecca.

"Bagaimana dengan sihir sementara yang kamu berikan padaku? Aku merasa kurang cocok jika menggunakan sihir," tanya Mythia.

"Semuanya akan hilang dengan sendirinya maksimal dua hari dari sekarang," jawab Rebecca.

"Terima kasih," ucap Mythia.

Mythia kemudian keluar dari ruang kepala sekolah. Bersamaan dengan itu, Teo melepas penyamarannya.

"Jadi, bagaimana menurutmu?" tanya Rebecca.

"Kurasa dia tidak berbohong. Seperti yang dia katakan, ada baiknya bila kita biarkan saja Myasha memenangkan festival ini," jawab Teo.

"Baiklah, aku akan mencoba untuk memberitahukan Ruru, Rumy, dan Nara tentang hal ini. Aku berharap masalah ini dapat selesai dengan cepat. Aku tidak mau hal buruk terjadi pada mereka," kata Rebecca.

Keesokan harinya ...

"Semoga urusan ini tidak menjadi panjang," ucap Rebecca.

Rebecca kemudian mengetuk pintu asrama Ruru. Beberapa saat kemudian, Ruru membuka pintunya.

"Rebecca? Ada apa sampai repot-repot ke sini?" tanya Ruru.

"Ada yang aku ingin bicarakan. Bisa kita bertemu satu jam lagi di taman? Kalau bisa, ajak juga Nara dan Rumy ya," jawab Rebecca dengan sebuah pertanyaan.

"Tentu," jawab Ruru.

"Kalau begitu aku pamit dulu," kata Rebecca yang kemudian keluar dari ruangan.

Satu jam kemudian, Ruru dan yang lainnya berkumpul di taman seperti yang diminta oleh Rebecca.

"Jadi ada apa?" tanya Ruru.

"Begini Ruru, aku ingin kamu mengalah saja di babak final ini," jawab Rebecca.

"Hah? Menyerah? Apa maksudnya?" tanya Ruru.

"Seperti yang kukatakan, aku mau kamu menyerah saja. Ini demi kebaikanmu. Lagipula paling tidak kamu sudah otomatis menjadi juara dua. Kekurangan uangnya akan aku ganti bila kamu mau," jawab Rebecca.

"Tidak bisa begitu, aku tidak mau menyerah begitu saja," kata Ruru.