webnovel

Chapter 4: Apakah Pilihanku Tepat?

Dua hari telah berlalu sejak hari itu. Semuanya berjalan seperti biasa, kecuali hubunganku dengan Azalea. Ia mulai sedikit jarang berbicara denganku. Aku tahu ia kecewa dengan apa yang aku katakan. Tetapi, aku belum berani untuk meminta maaf karena takut sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Pada siang ini, Azalea pergi entah ke mana setelah pulang sekolah. Aku sudah berusaha untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Di sisi lain ...

"Alea, ada apa memanggilku ke sini?" tanya Mallorie.

"Mallorie, sepertinya aku ingin mengembalikan saja kunci yang kamu berikan?" jawab Azalea.

"Mengapa? Apa kamu bertengkar dengan Lemuel?" tanya Mallorie.

"Tidak. Aku tidak bertengkar dengannya. Aku hanya mulai memikirkan hubungan yang aku jalani dengannya. Aku tidak yakin saat hubunganku ini hanya sebatas teman," jawab Azalea.

"Maksudnya?" tanya Mallorie.

"Aku merasa hampa. Aku menyayanginya, tetapi sepertinya itu hanya akan terjadi secara sepihak. Ia tak terlihat peduli denganku," jawab Azalea.

"Lalu?" tanya Mallorie.

"Aku mau ia mencintaiku bukan karena barang ataupun sebagainya. Aku mau dia cinta padaku secara tulus. Aku akan merasa sangat bersalah bila harus mengatakan bahwa kunci ini milikku," jawab Azalea.

"Oh, aku mengerti. Jadi kamu memang benar mencintainya ya ..." kata Mallorie.

"Itu benar. Jadi, maafkan aku. Sepertinya aku harus mengembalikan kunci ini," balas Azalea yang kemudian menyerahkan kunci itu pada Mallorie.

"Lemuel pasti adalah orang yang beruntung karena bisa dekat denganmu," kata Mallorie.

"Terima kasih. Aku senang mendengarnya," balas Azalea.

"Kalau nanti kamu sedang ada masalah, jangan ragu untuk menceritakannya padaku ya," ujar Mallorie.

"Tentu. Sekarang aku pergi dulu ya," balas Azalea.

Pada malam harinya ...

"Aku kembali," ucapku tak lama setelah membuka pintu.

Saat itu, suasana kamar cukup hening. Lampu kamar dimatikan dan Azalea terlihat sedang merapikan rambutnya.

"Kamu ke mana siang ini? Kok aku tidak melihatmu sejak pulang sekolah," tanyaku.

"Aku hanya berkeliling di sekitar sekolah. Tak banyak sih yang bisa aku lakukan," jawab Azalea.

"Oh seperti itu," kataku.

"Kalau kamu mau mandi, di kamar mandi sudah aku siapkan air hangat. Aku tidur dulu ya," balas Azalea.

Tanpa bicara panjang lebar, ia langsung berbaring di tempat tidurnya.

Keesokan harinya ...

"Hei Lemuel, cepat bangun! Mau sarapan tidak?" seru Azalea. Aku pun terbangun dan bersiap untuk sarapan di kantin. Seperti biasanya, suasana di kantin cukup ramai walaupun masih pagi. Aku dan Azalea duduk di sebuah bangku yang terletak di dekat jendela.

"Alea, boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku.

"Boleh saja, kenapa tidak," jawab Azalea.

"Kenapa belakangan ini sifatmu berubah? Kamu seperti agak menjauhiku," tanyaku.

"Benarkah? Sepertinya sifatku biasa-biasa saja," jawab Azalea.

"Ayolah, kita ini bukan baru satu hari saling kenal. Kalau ada masalah, ceritakan saja," kataku.

Azalea kemudian menghela napas dan berkata,

"Ya sudah, akan aku ceritakan."

"Tapi pertama-tama, coba kamu lihat foto ini. Aku yakin kamu pasti mengetahuinya," kata Azalea lagi sambil meminjamkanku ponsel miliknya.

Di dalam galeri ponsel tersebut, aku melihat sebuah foto kunci yang kuberikan pada teman masa kecilku.

"Ini kan ..." ucapku.

"Tunggu. Sebelum kamu bertanya yang macam-macam kepadaku, aku ingin memberitahu bahwa kunci ini bukan milikku," balas Azalea.

"Kalau bukan punyamu, lalu ini punya siapa? Dan bagaimana caramu mendapatkan foto ini?" tanyaku.

"Aku mengambil foto ini ketika seseorang menjatuhkannya saat festival berlangsung. Kurasa itu bertepatan dengan hari kedatanganmu di Ilustrinis. Pemiliknya adalah ... Mallorie," jawab Azalea dengan jelas.

"Kamu tidak bercanda, kan?" tanyaku.

"Untuk apa aku bercanda di saat seperti ini?" jawab Azalea.

"Kalau begitu terima kasih ya atas infonya. Dengan begini, pencarianku selama ini akhirnya membuahkan hasil," kataku.

Mendengar perkataanku, Azalea tak memberikan komentar apapun. Ia terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya berbicara.

"... Baguslah. Aku senang kalau kamu juga senang. Oh ya, aku pergi duluan ya. Aku lupa kalau ada sesuatu yang harus aku lakukan," kata Azalea.

"Eh tapi makananmu-" balasku.

"Untukmu saja," kata Azalea.

Ia kemudian pergi keluar dari kantin. Langkahnya cepat, membuatku sedikit khawatir.

"Kira-kira ada apa dengannya?" kataku sambil menyantap sarapan.

"Ya sudahlah. Palingan dia ada urusan. Di sisi lain, aku harus menemui Mallorie siang nanti," kataku lagi.

Pada siang hari sepulang sekolah, aku langsung mencari Mallorie ke seluruh bagian sekolah. Kebetulan, tak butuh lama bagiku untuk menemukannya. Ia sedang berada di taman sekolah saat itu. Ketika aku akan menghampirinya, tiba-tiba Arwis datang entah dari mana. Aku pun segera bersembunyi dan menguping pembicaraan mereka.

"Sudah lama menunggu?" tanya Arwis.

"Belum. Aku baru saja sampai di sini lima menit yang lalu," jawab Mallorie.

"Kukira kamu akan lupa dengan janji kita hari ini," kata Arwis.

"Tidak lah. Kamu kan adalah orang yang penting bagiku," balas Mallorie.

Sementara itu di rooftop gedung utama ...

"Ruru, bukankah menguping pembicaraan itu tidak baik?" ucap Azalea.

"Ayolah, ini kan berhubungan denganmu juga. Kamu punya hak untuk tahu apa yang Lemuel lakukan," balas Ruru.

"Aku tidak mau kalau begini. Aku merasa seperti membatasi kebebasannya," kata Azalea.

"Oh ... Katakan padaku. Apakah kamu mencintai Lemuel?" tanya Ruru.

"Apaan sih ... Kok tiba-tiba malah membicarakan hal itu?" jawab Azalea.

"Hmm ... Ternyata benar. Alea, jangan sia-siakan peluang yang kamu punya. Kamu masih lebih beruntung dariku. Aku bahkan tidak diperbolehkan untuk mencintai seseorang saat ini," ujar Ruru.

"Apakah itu larangan dari Rebecca?" tanya Azalea.

"Ya. Aku juga tidak tahu mengapa ia melarangku. Tapi kurasa itu adalah yang terbaik bagiku," jawab Ruru.

"Sudahlah. Aku sudah tidak mau berada di sini. Melihat orang yang sakit hati akan membuatku merasa sedih," kata Azalea.

Azalea kemudian pergi dari rooftop.

"Alea ... Sifatmu memang tidak berubah sejak dahulu ya, selalu peduli dengan orang lain. Itu juga lah yang membuatmu kesulitan saat ini," kata Ruru.

Di saat yang bersamaan, aku yang melihat Mallorie dan Arwis menghabiskan waktu berdua hanya bisa diam dan menahan rasa sakit di hati. Aku yang awalnya diam-diam mengikuti keduanya malah jadi berkeliling sekolah tanpa tujuan yang jelas.

Malam harinya, aku kembali ke asrama dengan rasa lelah yang luar biasa. Saat aku masuk ke dalam kamarku, aku melihat Azalea tertidur di meja belajarnya. Aku lalu mencoba untuk membangunkannya.

"Alea, bangun. Nanti pinggangmu bisa sakit kalau tidur seperti ini," ucapku.

Ternyata, usaha yang aku lakukan sia-sia, Azalea sepertinya sudah tertidur pulas. Karena tidak tega membangunkannya, aku mengangkatnya ke tempat tidurnya. Kemudian, aku pun tidur.

"Selamat malam," kataku.

Keesokan harinya, Azalea bangun pagi-pagi sekali dan langsung berangkat menuju ke sekolah. Saat aku bangun, ia hanya meninggalkan sarapan di meja belajarku dan sebuah catatan yang mengingatkanku untuk tidak datang terlambat ke sekolah. Dalam sekejap, aku merasakan sedikit kehampaan dalam hatiku. Aku merasa ada yang salah dengan semua ini.

Semangat belajar yang biasanya aku dapatkan di pagi hari pun hilang. Malas rasanya jika hari ini aku harus masuk sekolah. Aku kemudian mengambil ponselku dan mengabari Arwis bahwa hari ini aku sedang sakit dan memintanya untuk melaporkannya pada wali kelas. Waktu berjalan sangat lambat hari ini, seakan hampir tidak bergerak sama sekali. Aku hanya mengisi kekosongan ini dengan menonton televisi dan tidur. Siang harinya, Arwis datang dengan membawa makanan untukku.

"Hei, sakit apa kamu?" tanya Arwis.

"Sudah sembuh kok," jawabku.

"Wah kamu bohong ya. Parah kamu ya ..." kata Arwis.

"Aku hanya merasa malas jika harus masuk sekolah," balasku.

"Tenang saja, setiap orang juga pernah punya masalah. Jadi, kamu ada masalah apa dengan Alea?" tanya Arwis.

"Hah? Apa yang membuatmu berpikir kalau itu Alea?" tanyaku.

"Oh ayolah ... Masa begitu saja tidak tahu. Belakangan ini kamu seperti menjauh darinya. Biasanya kamu itu nempel terus sama dia," jawab Arwis.

"Oh ..." kataku.

"Aku tidak tahu secara jelas. Tetapi, Azalea sepertinya sedikit menjauhiku," kataku lagi.

"Pasti ada alasan bagi dia untuk bersikap seperti itu. Coba kamu ingat-ingat lagi kapan dia mulai bersikap tidak biasa. Aku yakin kamu pasti bisa untuk menyelesaikan masalah ini," balas Arwis.

"Akan kucoba. Terima kasih atas sarannya," ucapku.

"Sama-sama," balas Arwis. Ia kemudian keluar dari kamarku.

Perkataan Arwis membuatku berpikir kembali ke hari-hari sebelumnya. Aku mulai teringat bahwa Azalea mulai sedikit menjaga jarak denganku ketika kami berdua selesai menonton dan makan di Retina Park. Aku juga baru sadar bahwa ia semakin kecewa ketika aku membahas kunci yang kuberikan pada teman masa kecilku. Dari situlah, aku menyimpulkan bahwa aku melakukan kesalahan besar dengan membahas hal tersebut dengannya tanpa mempertimbangkan perasaannya.

Saat aku tengah berdiam di kamar, Ruru datang ke kamarku.

"Ada apa? Apakah kamu mencari Alea?" tanyaku.

"Tidak. Malahan aku datang ke sini karena dia yang minta," jawab Ruru.

"Alea yang minta?" tanyaku.

"Ini. Dia menitipkan vitamin untukmu. Ada juga beberapa makanan yang ia beli," jawab Ruru.

"Di mana Alea sekarang?" tanyaku.

"Untuk apa kamu mencarinya?" tanya Ruru.

"Aku ingin meminta maaf," jawabku.

"Mengapa? Setahuku kamu sudah tidak peduli dengannya lagi," tanya Ruru.

"Kurasa aku telah menyakiti hatinya. Aku ... Aku merasa kalau sebenarnya aku lebih cocok dengannya. Tetapi, aku malah mementingkan kepentinganku," jawabku.

Ruru menghela napas dan berkata,"Dia ada di Retina Park. Datanglah ke bagian danau. Dia sedang memancing di sana."

"Terima kasih," balasku.

Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung berlari menuju ke Retina Park untuk meminta maaf padanya sekaligus untuk menyatakan perasaanku. Sesampainya di danau, aku melihat Azalea sedang duduk memancing ikan sendirian. Aku pun menghampirinya.