webnovel

Aku Sudah Mengundurkan Diri dari Dunia Persilatan

Aku sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan, tapi mereka masih terus memburuku bahkan sampai ke dalam mimpi. Apakah yang belum kulakukan untuk menghukum diriku sendiri, atas nama masa laluku yang jumawa, dan penuh semangat penaklukan, setelah mengasingkan diri begitu lama, dan memang begitu lama sehingga sepantasnyalah kini tiada seorang manusia pun mengenal diriku lagi? Aku menghilang dari rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan pada puncak masa kejayaanku, setelah kukalahkan seratus pendekar yang sengaja kutantang untuk mengadu ilmu di atas bukit karang yang terjal dan berbatu tajam, pada suatu malam bulan purnama yang bergelimang dengan darah. Seratus pendekar dari golongan hitam, golongan putih, maupun golongan merdeka yang tidak pernah berpihak, kulumpuhkan satu persatu seperti elang perkasa memangsa tikus. Nyaris secara harfiah dalam cahaya bulan aku melayang dari batu ke batu dan setiap kali melayang turun, bahkan ketika kakiku belum menapak bumi nyawa setiap pendekar itu melayang. Kepada pendekar golongan putih kuberikan kematian tanpa penderitaan, kepada pendekar golongan hitam kuberikan kesakitan setimpal dengan kejahatan yang mereka lakukan, dan kepada pendekar golongan merdeka kubiarkan ilmu mereka menangkal ilmuku semampu dayanya. Sebagai pendekar, kuberikan mereka kematian yang terhormat, yakni kematian dalam pertarungan. Pengeroyokan memang bukan sikap yang terpuji, tetapi akulah yang telah mengundang mereka datang, sekaligus dan semuanya, di luar itu tiada lagi pendekar kelas atas di dunia persilatan, yang tersisa hanyalah centeng-centeng pasar, tukang kepruk, dan penjahat kampung takberharga. Kutantang mereka semua karena aku sudah bosan melayani tantangan bertarung satu persatu. Mereka sungguh-sungguh sudah mengganggu tidurku! Pendidikan yang salah telah membuat setiap pendekar belum merasa menjadi pendekar jika belum mengalahkan pendekar takterkalahkan seperti aku. Di atas langit ada langit, tetapi falsafah dunia persilatan ini rupanya tidak pernah mereka hayati sepenuhnya. Seratus pendekar ternama dunia persilatan, mulai dari yang tua sampai yang muda, termasuk para mahaguru yang sebelumnya kukira mulia, tanpa tahu malu datang untuk menghabisi aku. Mereka semua ingin menjadi langit di atasku dengan cara menamatkan riwayatku.

Jika kukatakan telah kuberikan kepada mereka kematian yang terhormat, maka itu bukan berarti hanya dengan memberikan kepada mereka kematian dalam pertarungan, tetapi bahwa meskipun aku mengundang mereka semua sekaligus, pada dasarnya seratus pendekar itu kukalahkan satu persatu. Dengan demikian tidak kuberikan kesempatan kepada diriku sendiri untuk bersombong telah mengalahkan seratus orang sekaligus. Mereka semua belum sempat mengeroyokku, jarak antara mereka satu sama lain di bukit karang itu tidaklah begitu dekat, sehingga tidaklah bisa dikatakan aku mengalahkan seratus pendekar sendirian saja. Memang aku telah mengalahkan seratus pendekar pada malam bulan purnama di bukit karang yang terjal di tepi samudera yang gelombangnya begitu dahsyat menghantam dinding karang, tetapi aku sungguh mengalahkannya satu persatu. Tidakkah aku telah melakukan sesuatu yang baik, demi kehormatan mereka maupun kerendahan hatiku sendiri? Hehehehehe...

Kini aku tahu betapa pembenaranku saat itu hanyalah suatu cara lain untuk jumawa dan kini aku menerima akibatnya. Peristiwa yang berlangsung 50 tahun lalu itu disebut sebagai peristiwa Pembantaian Seratus Pendekar. Tidak ada seorang pun menyaksikan peristiwa itu, seratus pendekar yang datang semuanya tewas, dan hanya para pencari sarang burung yang menemukan seratus mayat di bukit karang. Bersama para nelayan, dengan susah payah, mereka menggunakan tali-tali kerekan untuk menurunkan seratus jenazah tersebut. Berita segera tersebar dengan bumbu cerita yang tidak bisa kubayangkan lagi di dunia awam. Tentu sebagian besar dari mereka tidaklah dikenal. Para pendekar adalah orang-orang yang terasing dan sengaja mengasingkan diri dari kehidupan sehari-hari dalam pencarian ilmu untuk mencapai pengetahuan sempurna. Siapa pun dia yang telah memilih dunia persilatan sebagai jalan hidupnya, tidak keberatan atas kematian dalam pertarungan yang akan dialaminya. Ternyata masih terdapat dendam membara. Bara yang panasnya masih harus kualami dalam usiaku yang uzur ini. Peristiwa yang disebut Pembantaian Seratus Pendekar itu berlangsung ketika usiaku 50 tahun, terlalu tua memang untuk masih mempunyai sikap jumawa seperti remaja; kini usiaku 100 tahun, jauh lebih tua, dan rasanya terlalu tua untuk tetap mengalami kehidupan. Namun, dengan segala hormat, aku menolak untuk terbunuh tanpa perlawanan.

Kini dalam perburuan oleh lawan-lawan yang tidak kelihatan, melalui sisa-sisa ingatan kadang terbayang kembali Pembantaian Seratus Pendekar yang telah menentukan nasibku sendiri. Keberhasilanku memenangkan pertarungan itu sebenarnya tidaklah mutlak karena ilmu silatku, melainkan karena aku telah pula menggunakan akalku. Medan pertarungan yang berupa bukit karang berbatu-batu tajam yang serba terjal itu telah menjadi sangat menyulitkan bagi siapapun untuk mengembangkan ilmunya. Setiap pendekar memang bisa merayapi dinding curam di tepi pantai dengan ilmu cicak, atau berlari miring dan melompat dari batu ke batu dengan ilmu meringankan tubuh yang jamak dimiliki para pendekar kelas atas, tetapi semua itu bukanlah kegiatan yang tidak menguras tenaga. Adapun aku sudah mempersiapkan diri sejak berminggu-minggu sebelumnya di puncak bukit karang itu, antara lain dengan melayang dari batu ke batu dengan mata tertutup. Dalam kegelapan, aku bisa menentukan letak batu dengan tepat berdasarkan suara angin yang terbelah ketika menerpanya, bahkan terus terang aku telah menundukkan seratus pendekar itu dengan mata yang juga tertutup. Dari kitab-kitab yang mengajarkan ilmu para pendekar buta, kuketahui bahwa pemandangan yang tertatap oleh mata bisa sangat mengecoh pemikiran dalam kepala: bahwa kita merasa menatap sesuatu yang benar, padahal kebenaran itu terbatas kepada sudut pandang dan kemampuan mata kita sendiri. Menutup mata dan menajamkan telinga, memberikan pengetahuan atas dunia yang sangat berbeda-dan karena aku sebenarnya tidak buta, maka gabungan pemanfaatan kedua indera itu menjadi daya ampuh tak terkira. Dalam cahaya bulan purnama yang menyapu batu-batu tajam menjadi penuh pesona, para pendekar itu setidaknya akan kehilangan seperseribu detik dari kewaspadaannya. Melompat dari batu karang tajam ke batu karang tajam lain, meski bisa dilakukan dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, masih menuntut kewaspadaan tambahan bagi yang belum terbiasa, sementara itu perjalanan mendaki bukit sebenarnyalah telah membuat tenaga mereka tinggal sisa. Orang-orang awam suka melebih-lebihkan kesaktian para pendekar, kini kusampaikan kenyataannya. Satu lagi kecerobohan para pendekar itu, ialah memaksakan diri membawa bermacam?macam senjata. Senjata mereka yang terkadang asal aneh telah menyulitkan diri mereka sendiri, belum lagi yang terkadang begitu berat bobotnya sehingga untuk membawanya saja sudah lebih dari cukup untuk menguras tenaga. Dengan keadaan semacam itu aku yang sudah melatih diriku bergerak dengan mata terpejam berminggu-minggu sangatlah mungkin menembus pertahanan mereka. Tidaklah kuingkari bahwa di antara para pendekar ini ada juga yang cukup licik dan jika tidak mengirim mata-mata, maka mereka datang sendiri jauh hari sebelumnya untuk memeriksa keadaan. Tentu saja itu semua tidak lepas dari pengamatanku, dan tentunya juga tidak terlalu mengherankan betapa siapa pun yang menginjak bukit batu karang berbatu tajam ini sebelum bulan purnama tiba kukirim kembali ke perguruannya sebagai mayat bergulung tikar dalam gerobak. Ilmuku disebut Jurus Tanpa Bentuk, kuciptakan sendiri setelah mempelajari segala macam bentuk ilmu persilatan dari para mahaguru utama. Intinya jurus -jurus itu melepaskan dan menjauhkan diri dari seluruh bangunan ilmu persilatan yang telah terbentuk dalam sejarah. Jurus -jurus itu tak berbentuk, tak dikenal, dan sulit ditanggapi dengan jurus-jurus ilmu persilatan yang telah dikenal. Kadang seperti menari, kadang seperti mematung, tetapi lebih sering tidak kelihatan, karena yang dikacaunya adalah pemikiran. Jurus seperti ini memang harus diciptakan sendiri, karena jika diterima dari seorang guru atau diturunkan kepada seorang murid, akan menjadikannya sebuah bentuk. Jurus Tanpa Bentuk juga sebetulnya bukanlah nama pemberianku, karena dari sifatnya yang tanpa bentuk seharusnya tidak bisa diberi nama, tetapi nama itu datang begitu saja entah dari mana di sungai telaga dunia persilatan. Mungkin berdasarkan cerita para pendekar yang telah kukalahkan dan cukup beruntung masih menggenggam nyawanya di dalam badan. Demikianlah dalam deru angin kencang dan debur ombak mengempas dinding tebing karang kuhabisi lawanku satu persatu. Aku menyatukan diriku dengan angin, menyembunyikan diri dalam bayang-bayang, dan berkelebat cepat tiada terlihat untuk menotok jalan darah mereka di tempat yang mematikan. Namun ini hanya kulakukan kepada para pendekar golongan putih. Orang-orang golongan hitam, kukira istilah pendekar tidak layak bagi mereka- kuselesaikan riwayatnya dengan senjata mereka sendiri, karena kutahu dengan senjata itulah mereka telah membawa penderitaan dalam kehidupan. Biarlah mereka rasakan bagaimana senjata-senjata itu menyakiti tubuh manusia dan itu berarti aku harus memberi mereka kesempatan untuk mengeluarkan dan menggunakan senjatanya. Mereka akan segera menyerangku begitu aku menampakkan diri, dan dengan mata terpejam aku cukup menggeser tubuh, melambaikan tangan, atau mengibaskan rambut panjangku untuk mengembalikan senjata-senjata itu ke tubuh pemiliknya. Maka Bumerang Sakti pun tewas oleh senjatanya sendiri setelah siulanku menambah kecepatan putar balik senjata yang tidak bisa ditangkapnya lagi; Naga Sembilan mati tersedak oleh semburan uap beracunnya sendiri setelah angin yang kudorong membuat uap itu tidak keluar bahkan terhisap ke dalam paru-parunya; Golok Kembar kepalanya terpenggal oleh sepasang pedang yang berputar kembali ke lehernya setelah aku berkelebat ke balik punggungnya dan menotok urat saraf tertentu dari belakang; dan kedua lengan Si Tangan Besi kupatahkan tanpa membunuhnya untuk memberi hukuman atas kekejamannya selama ini - tetapi ia ternyata justru menjadi tewas karena daya hidupnya memang berada di lengannya itu. Aku telah mematungkan diri agar dipukul dengan jurus andalannya yang mematikan. Dengan totokan di berbagai urat tertentu pula kebanyakan dari mereka kubiarkan menjadi pekak telinganya oleh suara angin dan ombak, yang dalam telinga mereka menjadi sejuta kali lebih keras sehingga merusak saraf dalam otaknya. Diriku terkadang tampak begitu lemah dan begitu mudah diserang, tetapi yang dengan begitu telah mengurangi kewaspadaan sehingga aku bahkan bisa membunuhnya hanya dengan cara meludah ke tanah. Hampir semua hal bisa menjadi senjataku, kerikil, daun, angin, suara-suara sekitar, bahkan juga makhluk-makhluk di sekitarku. Pernah kumanfaatkan laron-laron yang beterbangan untuk membingungkan lawanku, sehingga aku bisa menyelesaikan pertarungan cukup dengan meniup titik-titik gerimis. Sudah kukatakan tadi Jurus Tanpa Bentuk menyerang pemikiran dan bukan badan, dan kehancuran pikiran membuat badan sangat mudah dilumpuhkan. Kusadari aku telah berlaku sebagai Tuhan yang menghakimi dengan kekuasaan tak terlawan, suatu kegiatan yang sungguh mati tidak menjadi tujuanku. Namun orang-orang golongan hitam yang sakti ini tidak mungkin diserahkan begitu saja kepada pengadilan negara, karena dalam kenyataannya mereka terlalu mudah meloloskan diri. Apalah artinya borgol dan terali besi bagi mereka yang menguasai tenaga dalam bukan? Mereka sangat sulit tertangkap dan jika pun karena kelengahannya sendiri akhirnya tertangkap, sangat mudah meloloskan dari dengan segala cara. Jika mereka berhasil menjebol langit-langit, naik ke atas genting, melompat ringan dan melayang dari atap ke atap, siapakah kiranya orang awam yang bisa mengejarnya? Bahkan para pendekar golongan putih pun terlalu sering bisa diunggulinya. Namun dalam Pembantaian Seratus Pendekar, bukan hanya orang-orang golongan hitam, juga para pendekar golongan putih dan golongan merdeka, yang sebetulnya sangat dibutuhkan untuk membasmi kejahatan, tewas sebagai korban kejumawaanku seorang. Keangkuhanku telah mengganggu keseimbangan peradaban. Aku merasa bersalah. Aku mengundurkan diri dari dunia persilatan, tetapi para pembalas dendam memburuku sampai ke dalam mimpi.

Dalam usia 100 tahun, aku bukanlah pendekar yang dulu lagi. Aku sudah menjadi uzur dan pelupa, bahkan aku ragu apakah semua yang kuceritakan tadi memang sesuai dengan kenyataannya. Lima puluh tahun sudah aku menghilang dari dunia persilatan. Mula-mula aku melenyapkan diri dalam kehidupan sehari-hari dengan menjalani berbagai macam pekerjaan awam, tetapi bahkan sebagai pengemis hina kelana keberadaanku ternyata tidak mudah disembunyikan. Aku telah menjadi tukang roti, pembuat tahu, pemancing ikan, pendorong gerobak, tukang kayu, pengamen, guru sekolah dasar, tabib, kuli pelabuhan, pedagang kelontong, tukang rakit, penyalin kitab, pemilik kedai, penari topeng, petugas perpustakaan, juru cerita, jagal, petani, penjual bunga, sipir penjara, dalang teater boneka, dan segala macam bentuk pekerjaan yang membuatku mengira akan bisa melenyapkan diri dari dunia persilatan. Namun selalu ada saja yang mengenali siapakah diriku itu, berusaha membunuhku sehingga aku terpaksa membunuhnya. Maka aku pun menghilang dari kehidupan ramai, menjauhkan diri dari masyarakat banyak, menghindari pertemuan dengan manusia. Dua puluh lima tahun sudah aku bagaikan hanya hidup dengan diriku sendiri di sebuah lorong gua yang gelap dalam rimba raya pekat yang belum pernah dirambah. Namun dalam samadiku yang telah berlangsung empat puluh hari empat puluh malam kudengar dengan jelas langkah-langkah halus yang mengendap-endap mendekatiku. Kuhitung jumlah mereka, lebih dari dua puluh orang. Luar biasa. Setelah dua puluh lima tahun, bagaimana caranya siapa pun dia menemukan diriku? Namun, meski sudah berusia 100 tahun, uzur, dan lemah tanpa daya, aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun dia membunuhku dengan mudah. Hmm. Kukira ini memang regu pembunuh yang luar biasa. Mereka melangkah bukan hanya di atas bumi. Sebagian melangkah miring di dinding, dan sebagian lagi bahkan melangkah terbalik dengan kaki menapak langit-langit gua. Aku melakukan samadi di bagian gua yang terluas tetapi juga yang paling gelap dan paling lembab, tempat ribuan kelelawar bergantung di atasnya dan membuat ruang berbau pesing luar biasa. Meskipun memejamkan mata, aku tahu mereka menggunakan penutup wajah yang juga menutup hidungnya berdasarkan napas mereka yang tertahan. Aku pikir mereka dikirimkan dengan penuh perhitungan. Siapa pun yang mengirim mereka tentunya sudah mempertimbangkan kemampuanku, mencari kelemahanku, dan memperhitungkan segalanya agar bisa melumpuhkan aku. Hmm... Betapapun aku sudah uzur dan tua, aku tetap saja manusia yang dibesarkan dalam dunia persilatan, semenjak kusaksikan ayah dan ibuku pergi meninggalkan rumah dengan menyoren pedang di punggungnya untuk memenuhi sebuah tantangan, dan tidak pernah kembali. Kudengar suara pedang tercabut dari sarungnya.