Perlahan Niin mulai membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit putih disertai sebuah lentera di tengahnya.
Mendapati dirinya di tempat yang sangat asing ia segera bangun, kepalanya terasa agak berat. Ia melihat sekeliling. Sebuah ruangan bernuangsa abu-abu yang hanya diisi oleh sepasang meja dan kursi, sebuah lemari juga tempat tidur sederhana yang ia tempati sekarang. Ia berpikir di mana ia sekarang dan Naara? Ia terbayang dengan Naara yang berubah jadi setengah monster namun tak lama suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya.
"Jadi kau sudah bangun."
Refleks ia segera turun dari tempat tidur dan memasang gestur waspada. Ia melihat pintu terbuka tapi tidak melihat siapapun.
"Di bawah sini."
Ia menurunkan pandangannya mengikuti instruksi suara itu dan terkejut melihat kambing kecil aneh berdiri di ambang pintu.
"Tidak usah tegang begitu, di sini kau aman."
Makhluk itu berjalan masuk lantas melompat naik ke atas kursi yang berada di dekat jendela. Niin yang tidak tahu makhluk apa yang sedang di hadapinya melangkah mundur dengan waspada.
Melihat tingkah laku Niin, makhluk itu mengembuskan napas lelah lalu menggeser gorden dan membuat cahaya matahari menerangi ruangan. Niin hanya melirik sedetik suasana pagi di luar.
"Namaku Binggo dan aku adalah pengikut setia Tuan Naara."
Mendengar itu, sesaat Niin merasa terkejut lalu kembali waspada. Makhluk di hadapannya itu terlalu aneh dan patut dicurigai.
Binggo mendengus kesal dan terdengar menggumamkan nasehat untuk dirinya sendiri agar lebih sabar dan tidak terpancing emosi dengan tingkah Niin yang over waspada terhadapnya.
**
Di tempat lain, Levi terlihat juga baru sadar dari pingsannya dan merasa bingung dengan keberadaannya sekarang. Dia berada di sebuah ruangan sederhana bernuangsa putih.
"Apa tidurmu nyenyak?"
Suara berat itu membuatnya melompat dari tempat tidur dan memasang posisi waspada siap untuk bertarung. Ia terkejut merasa tak percaya melihat seorang pria yang ia kenal duduk di dekat jendela sambil merokok. "Kau, mau apa dariku?" tanyanya dingin.
"Astaga, kenapa anak muda zaman sekarang semakin tidak tahu sopan santun saat bicara dengan orang yang lebih tua." Pria itu meletakkan rokoknya di asbak, berdiri dan berjalan mendekat, membuat sosoknya terlihat lebih jelas.
Dia pria paruh baya yang memiliki rambut putih lebat menjuntai hingga mata kaki. Sebenarnya dia memiliki wajah yang berwibawah namun jubah merah muda berenda yang ia kenakan membuat nilai tersebut anjlok hingga ke dasar.
Meskipun begitu kenyataan bahwa dia bukan orang sembarangan tidak berubah. Dia adalah Ryukai, pemimpin Organisasi Garuda Merah (OGM) sekaligus buronan nomor satu yang paling dicari oleh anoa. Selain itu dia juga adalah mantan jenderal dunia.
"Aku ingin kau bergabung dengan Garuda Merah," ucapnya.
"Kalau aku tidak mau." Levi menegakkan dirinya.
"Artinya kau bodoh."
"..."
"Dari yang aku tahu, para ACE yang gagal melaksanakan tugas akan dibunuh sebagai konsekuensi yang harus diterima. Kalau kau keluar dari sini maka Aceblack, Acered atau Acewhite akan membunuhmu tapi kalau kau bergabung dengan OGM keselamatanmu akan terjamin."
"Lalu gantinya? Aku yakin kau mengajakku bergabung bukan karena kau ingin menolongku," tukas Levi seolah tahu persis karakter pria di depannya.
Menanggapi itu, Ryukai tersenyum miring lantas berkata, "Yah, kau berikan semua informasi yang kau tahu tentang Jenderal Thougha."
"Huh. Sudah kuduga."
"Baiklah, jadi bagaimana, kau mau bergabung?"
Levi tidak menjawab, ia nampak menimbang-nimbang.
"Baiklah kalau kau masih ingin pikir-pikir dulu, temui aku saat kau sudah memiliki keptusan," ucap Ryukai lalu berjalan meninggalkan ruangan.
Levi terus melihatnya hingga sosoknya menghilang ketika berbelok sesaat setelah melewati pintu.
Ryukai berjalan menyusuri koridor sambil berpikir tentang Jenderal Thougha, informasi yang dikumpulkan GM masih belum memiliki kesimpulan, ia merasa ada hal besar yang direncanakan orang itu, tapi apa. Ia berharap saat mereka mengetahuinya mereka masih punya cukup waktu.
"Pimpinan." Suara seseorang mengalihkan pikirannya.
"Yyug." Beberapa langkah di depannya berdiri seorang pria berkacamata. "Di mana Jeki?" tanyanya setelah jarak mereka cukup dekat.
Yyug melirik ke dalam ruangan sebelah kanannya, di mana seorang pria ber-mini hat sedang berdiri di depan cermin. Ia terlihat memegang setangkai bunga matahari. "Bunga matahari ini untukmu karena hari ini kau secantik dan seindah Bunga Matahari. Anjaaay." Pria itu berlagak seolah ia sedang berhadapan dengan seorang gadis. Bahkan sekarang ia terdengar memuji dirinya sendiri yang ia anggap begitu tampan. Di detik berikutnya ia terdengar bertanya pada cermin tentang siapa pria tertampan di dunia lalu ia dengan suara yang berbeda menjawab bahwa dialah yang paling tampan.
Jika menurutmu definisi gila adalah berbicara dan bersoal jawab pada diri sendiri, maka kau bisa menganggapnya gila.
Melihat itu, Ryukai dan Yyug kompak mengembuskan napas berat.
*
Di tempat sebelumnya, walau sempat kesulitan, Binggo akhirnya berhasil membuat Niin lebih jinak. Setelah berkenalan dan sedikit berbagi cerita kini ia membimbing Niin menuju tempat Naara berada.
Di sepanjang langkah menyusuri koridor, Niin tidak sedikitpun melepaskan pandangan dari Binggo yang berjalan di depannya. Ia tidak menyangka kalau makhluk kecil itu sudah mengikuti Naara selama dua belas tahun dan terpisah sejak dua bulan lalu saat mereka dikepung oleh anoa.
Dari Binggo, ia mendapat sedikit informasi tentang Naara. Ia terbayang kembali saat Binggo bercerita kepadanya beberapa waktu lalu, khususnya di saat Binggo memberitahu bahwa Naara memiliki kisah yang rumit dengan gurunya di masa lalu.
"Kita sudah sampai."
Suara itu membuat pikirannya teralih. Ia dan Binggo telah tiba di depan sebuah pintu berwarna coklat. Ia memutar knop pintu dan membukanya secara perlahan, seketika itu kedua matanya terbelalak melihat seorang wanita berambut merah muda hendak menyuntik Naara yang sedang tidak sadarkan diri di ranjang.
Melihat jarum tersebut ia tiba-tiba teringat pada dirinya di masa lalu yang berada di dalam tabung bersama dengan selang dan rangkaian jarum yang ditanam di hampir seluruh tubuhnya. Itu memberikan trauma mendalam pada psikisnya.
"Hentikan!" Refleks ia berlari menarik dan mendorong kasar wanita bersurai merah muda hingga nyaris terjatuh, beruntung wanita berambut pirang dengan sigap menangkapnya.
"Kau tidak apa-apa, Naena?"
"Um. Terima kasih."
Kali ini si rambut pirang menatap sangat tajam pada Niin. "Kau!" Ia mencoba mendekat tapi Niin segera membalikkan meja di dekatnya hingga membuat keributan. Itu cukup menyulut emosi si pirang. Ia dan Niin saling menatap sengit. Rasanya Ia sangat ingin memukul surai kuning itu tapi Naena menahan lengannya dan memberi tatapan isyarat agar tetap tenang.
Dari ambang pintu, Binggo mencoba menasehati Niin untuk tetap tenang tapi gadis itu tidak mendengarkannya sama sekali.
Entah seberapa parah masa lalu yang dimiliki Niin sehingga dia akan mulai sangat ketakutan dan over waspada jika melihat, mendengar atau bertemu dengan hal-hal yang berkaitan dengan penyiksaan yang pernah ia alami dulu.
"De-dengar." Naena mencoba mendekati Niin perlahan-lahan namun Niin yang terlalu tegang mencoba mundur menjauh.
"De-dengar, kami tidak bermaksud menyakitimu. Kami hanya ingin membantu,' ucap Naena berusaha membuat Niin mengerti tapi ekspresi wajah Niin justru memucat. Bukan karena Naena tapi karena jarum suntik yang ada di tangannya dan tidak butuh waktu lama bagi Naena menyadari hal tersebut.
"Wah, heboh sekali." Suara seseorang membuat ketiga gadis itu kompak melihat ke arah pintu dan menemukan seorang pria berambut dark silver tengah berdiri di sana.
"Dia ...." Niin teringat dengan sebuah poster buronan dimana wajah yang sama dengan wajah yang ia lihat sekarang terpampang di sana. Pria itu adalaha Reen GM, buronan nomor dua yang paling dicari oleh anoa.
Ini gawat!
"Reen, untung kau datang. Mereka ...." Binggo menceritakan semua yang baru terjadi di ruangan itu.
"Begitu yah." Reen berjalan masuk. Saat bertatap muka dengan Niin, ia terdiam sejenak lalu tiba-tiba tersenyum dan itu membuat Niin sedikit terkejut.
Perasaan takut bercampur bingung masih meliputi Niin saat ini. Dengan waspada ia memperhatikan Reen yang sedang mengangkat dan mengembalikan posisi meja di depannya lalu memungut benda-benda yang sempat terjatuh.
"Kami Garuda Merah, kami bukan bagian dari mereka," ucap Reen sesaat setelah menata barang-barang di meja.
Mendengar itu raut wajah Niin sedikit mengendor, tapi ia belum bisa sepenuhnya lega karena ia masih belum tahu tujuan mereka. "Apa yang kalian inginkan dari kami?" tanyanya.
"Pimpinan ingin kalian bergabung bersama kami dan kami akan sangat senang jika kalian bersedia." Reen tersenyum hangat.
Niin mengernyitkan alisnya.
"Aku tahu saat ini kau punya banyak pertanyaan tapi semua itu akan dijawab oleh pimpinan. Untuk saat ini aku ingin kau tahu kalau kami tidak bermaksud jahat."
"Kenapa aku harus percaya?" tanya Niin masih curiga.
Sesaat setelah pertanyaan itu terlontar, suara hembusan napas kasar seseorang terdengar. Itu dari si rambut pirang yang saat ini sedang menyandarkan tubuhnya di dinding sambil bersedekap. "Harusnya kita tidak perlu membawa mereka, akan lebih bagus jika kita biarkan anoa menemukan mereka," sinisnya lantas berjalan keluar.
"Hey, Nacima, kau mau ke mana?" tanya Reen.
"Keluar," jawab gadis itu tanpa berbalik.
Setelah Nacima pergi, Reen nampak tertawa kecut lalu ia pun meminta maaf kepada Niin atas sikap Nacima. Ia menjelaskan bahwa meskipun agak kasar tapi Nacima sebenarnya orang yang baik.
Sambil mendengarkan Reen, Niin memikirkan kata-kata Nacima yang ada benarnya. Jika mereka tidak dibawa oleh Garuda Merah mungkin anoa sudah menangkap mereka. Apa ia harus percaya? Ia ingin percaya tapi ... sedetik ia melirik ke arah jarum yang masih dipegang Naena dan hal tersebut disadari oleh Reen.
"Aku mengerti," ucap Reen sesaat kemudian membuat Niin bingung.
Reen menarik lengan jubahnya lalu meminta Naena menyuntiknya. Meski sempat terdiam, Naena akhirnya melakukan apa yang diminta. Naena mengerti jika Reen sedang berusaha membuat Niin percaya pada mereka.
Niin berkeringat dingin dan sangat tegang melihat proses saat jarum disuntikkan namun sesaat kemudian ketegangan itu terganti oleh ekspresi kaget bercampur bingung saat Reen tiba-tiba tersenyum sangat lebar kepadanya.
Dalam benaknya Niin bertanya-tanya kenapa Reen sama sekali tidak terlihat kesakitan sama seperti yang ia rasakan dulu. Ia terus bertanya-tanya sambil membayangkan kembali dirinya di dalam tabung, ia mengingat dengan baik setiap sakit yang ia rasakan ketika semua jarum itu disuntikkan.
"Hey, apa kau masih belum yakin? Meskipun aku belum lama bergabung di GM tapi aku bisa menjamin kalau mereka tidak akan mencelakakanmu dan Tuan Naara," ucap Binggo berdiri di dekat kaki Reen.
Beberapa detik Niin menatap Binggo, Reen dan Naena bergantian. Setelah merasa mereka bisa dipercaya, ia mulai menurunkan kewaspadaannya dan mencoba untuk lebih rileks.
*
Beberapa saat telah berlalu setelah Niin berhasil dibujuk. Kini ia ada di dalam kamar yang ia tempati sewaktu sadar. Ia telah membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya dengan gaun putih beraksen hijau di kerah dan tepinya yang diberikan Naena kepadanya.
Kedua matanya memerhatikan Naena yang nampak sedang merapikan isi lemari. Sejauh ini ia melihat Naena sebagai perempuan anggun, selain cantik ia juga memiliki banyak kelembutan di dalam dirinya, sebuah figur yang didambakan oleh banyak lelaki.