webnovel

MY WIFE

Zein adalah pria yang aku kenal dengan kepribadian yang memang dingin dihadapan banyak orang. Namun aku mengenal Zein dengan hati, ternyata lambat laun Zein bukanlah sedingin itu. Namun Zein justru sebaliknya sangat ramah dan penuh kasih sayang. Kehidupan yang gersang semenjak tragedi kecelakaan yang menewaskan Ayah dan Ibuku itu terlipur dengan besarnya cinta Zein. Namun badai tiba-tiba menghempas harapanku, yang membuat aku dan Zein harus berpisah sementara waktu bahkan kami akan saling menjauh karena restu yang tidak kami dapat. "Zein, kasihlah aku kesempatan untuk kembali mencintaimu ...."

sholiaayumathluby · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
4 Chs

Kata Yang Menyayat

"Entahlah, Paman."

Singkat jawabku, lalu kembali diam.

Malam ini kenapa bisa seperti habis hujan salju ya?

Rasanya dingin sekali, nanti aku memakai baju apa ketika diajak Paman Riko untuk makan malam dengan bosnya paman?

Apa aku pakai baju tebal yang dari rajutan apa bagaimana ya? Nanti soal hijab. Aku akan pakai dengan yang segi empat saja. Biar lebih terlihat rapi. Soal riasan wajah. Mungkin nanti bisa dipikirlan lagi.

"Paman ... Finai mau ke dapur!"

Aku menunjuk arah lorong yang di mana berakhir ke dapur. Habisnya kalau paman sudah mengangguk terus disusul diam saja. Bertanda Paman sudah kehabisan bahan pembicaraan.

Lagian, Paman akan haus kalau belum juga aku buatkan Teh Hangat.

"Iya, nanti suruh ngantar Kakak Perempuan Miftah saja teh hangatnya. Kamu mandi saja ...."

Aku mengangguk kemudian berlalu.

***

"Pamanmu sudah pulang?"

Bibi Malaikat itu lama banget yang namanya mandi di kamar mandi. Entah habis mainan sabun apa saja di dalam sana. Yang ada harum parfumnya semerbak. Sampai satu dapur yang asalnya bau masakan seperti baunya terusir dengan bau wangi mawar dati Bibi Malaikat.

"Iya, Bibi. Paman sudah pulang."

Jawabku lirih, sambil menghadap diri di depan Bibi yang masih memakai handuk dari atas dada sampai lutut saja.

Memang tidak ada pengaruhnya juga. Di sini rumahnya hanya ditempai oleh empat orang saja. Yaitu aku, Bibi Malaikat, Paman Riko, Kaka Perempuan Miftah. Hanya itu saja. Jadi Bibi tidak malu kalau hanya mengenakan handuk saja.

Lagian Paman Riko bukannya suka kalau melihat Bibi Malaikat memakai handuk saja? Ups,

"Kamu buatkan Teh hangat atau kopi panas itu?"

Aku melihat ke wadah air panas yang masih berada di atas kompor. Karena sedari tadi, Bibi memperhatikan itu terus.

"Teh hangat, Bibi ...."

"Ya sudah. Kalau sudah buatkan teh. Kamu lanjutkan itu acara masakmu. Baru kamu bisa sholat!"

Aku mengangguk.

Lalu aku ingat, kalau Paman menyuruhku bersiap untuk makan malam dengan Bosnya.

"Bibi ... aku tidak akan melanjutkan masak untuk malam ini. Nanti potongan sayurnya aku masukkan ke lemari es saja. Biar besok bisa dibuat untuk masak."

Dalam batin aku menghitung angka yang seperti menari-nari dipikiranku. Aku yakin, Bibi pasti mau meledakkan jurus emosinya. Karena aku kali ini bilang malam ini aku tidak akan melanjutkan acara memasakku.

"Maksud kamu bagaimana tidak mau memasak? Bibimu begitu yang masak? Terus kamu enakan di kasur sama alasan sholat kamu yang belum kamu kerjakan itu?"

Sudah, benar bukan? Itu jurus emosi Bibi Malaikat.

Seharusnya kalau yang namanya Malaikat, yang ada di pikiranku itu, adalah sifat yang rendah hati dan bisa mengomtrol diri agar bersifat lembut. Tetapi ini perasaan kalau Bibi Malaikat ini, kebalikan seratus persen.

"Bibi ... maksud aku bukan begitu Bibi ... malam ini paman mau mengajak kita semua untuk makan malam. Jadi Paman menyuruh aku untuk tidak melanjutkan masak. Soalnya nanti tidak akan ada yang di rumah. Aku juga disuruh ikut untuk malam ini, soalnya ...."

"Apa? Paman kamu mengajak kamu makan malam?"

Bibi Malaikat ini, kalau matanya melotot begitu aku takut. Seperti mau menyiramku dengan air panas. Aku tahu, Bibi Malaikat pasti kaget. Karena ini pertama kalinya Paman Riko mengajakku. Apalagi ini, makan malam yang dengan bosnya.

"Iya Bibi, nanti juga makan malamnya ada bosnya Paman ...."

Bibi tidak tahu juga kena petir atau apa? Tiba-tiba wajahnya seperti orang yang mau marah-marah.

Apakah Bibi Malaikat akan memarahi Paman Riko? Wah, jadi apa malam ini?

Kalau marah. Memang apa tujuannya? Atau, apakah Bibi tidak terima kalau Paman Riko memgajakku untuk malam ini?

"Kamu mau ngajak Finai juga? Bukannya sudah ada Miftah yang bisa di ajak? Itu anak kenapa kamu ajak?"

Aku mendengar samar suara keras Bibi yang dari kamar. Apa Paman Riko tadi masuk kamar?

"Dengar, Finai tidak pernah kita ajak. Apa salahnya kalau malam ini kita akan mengajak Finai. Kasihan, bukan? Kalau Finai sendirian di rumah terus ...."

Aku mendekat ke depan pintu kamar Paman Riko dan Bibi Malaikat yang tertutup.

Agak samar, namun masih jelas meski hujan.

"Tapi, tahu sendiri kamu ... kalau Finai itu bajunya tidak ada yang bagus seperti kita. Dia itu pakai hijab terus. Lihat saja dia. Nanti kalau kita mengajak Finai. Malu dong, karena dianya sendiri yang memakai hijab."

Apakah aku salah memakai hijab? Aku bekerja memakai hijab, tidak ada yang memarahiku. Kenapa aku dianggap pembawa malu memakai hijab?

Aku mencoba menyimak lagi, aku tidak tahu apa kata paman. Namun yang ada dalam benakku. Aku takut juga, Paman Riko nanti ikut terpengaruh.

Aku tahu, Paman Riko itu masih memiliki rasa sayang kepadaku dan menganggap aku juga sama seperti kakak perempuanku Miftah. Namun bagaimana? Bibi terkadang yang membuatnya terpengaruh. Atau kalau tidak begitu bibi selalu memberikan bumbu pada setiap ceritanya yang membuat aku harus dimarahin Paman Riko.

Aku tidak bisa juga membantah Paman Riko yang memarahiku karena cerita dari Bibi. Bahkan aku juga tidak akan pernah bisa untuk menghindari hal itu.

"Lalu apa masalahnya, Finai buat kamu?"

Aku terceguk diam. Ingin mengetahui apa alasan Bibi Malaikat, bersiap-siap dengan semakin mendekatkan telinga ke daun pintu. Ya Tuhan, aku dosa kalau begini? Tapi bagaimana lagi. Tidak ada cara lain.

"Ya masalah ... intinya aku tidak mau, kalau malam ini Finai ikut untuk makan malam sama Bos kamu!"

Aku beranjak.

Memasukkan potongan sayuran tadi ke kulkas. Lalu membersihkan sisa-sisa potongan sayuran yang jatuh di atas nampan dan sempat tercecer di lantai.

Hatiku berasa kesal. Ingin membanting pisau, wadah dan apapun yang aku lihat. Bahkan rasanya aku ingin membanting pisau yang sempat aku taruh di meja tadi.

Kenapa aku bisa semarah ini? Bukankah aku tidak punya hak juga dengan urusan ini. Mereka, Paman Riko, Bibi Malakat dan kakak perempuanku Miftah. Bukanlah keluargaku asli.

Paman Riko sajalah yang keluargaku, namun itupun karena Bibi juga kadang terpengaruh. Jadi, aku seperti bukanlah siapa-siapa di sini.

"Zein, cepat bawa aku bersamamu ...."

Hatiku mengeluh. Ingin pergi dari dapur dan langsung melesat ke rumahnya Zein. Agar aku bisa diberikan cinta dan ketulusan. Aku ingin dengan Zein.

"Kamu masih di situ? Kamu cepat ganti baju kurang berapa jam lagi ini. Tidak sampai satu jam kota semua harus berangkat."

Aku mendengar suara Paman Riko, dari dekat tiang tengah.

Aku menoleh dan hanya mengangguk iya untuk perintahnya tadi.

Setelah aku rasa paman tidak lagi melihatku, aku menuju ke rak piring untuk meletakkan pisau.

"Sayang, kamu di mana?"

Suara Zein yang aku rindukan telah aku dengar kembali. Panjang umur kamu Zein. Aku begitu merindukanmu sayang. Ingin selalu dengan kamu.

"Lagi di dapur cintaku, habis ini ke kamar. Kalau kamu?"

Aku melangkah perlahan, menaiki anak tangga yang menuju ke kamarku.

"Lagi ada di kasur, tapi kurang asik kalau tidak ada kamu."

Aku tersenyum malu. Aku fahan, Zein mau membahas apa. Sebentar ya Sayang, hanya kurang beberapa bulan untuk aku menjadi milikmu seutuhnya.

"Sayang ...."

Aku bernada manja.

Ya tuhanku, suara Zein membuat aku seperti orang yang gila.

"Apa Sayang ...."

Aku diam, membeku. Aku bingung mau menjawab apa. Sampai langkahku yang kurang satu anak tangga menjadi berhenti.

"Cinta ... malam ini aku mau makan malam sama Paman Riko dan Bibi Malaikat."

Aku mencoba membahas apa yang akan aku lalui pada malam ini. Setidaknya, hanya ini yang membuat hatiku lega.

"Iya tidak apa, tumben Sayang ...."

Aku melangkah lagi lalu membuka pintu kamarku perlahan.

"Aku tidak tahu Zein, jadi apa tidak."

Aku memutus pembicaraan, dengan nada sedikit sedih.

"Kenapa Sayang?"

Aku menggeleng sambil melangkah menuju ranjang yang berjarak sekitar enam langkah lagi.

"Bibi Malaikat, Cintaku."

"Iya, kenapa?"

Zein seperti terdengar cemas. Apalagi, bicaraku sambil merintih.

Aku tahu, aku sudah dewasa, tidak boleh suka sensitif. Aku harus menghilangkan sikapku yang mudah menangis. Namun, kenapa sampai sekarang aku belum bisa.

"Paman Riko yang tadi mengajakku, namun ketika Bibi tahu kalau aku juga akan ikut. Bibi marah-marah sepertinya. Katanya kalau aku ikut, membuat malu Bibi sama Paman. Apalagi Bibi sempat bilang, soal aku yang memakai hijab. Sayang, apa aku tidak boleh berhijab? Memangnya aku salah, Cintaku?"

Aku menangis. Aku yakin, tanpa sengaja isak tangisku di dengar Zein.

Maafin aku Zein, aku tidak berniat buat kamu cemas. Tetapi aku hanya punya dirimu yang bisa aku buat mencurahkan isi hatiku.

"Iya, yang sabar. Mungkin Bibi memandang kamu berbeda dari anaknya saja. Untuk itu, Bibi mengatakan itu. Lagian tidak ada salahnya kalau kamu berhijab. Aku bertambah cinta sama kamu. Karena kamu mau menutup aurat. Aku sudah bilang bukan? Jadilah diri kamu sendiri, jangan terus bersedih. Lagian, Paman sama Bibimu tidak selamanya akan kamu ikuti. Nanti kamu juga akan aku nikahi, jadi tetap saja jadi diri sendiri. Jangan sedih lagi, ya ...."

Aku mengusap air mataku.

"Cup-cup ...."

Suara Zein, aku dengar kembali.

Aku tersenyum sejenak.

"Iya, Cintaku. Terima kasih ...."

"Iya, baik-baik ya di sana. Jangan suka menangis. Manisnya hilang nanti ...."

"Iya manisku ...."

Aku tersenyum.

"Ya sudah, habis ini bukan berangkatnya? Kamu cepat siap-siap."

"Tapi, kalau tidak jadi bagaimana ya Sayang ...."

"Tidak apa, setidaknya sudah berusaha."

Telpon terputus.

Aku merebahkan diriku sejenak di atas kasur, kemudian memandangi atap rumahku yang terlapis internit dengan warna putih.

Aku seperti melihat wajah Zein di sana. Ah, itu adalah bayangan wajahnya yang terlihat di mana-mana. Aku akan gila, kalau aku memikirkan Zein terus. Tetapi aku sudah gila.

Zein, kalau kamu tidak ada. Mungkin aku tidak akan sekuat sekarang ini. Karena aku hanya memiliki kamu. Kalaupun aku mendapat perhatian dari paman. Namun itu harus sirna kembali ketika ada Bibi Malaikat dengan Kakak Perempuanku Miftah.

Aku sedih Zein, mengapa aku tidak segera bersatu denganmu. Mengapa kembaranku meninggal dunia. Aku merasa menjadi orang yang sendiri Zein.

"Finai ... buka pintunya!"

Paman Riko? Kenapa mau datangin kamarku?