Setelah kejadian ulang tahun Todi, Laras semakin sering berada diluar rumah. Dia hanya pulang setelah makan siang, saat akhir pekan, Laras lebih senang pulang ke rumah ayahnya. Dia sering berbohong kepada ayah, mengatakan kalau Todi sedang operasi mendadak dan dia bosan di rumah sendirian, untungnya Ayah dan Luna selalu percaya.
Hari-hari lainnya, bila tidak sedang bertugas jaga malam, Laras sering menghabiskan waktunya di sebuah kafe "C'est la Vie", letaknya tidak terlalu jauh dari rumah sakit dan rumahnya dengan Todi. Kafe ini tidak terlalu ramai, yang paling menyenangkan, kafe ini menyediakan beberapa ruangan yang bisa disewa, kebanyakkan untuk belajar. Ruangan itu berisi sebuah sofa nyaman dan meja untuk makan, bahkan ada juga yang menawarkan fasilitas bila ingin menonton film bersama teman-teman. Sewanya tidak terlalu mahal. Tapi tetap saja Laras menghabiskan sebagian besar uang bulanannya untuk itu. Lama-lama dia merasa cukup boros bila terus menerus melakukan itu. Jadi Laras memutuskan untuk mencari kamar kos disekitar rumah sakit.
"Mel, kosan lu ada yang kosong ga?" tanya Laras. Imelda berasal dari luar Bandung, dia tinggal di kos-kosan dekat rumah sakit. Menurut Laras tempat kosnya cukup nyaman.
"Lu mau ngekos?" tanya Imelda bingung.
"Iya, capek nyetir," Laras berbohong.
"Bukannya ada supir kak Todi Ras?" tanya Imelda lagi.
"Iya, tapi kasihan kak Todi, dia kan lebih sibuk, jadi pak Yadi sering sama kak Todi," jelas Laras, kembali berbohong.
"Cieee...yang perhatian sama suami," goda Imel sambil mencubit pipi Laras. Mereka lalu tertawa.
"Nanti gue tanya ya, ga hapal Ras," sambung Imel.
"He eh ..tapi jangan yang mahal ya Mel," balas Laras.
Dua hari berselang, Laras mendapatkan sebuah kamar kos, disebelah kos-kosan Imel. Hanya saja penghuni sebelumnya belum mengembalikan kunci kamar, sehingga sore ini Laras kembali mendatangi kafe kesayangannya itu. Hari ini Laras mencoba untuk belajar, dua minggu lagi dia ujian, malas sekali kalau harus mengulang stase sibuk ini. Di rumah Laras tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Pikirannya selalu kembali pada Todi. Setelah membaca selama satu jam, Laras mulai jenuh, dia melirik jam ditangannya, ya ampun, sudah jam 8 malam, dia harus pulang, gumamnya dalam hati. Laras selalu berusaha pulang sedikit lebih awal dari Todi, karena dia tahu setelah dia masuk kamar, Todi tidak pernah akan mendatangi kamarnya.
Laras membereskan barang bawaannya dan menuju ke kasir untuk membayar. Di kasir, tidak sengaja Laras bertemu dengan Andre, residen penyakit dalam yang juga pembimbing koasistennya. Andre adalah seorang pria yang penampilannya tidak terlalu mencolok. Dia berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi seperti Todi. Wajahnya tergolong tampan, sebuah kacamata ikut menghiasi wajahnya, menambah kesan kalau dia adalah pria cerdas. Hanya satu kelebihannya dibanding dengan Todi, setidaknya menurut Laras, Andre sangat halus dan ramah pada semua orang. Laras sering melihatnya merawat pasien. Banyak pasien yang mengidolakannya. Para koass juga tidak kalah banyak yang menaksirnya, tidak terkecuali Ameera, sahabatnya. Laras beruntung bisa menjadi anak bimbingan Andre. Caranya mengajarkan anak bimbingannya baik sekali, membuat Laras mengerti dan cukup tertarik dengan ilmu penyakit dalam.
"Halo dek, kamu ngapain malam-malam sendirin disini?" tanya Andre, tersenyum manis.
"Eh dok, malam, lagi belajar dok," jawab Laras sopan.
"Sendirian?" tanya Andre bingung.
Laras mengangguk.
"Saya tipe yang enggak bisa belajar rame-rame dok," jelas Laras.
"Kapan ujian?" tanya Andre.
"Dua minggu lagi dok, doakan ya dok," jawab Laras.
"Iya..belajar ya, yuk," jawab Andre. Pria itu melambaikan tangan kepada Laras. Andre sedang makan malam bersama beberapa temannya, seingat Laras mereka semua residen tapi bukan residen penyakit dalam. Andre dan teman-temannya berlalu dari hadapan Laras. Laras menyapa semuanya dengan sopan.
Setelah membayar, Laras pulang ke rumah. Seperti biasa, rumah ini sepi sekali. Laras melihat Bu Inah sedang makan bersama pak Yadi didalam kamar mereka. Laras belum melihat Todi, mungkin dia juga tidak pulang pikir Laras, tidak perduli.
Keesokkan harinya, Laras mendapat pesan dari pemilik kos kalau kunci kamarnya sudah dikembalikan, dan hari ini dia bisa mulai menempati kamar itu. Laras tersenyum bahagia, mulai dari sekarang dia bisa berhemat, tidak perlu lagi menyewa ruangan di kafe seperti sebelumnya. Pagi sekali Laras membawa sedikit barang-barangnya, dia ingin mengisi kamar kosnya. Untungnya kos-kosan itu sudah memfasilitasi kamar dengan tempat tidur, meja belajar dan lemari, sehingga Laras hanya perlu membawa beberapa potong baju dan alat mandi saja.
Sebelum ke rumah sakit, Laras lebih dahulu pergi ke kosannya, dia meminta penjaga kos untuk membersihkan kamarnya, siang nanti sepulang dari rumah sakit, dia ingin tidur di kosannya. Setelah menurunkan barang-barangnya, Laras pergi ke rumah sakit dengan hati riang, kali ini dia punya tempat yang nyaman untuk menghindari Todi di rumah.
___________________________
Dua hari sudah Laras resmi menjadi anak kos. Hari ini dia baru selesai jaga malam, weekend ini dia malas pulang. Jaga semalam pasien cukup ramai, Laras bahkan tidak bisa duduk sama sekali. Seluruh badannya terasa pegal. Setelah pulang laporan jaga, Laras memutuskan untuk kembali ke kosannya saja untuk tidur. Sebelum pulang Laras menyempatkan untuk membeli bubur ayam didekat rumah sakit, dia kelaparan, semalaman tidak makan.
Sebuah suara menyapanya saat sedang mengantri bubur ayam.
"Hai dek, ketemu lagi kita," sahut Andre. Kali ini Laras kembali bertemu dengan residen favoritnya itu.
"Pagi dok," sapa Laras sopan.
"Baru pulang jaga?" tebak Andre sambil meneliti tampilan Laras pagi ini. Laras mengangguk.
"Dokter baru mau jaga ya?" tanya Laras, seingat dia tidak ada nama Andre di tim jaga semalam.
"Iya, sarapan dulu, mumpung masih sepi," jawabnya.
Tiba giliran Laras memesan.
"Dokter mau pesan apa dok? Biar sekalian," ujar Laras.
"Boleh deh bubur ayam pake ati ampela," balasnya. Andre cepat-cepat memberikan satu lembar uang lima puluh ribu rupiah.
"Aku traktir ya, kamu makan disini kan?" sambung Andre.
Sebenarnya Laras berniat membungkus bubur ayam ini dan memakannya di kosan, tapi dia tidak sampai hati menolak Andre.
"Jangan repot-repot dok, saya bayar aja," tolak Laras.
"Enggak repot, yuk," Andre mengajaknya untuk duduk di tempat kosong, tidak jauh dari tempat mereka mengantri. Laras terpaksa ikut.
"Kamu tinggal dimana dek?" tanya Andre sambil mereka menunggu bubur ayam. Pria itu sibuk mengaduk teh manis hangatnya.
"Di daerah Dago dok, tapi saya baru-baru ini ngekos dok," jawab Laras.
"Hmmm..Orang tua memang dari Bandung?" sambungnya lagi, sambil menyeruput teh nya.
"Iya dok, " balas Laras.
"Udah lama memang di bandung?" tanya Andre lagi.
"Dari lahir dok," jawab Laras sambil tersenyum, dia heran mengapa Andre penasaran sekali.
"Boleh duduk disini?".
Sebuah suara menghentikan obrolan Laras dan Andre. Laras tahu betul suara itu milik siapa. Itu Todi.
Laras mendongakkan kepalanya, mencari arah sumber suara. Todi sudah hadir dan mengambil tempat disampingnya, tanpa menunggu jawaban Laras. Spontan Laras menggeser posisi duduknya. Dia melirik suaminya, sepertinya dia jaga hari ini, Laras sama sekali tidak tahu.
" Baru pulang jaga?" tanya Todi langsung, menatap istrinya tajam. Dia merasa hatinya sedikit panas melihat Laras sarapan berdua dengan lelaki lain, sementara sudah dua minggu terakhir ini dia nyaris tidak bisa menemui Laras, apalagi sarapan bersama. Bahkan berkirim pesan atau sekedar meminta izin pergi ke suatu tempat, seperti yang biasa istrinya lakukan, tidak pernah lagi Laras lakukan. Selain itu, Laras juga tidak pernah lagi memasakkan sarapan untuknya. Laras mengangguk pelan tanpa bersuara menjawab pertanyaan Todi.
Andre bingung melihat interaksi kedua orang didepannya. Andre memang tidak mengetahui kalau Laras dan Todi adalah sepasang suami istri.
"Saya Todi, suami Laras," pandangan mata Todi beralih ke pria dihadapan istrinya, dia juga mengulurkan tangan untuk berkenalan.
Andre hampir saja tersedak teh manisnya. Dia dengan segera membalas uluran tangan Todi, tersenyum bersahabat.
"Andre, saya residen penyakit dalam, kebetulan Laras anak bimbingan saya sekarang," jelas Andre, dia mendadak tidak enak hati. Apalagi melihat Todi sedikit cemburu melihatnya sarapan bersama istrinya.
Bubur ayam pesanan mereka bertiga datang. Baik Laras, Todi maupun Andre makan dengan canggung. Andre berusaha secepat mungkin menghabiskan bubur ayamnya.
"Emm.. sudah tahun ke berapa kang?" tanya Andre berusaha mencairkan suasana.
"Ini tahun ke tiga saya, semester 6," jawab Todi.
"Oh, beda sedikit dari saya," balas Andre, tersenyum penuh kemenangan, ternyata Todi adik juniornya.
"Akang semester berapa?" tanya Todi, dia mendadak penasaran. Meneliti Andre, dia tidak terlalu akrab dengan residen bagian penyakit dalam. Apalagi Andre sepertinya tidak berasal dari Bandung.
"Semester 8, sebentar lagi lulus," jawab Andre.
"Oh, senior akang atuh ya," sahut Todi pelan. Sial, ternyata lebih senior, umpatnya dalam hati.
Ponsel Andre berdering, Andre segera mengangkatnya. Sepertinya panggilan dari juniornya, Andre mengangguk beberapa kali, lalu menutup ponselnya. Dia menyeruput kembali teh manisnya.
"Saya duluan ya," pamitnya sambil melambaikan tangan.
Laras dan Todi bersamaan membalas ucapan Andre dan membalas lambaian tangannya.
Setelah Andre pergi, Laras dan Todi tetap diam. Laras sibuk dengan bubur ayamnya, tapi hatinya berdebar-debar menunggu kalimat yang akan Todi lontarkan kepadanya. Dia takut suaminya salah pengertian melihat dia sarapan dengan pria lain. Dia takut menerima perlakuan kasar Todi lagi.
Sementara Todi mengaduk-aduk bubur ayamnya sambil menguras otaknya, berpikir keras apa yang harus dia ucapkan pada istrinya. Otaknya mendadak buntu.
Todi berdehem sebelum mulai berbicara.
"Nanti pulang ke rumah?" tanya Todi pelan.
Laras diam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Pulanglah, sudah hampir dua minggu aku hanya tinggal sendirian," pinta Todi. Membuat Laras ingin mengorek telinganya, khawatir kalau-kalau dia salah mendengar. Suaminya memintanya untuk pulang.
"Emm.. mungkin.. aku.. hari ini pulang," jawab Laras ragu.
"Iya, aku..emm..aku ..kangen sarapan yang sering kamu buat .." ucap Todi pelan. Pelan sekali sampai Laras nyaris tidak mendengarnya. Tapi kata-kata itu masih cukup jelas sampai ke telinga Laras.
Laras mengalihkan tatapannya ke samping. Dipandanginya wajah suaminya. Todi membalas tatapannya. Laras tidak menghindarinya.
"Kangen?" tanya Laras, berusaha meyakinkan pendengarannya. Kalau-kalau tadi dia memang halusinasi dengar saja. Sialnya Todi mengangguk dengan yakin, menjawab keraguan Laras. Hati Laras sedikit melunak melihat sikap Todi. Tapi sebelah hatinya masih berusaha menyadarkan dirinya, memorinya memutar kembali semua perlakuan Todi padanya. Hatinya kembali mengeras, mengingat janji untuk tidak mudah jatuh hati lagi kepada suaminya.
"Iya," jawab Todi. Laras tertawa sinis.
"Aku pikir kakak tidak perduli padaku, bagaimana bisa merasa kangen," balasnya sedikit ketus. Dia kembali pada bubur ayamnya, tidak membalas tatapan mata Todi.
"Aku beneran kangen," balas Todi, masih menatap tajam istrinya.
"Pulanglah, aku mohon, aku minta maaf sering berlaku kasar," sambung Todi lagi. Laras melirik kearah suaminya, kali ini Todi menundukkan kepalanya.
Laras menghela napasnya, dia malas membalas kalimat Todi. Mudah sekali dia minta maaf, pikir Laras.
"Satu lagi, aku mohon padamu, bolehkah untuk tidak sering bersama dengan teman pria?" sambung Todi lagi.
"Maksudnya?" tanya Laras, kesal bercampur bingung.
"Iya, aku tidak merasa nyaman setiap kali melihat kamu bersama lelaki lain," jawab Todi. Lelaki itu memindahkan pandangan ke arah Laras.
Laras membalas tatapannya, dengan sinis. Apa maksud suaminya, pikir Laras. Seenaknya saja dia melarang Laras dekat dengan lelaki lain, apa dia sudah lupa kalau Laras juga memergoki dia menonton bersama Sarah saat hari ulang tahunnya, pikir Laras lagi.
"Tidak nyaman? Kakak pikir aku ngapain sama dokter Andre, kami hanya kebetulan bertemu dan sarapan bersama. Bukannya kakak yang jelas-jelas masih jalan bersama dengan mantan pacar kakak?" sindir Laras. Dia tiba-tiba merasa muak dengan suaminya ini.
Todi memegang tangan Laras. Menatap Laras, kali ini sorotan matanya terasa lebih lembut dari biasanya.
"Aku minta maaf, aku hanya menonton saat itu, sebenarnya aku sudah membeli tiket untuk kita berdua untuk menonton bersama, tapi kamu tiba-tiba pergi jaga, dan aku emosi, kumohon Ras, jangan seperti ini terus .. Aku..aku rasa aku cemburu setiap kali melihat kamu jalan dengan lelaki lain," ucap Todi. Berusaha menjelaskan semuanya.
Laras terdiam, otaknya masih berusaha mencerna segala sesuatu yang diucapkan Todi. Perkataan Todi berdengung terus-menerus di kepalanya.
"Hati aku sudah berkali-kali merasa sakit Kak," ucapnya pelan. Laras beranjak dari duduknya meninggalkan Todi.
halo
up baru ya
semoga suka
ditunggu up selanjutnya
jangan emosi yaa baca bab ini, hehhe?