Wanita bernama Tiara itu menuliskan seluruh poin penting yang didengarnya dari sosok seorang perempuan melayang di depannya.
Sesungguhnya, bagi wanita tersebut, pengalaman yang sedang dialaminya ini bagai suatu ilusi.
Telinga dan tangannya bergerak sendiri secara naluri. Mengerjakan tugasnya sebagai petugas yang mencatat kesaksian dari seorang korban. Namun otak dan hatinya, masih belum dapat menentukan kalau yang dialaminya itu nyata atau suatu trik belaka.
Otaknya terus berputar, jantungnya terus berdebar tak karuan, hatinya mulai tumbuh teror yang terus ditekan.
Tanpa sadar keringat pun sudah mengalir di punggung wanita tersebut. Membasahi seragam coklat gelap yang dikenakannya.
Setelah sosok menyeramkan di depannya usai berbicara. Keadaan sejenak hening. Tiara tidak tahu apa yang harus dikatakan, dia melirik ke arah Bima yang kini tengah sibuk dengan ponselnya.
Tiara lalu melihat ke tempat rekannya yang masih lunglai tidak sadarkan diri. Kemudian berpaling kembali ke sosok perempuan bernama Lani. Melihat makhluk tersebut masih memandanginya tanpa berkedip. Membuat Tiara agak kurang nyaman.
Mengalihkan pandangannya, Tiara melihat ke buku catatan kecilnya. Melihat apa yang tadi ditulisnya secara refleks.
Semakin lama Tiara membaca, semakin dia menyadari apa yang baru saja ditulisnya. Dahinya terlihat mengkerut, terkejut dengan beberapa hal yang ada di bukunya.
"Kau... apa kau benar Lani?"
Tanya Tiara yang masih memiliki secuil keraguan dalam hatinya. Dia melihat sosok hantu perempuan tersebut mengangguk.
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Tiara memberikan pertanyaan yang hanya diketahui oleh Lani. Seperti tempat tanggal lahir, alamat, nama orang tua dan lain sebagainya.
Setelah mencocokkan dengan data yang ada. Tiara mau tidak mau harus mengakui kalau sosok astral di depannya memanglah Lani. Arwah dari tulang belulang yang diangkutnya satu minggu yang lalu.
Mengakui identitas di depannya sebagai hantu Lani adalah satu hal yang absurd. Namun membuatnya harus mulai berpikir serius tentang pelaku pembunuhan dan juga keberadaan korban lainnya.
Bila mengikuti kesaksian dari Lani—yang sudah menjadi hantu, setidaknya ada lima korban lain dari pelaku yang sama.
Di mana mereka? Lani tidak mengetahuinya.
Tiara menoleh ke arah Bima. Bertanya tentang hal ini, yang dijawab dengan raut mengkerut dari lelaki tersebut. Seolah berkata kalau dia sendiri tidak tahu dan tidak mau mengetahuinya.
"Kenapa tidak menangkap lelaki brengsek ini dulu lalu tanyakan tempat dia menyembunyikan korban lainnya?"
Saran Bima, walau dalam hatinya dia lebih percaya kalau para korban itu mungkin sudah dikubur juga. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tidak mungkin pria bajingan itu mau merawat para perempuan itu selama bertahun-tahun.
Bima lebih mempercayai kalau pria itu akan membuang yang telah mati lalu menangkap kembali perempuan baru untuk menjadi mainannya.
Memikirkan hal ini membuat Bima langsung mengeluarkan ekspresi jijik.
Tiara seraya berkata kalau menggerakkan kepolisian hanya karena suatu kesaksian dari satu sosok astral dirasa agak mustahil. Tidak mungkin atasannya mau percaya akan kasus pembunuhan ini.
Namun walau begitu, Tiara meyakinkan Lani kalau dirinya akan berusaha untuk membuat petugas memeriksa terduga pelaku tersebut. Bukan sebagai terduga kasus pembunuhan, melainkan sekadar orang yang mencurigakan.
Kepolisian bisa menangkap orang itu untuk sementara waktu sekaligus ditanyai beberapa hal. Bila bukti tindakan keji yang dilakukannya ditemukan, kasus pembunuhan Lani itu bisa saja dilanjutkan.
Hingga saat itu, Tiara hanya meminta Bima atau Lani untuk menunggu.
Bima hanya bisa menerima. Hal tersebut memang mencakup dari rencana yang dibuatnya. Dia hanya berharap, kalau pria brengsek itu benar-benar menyembunyikan bukti. Bahkan, walau terdengar kejam, terdapat keinginan dalam diri Bima kalau terdapat korban dalam rumah si pelaku. Sehingga proses bisa lebih cepat.
Tiara pergi sambil menggusur rekannya dengan susah payah. Ketika petugas wanita itu mengembalikan kacamata yang dipakainya. Sosok Lani seketika menghilang.
Orang bodoh pun bakal sadar kalau kacamata yang digunakannya tadi mungkin memiliki sesuatu kekuatan spesial. Tapi ya... Tiara tidak mau mempertanyakan hal ini lebih lanjut.
Dia malah berharap untuk tidak lagi berurusan dengan hal mistis lainnya, termasuk Bima, wanita itu tidak ingin lagi bertemu dengan lelaki ini. Dia merasakan firasat buruk bila berada dekat dengan lelaki itu.
Setelah petugas kepolisian pergi. Bima kini hanya tinggal menunggu hasil dari penangkapan si pria buncit.
Tidak lama, Oki turun dari lantai dua. Dia sedari tadi bersembunyi di kamarnya, enggan dan sedikit takut berurusan dengan kepolisian.
Bima tidak mengerti apa yang mesti ditakutkan. Melihat Oki membuat Bima mengingat satu petugas polisi yang kerjaannya pingsan, mungkin kedua lelaki ini bisa menjadi teman akrab. Pikir Bima.
***
Malam hari, waktu menunjukkan pukul tiga malam.
Bima yang tengah tidur lelap di dalam kamarnya seraya membuka mata, dirinya mendengar sayup-sayup suara seorang perempuan yang bersenandung merdu.
Lelaki tersebut terbangun dengan mata yang berat nan panas, melihat sekitarnya dan tidak mendapati siapapun di sana. Mau itu sosok astral atau bukan.
Bima mengucek-ngucek matanya, sambil fokus mendengarkan irama nyanyian yang terdengar sendu.
'Dari luar?'
Pikirnya, yang kemudian beranjak dari tempat tidur. Mulai berjalan keluar kamar. Setibanya di tengah ruangan lantai dua, Bima menengok ke arah balkon. Merasakan kalau suara tersebut terdengar dari arah luar.
Pada saat ini, Bima seraya mengingat satu hantu yang pernah disebutkan oleh Lani. Hantu perempuan yang biasa tinggal di pohon mangga. Sosok yang katanya suka bernyanyi di tengah malam.
Bima berjalan perlahan ke balkon. Membuka pintu lalu melihat pohon mangga yang berada di sebelah kiri dengan tinggi melebihi balkon.
Terhalang oleh dedaunan rindang dan gelapnya malam. Bima samar dapat melihat satu sosok yang duduk di atas satu dahan pohon.
Mendekat dan memicing untuk melihat lebih jelas, Bima kini dapat melihat bentuk sosok tersebut.
Harus diakui, dari jauh sosok tersebut nampak cantik dan anggun. Dengan rambut perak yang berkilau bila terkena cahaya rembulan, wajah yang putih mulus walau pucat, mata merah di atas bola mata hitam, dengan senyum tipis yang bisa menghipnotis setiap kaum adam.
Sosok tersebut mengenakan gaun merah yang semakin ke bawah, warna gaun tersebut tampak berubah gelap, sehingga pada bagian ujung rok warna gaun tersebut bagai telah tercemplung oleh darah.
Bima terpaku terdiam memandangi sosok wanita tersebut. Yang bernyanyi dengan merdu menggetarkan hati. Sayangnya, getaran hati tersebut bukanlah hal yang positif, karena meski suara wanita itu nyaman di dengar, tapi tubuhnya seketika gemetar hingga ke tulang.
Bima seketika tidak dapat bergerak. Wajahnya pun tidak dapat berpaling dari sosok wanita itu. Hingga ketika wanita itu menoleh ke arahnya, jantung Bima terasa berhenti.
Dia melihat wanita itu tersenyum lebar, memperlihatkan seluruh gigi-giginya yang berupa taring.
Wanita itu berhenti bernyanyi. Membuat suasana seketika hening. Hanya memperdengarkan suara gemerisik daun tertiup angin.
Bulu kuduk Bima berdiri. Sosok wanita itu tiba-tiba menghilang dari depan matanya. Lalu muncul secara instan di balik punggungnya.
"Selamat datang di sisi kegelapan, O penerus Akmal."
Bisik sosok wanita tersebut langsung tepat di samping telinga Bima. Membuat lelaki itu seketika terperanjat, bergerak menjauh, tersandung kakinya sendiri dan kini terduduk di lantai memandangi sosok wanita yang sudah berpindah tempat, duduk di atas pagar balkon. Memandangi Bima dari sudut pandang yang tinggi.
"Haa... haa... haa..."
Napas Bima naik turun secara kasar. Berbeda dengan waktu bertemu Lani dan juga pocong di dapur. Hal yang dirasakan oleh Bima terhadap sosok wanita bergaun merah itu murni teror.
Sosoknya yang anggun tidak mampu menyembunyikan aura mengerikan yang dipancarkan oleh sosok tersebut.
Bila Bima berani menampar Lani, dia tidak yakin hal yang sama bisa dilakukannya kepada hantu kali ini.
Gulp.
"Kau... siapa kau?"
Mendengar pertanyaan tersebut, hantu tersebut tertawa kecil.
"Kurasa Lani sudah memperkenalkan diri ini kepadamu, bukankah begitu Abimanyu?"
"...kau—kau mengenalku? Dan juga tadi... kakekku?"
Akmal yang tadi disebutkan oleh sosok wanita di depannya itu adalah nama dari kakek Bima. Pemilik sebelumnya dari rumah yang ditempatinya sekarang.
Namun jangankan menjawab, sosok wanita itu malah menunjuk ke arah Bima. Membuat lelaki tersebut bagai tertindih oleh suatu tekanan yang tak terlihat.
"Bawa cermin itu kapan pun dan ke mana pun kau pergi. Kau akan membutuhkannya untuk para tamu yang bakal berdatangan."
"...Huh?"
Wanita itu lalu tersenyum lebar, kembali memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Bima membayangkan kalau badannya mungkin bakal dengan mudah tercabik oleh gigi wanita itu.
"Capailah ujung jalan yang menanjak ini. Kau akan temui satu pohon pinus di tengah hutan pohon karet. Di sana kau akan menemui hal yang menarik~ Ah! Jangan lupa bawa sekop atau cangkul, kikiki~"
Mendengarkan hal tersebut, Bima semakin mengerutkan wajahnya, walau takut, otaknya tetap masih berjalan. Sehingga dia langsung dapat menyimpulkan hal menarik yang disebutkan oleh wanita bergaun merah itu.
"Jangan bilang—"
"Ssst! Mentari telah bangun dari tidurnya. Saatnya kau membuka mata."
Wanita itu tiba-tiba berada di depan Bima. Wajahnya yang pucat itu hampir menempel dengan wajahnya. Satu jari telunjuk wanita itu menempel di bibir Bima, menyuruhnya diam, lalu setelah Bima enggan mengeluarkan suara. Telunjuk itu naik ke kening Bima, dan mendorong kepalanya ke lantai.
Syok! Bagai kepalanya membentur dan menembus lantai. Bima seketika terperanjat bangun di atas tempat tidurnya.
"Huff... huff... huff..."
Napasnya berat naik turun. Entah mengapa, Bima merasa kalau dirinya baru saja bertemu dengan kematian.
Dia melihat sekitarnya. Kamar yang sepi dengan sinar matahari yang mulai menyinari dari sela-sela jendela dan ventilasi.
Bima mencoba menenangkan dirinya. Mulai mengingat kembali pertemuannya dengan sosok wanita bergaun merah tadi. Bertanya-tanya...
'Apakah itu nyata atau memang sekadar mimpi?'
Bima tidak tahu, tapi satu yang dia tahu, tubuhnya masih gemetar dan berkeringat dingin. Bagai ingin membuktikan kalau pengalaman barusan adalah suatu realita.