webnovel

Memahami Bagas

"Kamu mau pergi ke mana?"

"Penting banget, ya, ngasih tahu kamu. Kita enggak ada hubungannya."

"Iyalah, gimana pun juga, aku tuh adalah kakak tiri kamu. Jadi, kamu itu harus bilang mau pergi ke mana, biar kalau kamu hilang itu bisa dicari. Jangan kayak anak kecil yang pergi tanpa izin terus enggak bisa balik pulang ke rumah."

"Dasar kakak tiri emang, kamu pikir aku anak SD apa, yang enggak bisa tahu jalan pulang ke rumah? Aku itu udah mau kuliah. Jangan harap aku mau cerita banyak hal tentang diriku kepadamu."

"Aduh ini anak ngomong apaan, sih, aku tuh cuma khawatir kalau kamu hilang. Ngapain bawa-bawa kalau mau kuliah, aku aja udah kuliah biasa aja."

"Kenapa, ya, setiap ketemu sama kamu bawaannya pengen emosi aja. Berapa hari sih kamu tinggal di rumah ini? baru empat hari kan, tapi udah banyak bikin aku emosi. Aku tuh sampai mikir, kenapa, sih, harus jadi saudara tiri kamu?"

"Seandainya saja aku bisa memilih, aku enggak akan mau pernah jadi saudara tiri dari orang yang tidak tahu diri kayak kamu. Udah diperhatikan baik-baik tapi kamu malah nyolot. Asal kamu tahu ya, aku disuruh sama papa Surya buat ngawasin kamu. Terakhir waktu Mama sama papa nikah, tiba-tiba kamu menghilang dan itu bikin semuanya heboh. Untung aja enggak ada masalah hingga resepsi harus dibatalkan."

Panjang lebar Arum ceramah pada adik tirinya. Dia sebenarnya tidak ingin memperdulikan kehidupan adik tirinya itu. Namun, karena perintah dari Surya mau tidak mau dia harus ikut campur dalam kehidupan Bagas. Ini sulit untuk dirinya yang, pada dasarnya tidak menyukai Bagas sama sekali. Untuk menjaga hati papanya, dia melakukannya dengan sangat terpaksa.

"Udah marahnya, jangan suka marah, Neng, nanti cepat tua. Asal kamu tahu ya, aku keluar itu buat beli perlengkapan ospek dua hari lagi. Jadi, aku enggak mau kamu ganggu. Aku bisa pergi sendiri dan gak usah kamu antar." Tegas Bagas meyakinkan.

"Udah cerewetnya? siapa juga sih yang mau nganter. Aku tuh gak mau ngantar, cuma mau tanya aja. Kamu mau pergi ke mana, kalau ditanya sama papa biar aku bisa jawab. Jangan bikin aku emosi mulu dong."

"Yang dari tadi emosi siapa, sih?"

"Ya, kamu yang mancing aku emosi."

Arum dan Bagas kembali terjebak dalam percekcokan yang tiada ujung. Mereka mungkin memang ditakdirkan untuk bersama, namun saling bertukar kalimat-kalimat yang tidak sepantasnya mereka ucapkan sebagai sepasang saudara tiri. Ikatan kakak dan adik tiri memang sangat kuat melekat kepada mereka, yang mana pastinya dalam hubungan saudara tiri selalu ada permasalahan yang timbul, seperti di dalam dongeng-dongeng yang ada di dalam cerita anak-anak dan itu terjadi kepada mereka saat ini.

"Mas Bagas, mau ke mana?" tanya Bibi Surti sedikit ketakutan.

"Aku mau pergi keluar cari perlengkapan buat ospek, emang kenapa, Bi?"

"Tadi pak Surya pesan, kalau Mas Bagas mau pergi keluar nunggu pak Surya datang, nanti biar diantar."

"Enggak bisa dong, tokonya itu udah mau tutup. Tutupnya itu jam tujuh malam, ini udah jam lima. Lagipula ayah itu pulangnya jam delapan. Enggak mungkin sempat nganterin aku, yang ada tokonya udah tutup. Aku mau berangkat sendiri aja."

"Jangan dong Mas, nanti saya bisa dimarahi bapak. Mas itu harus ada yang awasi, takut aja kabur kayak kemarin."

"Enggak mungkin aku kabur, ngapain juga kabur. Aku tuh enggak kabur tapi aku itu pergi ke rumah mama. Beda, ya, Bi, kabur dan pergi ke rumah mama Marina."

Bibi Surti menatap tajam kepada Arum yang berdiri di sampingnya. "Mbak Arum, saya mohon, ya, Mbak, minta tolong?"

"Mau minta tolong apa, sih?"

"Mbak, tolong temani Mas Bagas buat pergi keluar. Saya takut kalau terjadi sesuatu dengan Mas Bagas nanti saya bisa dimarahi Tuan. Tolong, Mbak Arum!" Bibi Surti meminta tolong agar Arum mau menemani Bagas. Dia begitu ketakutan ketika Bagas mungkin tidak saja pulang dan permasalahan itu terulang kembali. Pastinya Surya akan sangat marah kepada dirinya.

"Enggak mau, lah, si Bagas juga enggak mau saya antar, ngapain saya repot-repot ngantar dia?"

"Mbak, saya mohon, Mbak, mau saya dipecat pak Surya? Sebenarnya kalau Mas Bagas itu sering banget buat ulah."

Arum berpikir sejenak. Dia masih memiliki hati nurani, dia tidak ingin Bi Surti mendapatkan permasalahan karena Bagas yang bandel dan akhirnya dengan berat hati Arum mencoba untuk menerima dan mau mengantar Bayu untuk keluar membeli keperluan ospek.

"Ya, udah, biar aku antar," ucap Arum dengan jengkel.

"Kalau enggak ikhlas, enggak usah ngantar daripada nanti jadi masalah di kemudian hari. Aku kan bisa pergi sendiri."

"Ini anak dikasih tahu itu sulit banget, ya, jangan pergi sendiri. Kamu tuh di khawatirkan banyak orang, tapi kamu enggak tahu diri tetap ngeyel pengen pergi sendiri. Dasar, ya!" Tanpa banyak berbicara lagi, Arum segera meraih tangan kanan Bagas lalu menariknya dengan kencang untuk menuju mobil.

"Kamu mau ngajak aku ke mana?"

"Masih mau tanya?"

Arum segera membuka pintu mobil lalu memasukkan Bagas di sana, di jok penumpang lalu mengunci pintu mobil kembali. Arum bergegas menuju kendali kemudi. Dia masuk dan duduk mengunci pintu, mulai menyalakan mesin mobil.

Bibi Surti tersenyum melihat kedua kakak-beradik itu berantem. Namun, ujungnya, Arum masih tetap mau menemani Bagas untuk pergi.

"Aku enggak yakin kita bisa selamat sampai ke tempat tujuan. Enggak usah kalau kamu yang antar, mending gak usah berangkat."

"Ya, kan, emang kamu tuh buat masalah mulu, ya, kalau kamu enggak berangkat dan kamu akan mengadu kepada papa Surya kalau aku enggak mau nganter, pastinya aku akan dimarahi. Aku enggak mau itu semua terjadi. Asal kamu tahu, usia kita memang hanya selisih tujuh bulan tapi aku lebih cerdas daripada kamu."

"Pede banget, sih, jadi orang. Dulu kamu makanya apa, sih, rasa percaya diri kamu itu tinggi banget?"

Arum tidak memperdulikan ucapan adik tirinya. Dia langsung menyalakan mobil dan melajukan mobil dengan kecepatan diatas rata-rata. Bagas dibuat takut dengan apa yang harus dilakukan tanpa batasan. Arum sangat lihai dalam mengendalikan mobil. Dia bisa dengan leluasa menyetir bagaikan di sirkuit balap.

"Bisa enggak, sih, hati-hati?"

"Takut?" Sahut Arum tertawa puas.

"Enak aja, aku tuh enggak penakut. Apapun akan aku hadapi tanpa rasa takut sedikitpun."

"Ya, udah, kamu santai aja duduk di belakang. Enggak usah banyak bicara, mending kamu diem aja sampai ke tempat tujuan. Aku tahu kamu cari tempat untuk pembelian buku-buku untuk ospek itu di mana, jadi enggak perlu kamu mengarahkan ku."

"Terserah," sahut Bagas sangat ketus.

Arum melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia melihat Bagas yang sedikit ketakutan di jok penumpang lalu dia melihatnya kembali dengan jeli dari kaca kendali. Tanpa dia sadari cairan merah segar keluar dari kedua lubang hidung Bagas.

"Hidung kamu kenapa?" tanya Arum dengan reflek sambil mengerem mobil.

Bagas lalu menyentuh hidungnya, namun efek dari Arum mengerem mobil mendadak membuat hidung Bagas malah membentur jok kendali yang Arum duduki.

***