Setibanya di rumah, Clarisa sudah bangun dari tidurnya. Aku dan Aditya pun menunggunya untuk bercerita. Tetapi sepertinya Clarisa masih syok dengan kejadian itu hingga belum mau untuk bercerita pada kami.
"Mom sama dad, enggak akan memarahimu karena kejadian itu, itu kan kecelakaan. Mom sama dad cuma ingin tahu bagaimana ceritanya kamu sampai jatuh dari sepeda," kataku.
"Kelas tiga tadi ngebully aku karena aku selalu diantar jemput, katanya aku anak manja. Makanya kemarin aku ingin ke sekolah pakai sepeda seperti yang lain," Clarisa akhirnya mau bercerita.
"Lalu?" kataku penasaran mendengar lanjutan ceritanya.
"Itu yang membullymu perempuan atau laki-laki?" timpas Aditya.
"Laki-laki. Terus pas pulang dia datang lagi, dia bilang. Gayanya pakai sepeda ke sekolah, bisa pakai saja enggak, terus aku bilang bisa. Pas aku mau jalan pakai sepeda di dorong sama dia terus bibi datang bantu aku berdiri," jelas Clarisa.
"Kamu tahu siapa nama laki-laki itu?" tanya Aditya.
"Teman-teman aku bilang kalau namanya Azka," jawab Clarisa.
Aku langsung memalingkan pandanganku pada Aditya, begitu pun juga Aditya. Aku mengambil ponsel lalu membuka galeri yang ada di ponselku. Tak lama, aku menemukan foto yang kak Tyas kirim. Aku menunjukkan foto Azka yang tengah memakai baju seragam sekolahnya pada Clarisa.
"Itu orangnya mom, dad, kenapa mom punya fotonya?" tanya Clarisa.
"Astaga! Hubungi kak Tyas sekarang," ujar Aditya sambil menyandarkan punggungnya di bahu kursi. Aku mengangguk mendengar perintahnya.
"Iya, Ca. Mom tahu sama anak ini. Ya sudah, kamu mau makan?" tanyaku pada Clarisa.
"Aku mau makan masakan om Dika mom," jawab Clarisa.
"Kamu tunggu saja ya? Daddy akan pesankan supaya diantarkan makanannya ke sini," jawab Aditya.
"Enggak mau! Ica mau makan di sana!" sahut Clarisa.
"Turuti saja dulu ya? Sekalian kita makan di sana juga," kataku.
Aditya menghela napas lalu mengangguk. Clarisa senang saat dadynya menyetujui keinginannya. Aditya memang keras dan tegas juga orangnya oleh sebab itu tidak ada yang pernah membantah perintahnya. Begitu pun dalam mendidik Clarisa begitu tegas. Dan aku bersyukur memiliki laki-laki sepertinya meskipun memiliki sifat dan sikap yang seperti itu, dia sabar dalam mendidik anaknya.
Sampailah di warung nasi yang tak lain adalah rumahku. Clarisa langsung berlari ke dalam yang pasti dia akan menuju dapur untuk menemui Dika. Aditya menyuruhku untuk duduk.
"Sayang tidak apa kamu telat masuk kerja? Ini sudah lewat jam makan siangnya," kataku.
"Kan aku bosnya ya terserah dong," ujar Aditya.
"Sombongnya."
"Mau makan apa? Biar aku bawakan."
"Ah, so sweet sekali suamiku ini, apa saja nanti aku makan kok, oh asal jangan sayur yang berdaun hijau."
"Kamu ini, anakmu tahu kamu enggak suka makan itu nanti dia ikut-ikutan juga."
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Aditya pun pergi. Aku membuka ponsel lalu mengirimkan sebuah foto pada Vina. Tak lama kemudian Vina pun membalas dan ingin juga datang ke sini, ke tempat kerjanya dulu. Aditya pun datang bersama Clarisa. Clarisa duduk di sampingku sedangkan Aditya duduk di hadapanku. Tak ada pembicaraan selama kita makan. Hingga beberapa saat kemudian makanan pun habis disantap.
"Sudah menghubungi kak Tyas?" tanya Aditya.
"Oh ya ampun, aku lupa. Akan aku telepon sekarang," kataku.
"Beritahu kalau akhir pekan kita bertemu," kata Aditya.
"Dad, akhir pekan kita ke mana?" tanya Clarisa.
"Ke rumah tante Tyas ya? Sudah lama tidak main ke sana. Waktu itu kamu masih berusia sekitar satu tahun saat bertemu dengannya," jelas Aditya.
Aku menelepon kak Tyas. Begitu teleponnya di angkat, aku menganggukkan kepala mengisyaratkan untuk menjauh saat menerima telepon. Aditya pun mengangguk mempersilahkanku untuk mengangkat teleponnya.
"Kak, kakak sudah balik lagi ke daerah sini?" tanyaku.
"Iya, sudah lama juga, tapi kakak sekarang sudah menetap di sini sih, dulu memang kakak jarang di rumah semenjak Azka sekolah karena pekerjaan. Sini main makanya, sudah lama kakak enggak melihatmu dan anakmu itu," kata kak Tyas.
"Ya memang ada rencana ke sana akhir pekan. Dan lagi aku mau bercerita sama kakak juga."
"Tentang apa?"
"Azka sekolah di SD Langit?"
"Iya, lalu?"
"Dia mengusili anakku ..."
"Yang benar saja!" sahut kak Tyas tak percaya.
Aku menceritakan kejadian yang Clarisa ceritakan tadi pada kak Tyas. Kak Tyas tidak percaya akan hal itu dan juga dia akan menanyakannya langsung pada Azka. Aku enggak tahu bagaimana kak Tyas dalam mendidik anaknya itu sampai jahil seperti itu. Kak Tyas menutup teleponnya. Aku pun kembali ke tempat dudukku tadi.
"Bagaimana?" tanya Aditya begitu aku duduk di hadapannya.
"Kak Tyas tidak begitu percaya jadi dia mau menanyakan pada anaknya terlebih dulu," kataku.
"Baiklah kalau begitu nanti datang saja ke sana, supaya tidak salah paham."
Aku mengangguk menyetujuinya. Aditya pun mengajak kami pulang karena ada pekerjaan kantornya yang belum selesai. Dia mengantarkanku sampai depan rumah saja. Melambaikan tangan begitu mobilnya melaju. Aku pun mengajak Clarisa untuk masuk ke rumah. Tangan Clarisa membaik setelah dibawa ke dokter. Tangannya sudah bisa digunakan lagi. Karena ada tugas sekolah, aku menemaninya mengerjakan tugasnya.
"Mom, mommy tidak akan memarahi orang yang jahat sama aku itu kan?"
"Kenapa memangnya?"
"Nanti kalau enggak ada mommy aku semakin dijahili sama dia."
"Enggak sayang, mommy yakin kamu bisa menyelesaikan masalah ini tapi tetap mommy awasi supaya dia tidak seperti itu lagi padamu dan yang lainnya juga."
Clarisa melanjutkan mengerjakan tugasnya. Setelah selesai, dia mengajak bi Laras untuk bermain. Mereka pun pergi keluar. Tak lama kemudian, bi Laras kembali ke dalam rumah. Dia memberitahuku bahwa ada seseorang yang sedang menungguku di luar. Aku mengangguk lalu ikut pergi ke luar. Terlihat sosok yang tidak asing lagi bagiku.
"Kayla, apa kabar?" tanyanya begitu melihatku. "Sudah lama aku tidak berkunjung lagi ke sini ya?"
"Ada urusan apa kamu ke sini, Sherlin?"
"Tidak. Kali ini aku tidak akan membuat masalah apa pun. Sungguh!"
"Lantas?"
Sherlin memberiku sebuah undangan. Undangan pernikahan yang bertuliskan nama Sherlin dan Yudha. Aku tidak percaya melihatnya. Aku langsung membuka undangannya dan benar saja nama Yudha Prakoso dengan gelarnya tertulis di sana dengan jelas. Aku masih tidak percaya setelah kejadian tempo hari.
"Aku hanya ingin memberikan itu padamu, datang ya?"
"Apa yang kamu perbuat padanya sampai dia mau menikahimu?"
"Apa urusannya denganmu? Ini tidak ada urusannya denganmu. Oh. Jangan bilang kamu menyukai Yudha?"
Aku melihat Clarisa yang sedang berada di taman sedang memperhatikanku. Aku menarik napas panjang, menahan emosiku. Aku menyuruh Sherlin untuk pergi dari rumahku.
"Datang ya? Aku sudah jauh-jauh datang ke sini memberikan kabar baik padamu ..." katanya lalu mendekat di telingaku. "Atau ini kabar buruk untukmu?" bisiknya."
"Jangan sembarangan kamu! Jika tidak ada hal lain, silakan pergi. Terima kasih atas kunjungannya," kataku.
Dia pun tersenyum sinis lalu pergi. Dasar rubah! Kemarin saja dia mohon-mohon padaku dan sekarang kelakuannya sudah seperti itu lagi. Aku pun kembali masuk ke rumah.