Aditya sudah pulang sedari tadi. Saat dia sedang bersantai, aku memberitahu kepadanya kalau aku menerima undangan dari Sherlin. Dia terkejut saat melihat nama mempelai prianya.
"Ini enggak salah kan?" tanya Aditya.
"Enggak, aku saja terkejut tadi pas melihat namanya," kataku.
"Apa ini hanya rencana Sherlin saja untuk merebut harta?"
"Aku tidak tahu pasti, tapi apakah kita akan datang ke sana?"
"Jangan! Kamu jangan datang, tanggal itu aku harus ke luar kota. Kamu enggak boleh datang ke sana."
Aku hanya mengangguk. Dia pun bercerita alasan dia pergi ke luar kota ternyata untuk menghadiri acara pertunangan asistennya itu. Aku tidak bisa ikut karena Clarisa sekolah. Dia khawatir terjadi sesuatu jika aku datang sendiri ke acara itu. Terlebih lagi seorang istri harus menuruti perkataan suaminya.
"Tadinya aku mau mengajakmu, jadi nanti saja waktu dia nikah ya?" ujar Aditya.
"Oh, baiklah. Tapi sayang, tahu enggak? Aku mau makan pempek," kataku.
"Astaga ini sudah malam loh! Sudah enggak ada yang jualan. Besok saja!"
"Sayang ayolah. Aku ingin makan itu," kataku dengan nada merengek.
Aditya malah pergi meninggalkanku. Aku memanggil-manggil namanya pun tidak dia dengar. Sungguh kesal jika dia seperti itu. Tapi dia memang jarang juga sih memanjakan aku. Ah dasar suamiku. Karena kesal aku pun merebahkan tubuhku di atas ranjang. Terdengar suara pintu terbuka. Aku langsung membuka mata dan melihat ke arah pintu. Aditya membawa nampan yang berisi mangkuk dan air mineral.
"Apa itu?" tanyaku lalu mengubah posisiku menjadi duduk sambil mengucek mata.
"Makan," kata Aditya memberikan nampan itu.
Aku tersenyum lebar melihatnya, ternyata yang Aditya bawa adalah pempek. Aku memakannya dengan lahap. Sungguh enak.
"Sayang, ini beli di mana?"
"Beli? Itu bikin enggak beli. Jam segini enggak ada yang jual itu."
"Enak banget loh, aku suka."
"Semuanya saja kamu suka."
"Iya, aku juga suka kamu."
"Dih, sudah makan saja."
Aku pun memakannya sampai habis. Aditya menyimpannya bekas makanku. Aku tersenyum saat melihat Aditya. Dia mengangkat alisnya sebelah.
"Sayangnya aku ganteng," kataku sambil memeluk lengannya.
"Sudah, sudah. Dari tadi bicara terus, tidur!"
"Ih, kamu bagaimana sih kan kamu sendiri yang suruh aku makan tadi dan sekarang habis makan disuruh tidur, itu kan enggak bagus! Nanti yang ada perutku makin buncit."
"Lagi pula yang melihat perutmu itu hanya aku saja, enggak masalah kalau perutmu buncit atau bahkan kamu jadi gendut, kan jadi semakin enak dipeluknya."
Aku pun terdiam dengan wajah yang cemberut. Beberapa saat bertukar pandang, kami pun tertawa. Aku pun bersandar pada Aditya. Dia memainkan ponselnya dan aku melihat apa yang dia lakukan, ternyata dia menonton channel favoritnya. Aku pun ikut menonton.
Keesokan harinya. Seperti biasa aku menyiapkan pakaian untuk Aditya. Kami pun keluar bersama. Tampak Clarisa dengan mengenakan seragam sekolahnya yang tengah duduk menunggu kami.
"Good morning Ica," sapaku.
"Good morning mom, dad," ujar Clarisa sambil tersenyum.
"Berangkat sekolahnya bareng daddy oke?" kata Aditya.
"Oke dad," jawab Clarisa.
Setelah makan, aku mengantar mereka sampai depan rumah saja. Melambaikan tangan. Pekerjaan bi laras memang sudah selesai, tapi Aditya menyuruhnya untuk menemaniku.
"Bi, sebelumnya bibi kerja di mana?" tanyaku.
"Bibi sebelumnya kerja di daerah XY, di sana kerjanya enggak seperti di sini, enak di sini kerjanya," ujar bi Laras.
"Ah, bibi ini berlebihan."
"Tapi iya loh, kerja di umur segini terasa banget capeknya, tapi di sini enggak. Ada waktu buat istirahatnya di sini."
"Oh. Tapi kenapa bibi masih bekerja di usia bibi?"
"Bibi tidak enak jika harus terus meminta pada anak."
Kami pun bertukar cerita. Tak terasa hari sudah semakin siang dan waktunya Clarisa untuk pulang. Bi laras pergi untuk menjemput Clarisa. Aku melanjutkan pekerjaanku. Notifikasi masuk di ponselku. Terlihat Aditya mengirimkan sebuah foto. Aku pun membuka pesannya. Dia mengirimkan foto beberapa makanan. Sungguh aku ingin mencoba semuanya. Aku segera membalas pesannya.
"Bungkuskan untukku, aku ingin makan semuanya," isi pesanku.
"Ini makanan untuk tamu, enggak bisa dibungkus," balas Aditya.
"Gak mau pokoknya aku mau itu, enggak mau tahu kamu pulang harus bawa itu."
"Gak!"
Kesal mendapat balasan pesan seperti itu, aku menghentikan menggambarnya. Sungguh aku merasa kesal. Aku pun masuk ke kamar, merebahkan tubuh di atas kasur. Tak lama kemudian Clarisa pulang. Dia datang ke kamarku dan sudah mengganti pakaiannya.
"Mommy tidak menyambut Ica pulang sekolah, apa mommy sakit?" tanya Clarisa sambil menyentuh dahiku.
"Tidak sayang. Mommy hanya lelah saja dan ingin beristirahat," kataku sambil tersenyum.
"Ica temani mommy di sini boleh?"
"Sudah makan? Makan dulu baru boleh temani mommy."
Clarisa berteriak-teriak memanggil bi Laras. Bi laras pun segera tiba.
"Ica, memanggil orang lain apa lagi yang lebih dewasa jangan seperti itu, itu tidak baik, tidak sopan. Datangi orangnya lalu baru bicara oke?"
"Oke."
"Karena Ica sudah salah memanggil bi Laras seperti itu, maka Ica harus?"
"Meminta maaf jika Ica salah."
"Ya, betul."
Clarisa pun meminta maaf pada bi Laras dan aku meminta tolong untuk mengajak Clarisa untuk makan. Dia menurut dan pergi bersama bi laras untuk makan. Clarisa tidak sepertiku dulu yang susah makan. Maka dari itu aku dari dulu bertubuh kecil. Berbeda dengan Clarisa yang memiliki tubuh yang agak berisi menambah keimutannya.
Aku pun menghubungi Aditya, lebih tepatnya aku melakukan panggilan video padanya. Dia pun mengangkatnya. Dengan ekspresi wajah yang cemberut, Aditya langsung pergi keluar ruangan untuk menjauh dari orang-orang.
"Apa? Kenapa mukamu seperti itu?" kata Aditya.
"aku mau itu sayang, mau makanan yang tadi kamu kirimkan fotonya itu," kataku.
"Astaga! Itu makanan untuk para tamu sayang. Sekarang saja sudah habis. Menyesal aku memperlihatkannya padamu."
"Aku mau itu sayang. Nanti kalau bayinya ileran bagaimana coba?"
"Kamu meneleponku hanya untuk ini?"
"Mommy ... apa mommy sedang menelepon daddy?"
Clarisa sedikit berlari menghampiriku. Dia terlihat senang saat melihat daddynya itu. Dia akhirnya bertanya juga tentang keberadaan daddynya yang berada di luar. Saat Aditya memberitahu pada Clarisa kalau dia sedang berada di luar kota, Clarisa begitu heboh ingin membawakan makanan dari daerah sana. Aditya menggelengkan kepalanya.
"Anak sama ibunya sama-sama tukang makan ya? Suka banget sama makanan. Nanti daddy bawa makanan harus kalian habiskan ya?"
"Oke," kataku dan Clarisa berbarengan.
Teleponnya pun ditutup. Aku dan Clarisa pun merasa senang saat mendengar Aditya pulang akan membawa makanan. Hingga sore tiba, Aditya membawa beberapa makanan. Sudah pasti kedatangan Aditya ditunggu olehku dan Clarisa. Tidak lupa kami pun berbagi pada bi Laras. Kami memakan makannya.