Ini pertama kalinya Aditya tinggal di rumahku. Aku memang merasa bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersamanya. Hanya saja aku masih merasa canggung ketika bersamanya. Seperti biasa aku memasak untuk sarapan. Karena aku tidak membiarkan dia untuk membantuku, dia pun hanya memperhatikanku. Selesai masak kami makan bersama. Lalu beberapa menit kemudian, Vina datang. Aku dan Vina melanjutkan pekerjaan kemarin.
"Kenapa dia masih ada di sini?" bisik Vina.
"Dia tinggal di sini beberapa hari," jawabku berbisik.
"Kalau tetangga tahu bisa bahaya. Bisa jadi bahan gosip ibu-ibu dan bisa saja kamu diusir di sini. Kamu tahu sendiri bagaimana pedasnya ibu-ibu kompleks ini ketika bergosip kan?"
Dia melihat ke arah pintu, aku pun mengikutinya. Terlihat Aditya sedang berdiri di sana. Aku mempersilahkannya untuk masuk. Tunggu apa dia mendengar omonganku tadi dengan Vina tidak, ya? Aku takut dia tersinggung.
"Jadi ini ya? Pekerjaanmu sekarang. Gambarnya bagus," kata Aditya.
"Terima kasih," kataku.
Aditya menarik kursi lalu duduk di samping kananku.
"Apa aku di sini mengganggu?" ucap Aditya sambil berbisik.
Mendengar ucapannya jantungku berdegup kencang. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Aku teringat dengan lukanya.
"Ah iya, ini sudah hampir seminggu dari kecelakaan itu. Ayo kita pergi ke rumah sakit. Tanganmu sudah tidak apa-apa kan? Sudah tidak merasa sakit?"
Aku bicara seperti itu hanya alasan saja karena aku tidak mau terlihat salah tingkah.
"Ya, sih. Tangannya sudah tidak terlalu sakit," jawabnya.
"Ya sudah nanti kita pergi. Jangan menolak!"
"Uangku tidak cukup untuk itu. Aku tidak apa-apa."
"Sudahlah, jangan membantah lagi."
"Kenapa kalian tidak menikah saja jika masih saling mencintai?" celoteh Vina.
Aku terdiam mendengarnya. Tiba-tiba mendengar suara ketukan pintu. Entah siapa yang datang di jam seperti ini. Aku pun membuka pintu. Raka langsung menerobos masuk dan menarik tanganku.
"Kamu ini bagaimana sih? Aku tidak ke sini beberapa hari karena pekerjaan dan kamu malah memberikan orang laun masuk dan tinggal di sini dan itu juga laki-laki. Apa sih yang kamu pikirkan? Bagaimana kalau dia berbuat yang tidak-tidak ketika kamu tidur?"
"Apa sih, lepaskan tanganku. Sakit."
Aditya menghampiri kami. Raka langsung menghampirinya lalu menarik kerah baju Aditya.
"Apa sih yang kamu pikirkan? Kamu mau apa?" kataku memisahkan mereka.
Vina datang. Aku bilang bahwa aku akan pergi dengan Aditya ke rumah sakit sekarang. Vina hanya mengangguk. Terlihat jelas Raka menahan amarahnya, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku pergi bersama Aditya.
Tiba di rumah sakit. Aku menunggu antrean. Hingga beberapa saat kemudian kami pun dipanggil. Aku menemaninya masuk. Dokter memeriksanya dan sekarang perban di tangannya sudah bisa di lepas. Kondisinya sudah baik sekarang. Itu berarti sekarang dia akan pergi dari rumahku. Karena itu perjanjian di hari kedua dia tinggal bersamaku. Kami pun melenggang pergi dari rumah sakit itu.
"Kayla," panggilnya.
"Ya, ada apa?" jawabku.
"Ayo kita menikah. Aku tidak mau kehilanganmu lagi," katanya.
Sungguh terkejut mendengarnya. Yang benar saja.
"Bagaimana dengan keluargamu? Mereka tidak menyukaiku."
"Sudahlah, biarkan mereka. Kamu kan akan menjalani rumah tangganya bersamaku."
Aku tidak ada pilihan lain selain mengiyakan. Karena sebenarnya aku pun tidak ingin berpisah lagi dengannya. Hingga akhirnya kami memutuskan menikah hari itu. Setelah mendapatkan surat nikah, aku menghubungi kak Tyas. Dia sangat terkejut ketika mendengarnya.
"Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya? Kita bisa mengadakan resepsi pernikahan."
"Aku tidak ada waktu untuk itu kak, yang penting aku sudah nikah dan tidak akan ada fitnah kalau aku tinggal bersamanya. Kakak nanti datang saja aku akan mengadakan pengajian saja nanti."
"Baiklah, setelah Farhan pulang sekolah kakak akan pergi ke sana untuk menyiapkan pengajiannya."
"Iya, terima kasih."
Aku pun pulang bersama Aditya. Sebelum pulang, aku mampir dulu ke tempat jualan mi ayam karena sudah siang.
"Kakak tidak mempermasalahkan pernikahan kita yang mendadak nikah ini?"
"Dia inginnya kita mengadakan resepsi pernikahan, tapi aku tidak mau."
Pesanan kami pun datang. Ketika sedang asyik makan, tiba-tiba Rena datang.
"Pak, aku mau satu ya," pesan Rena.
Aku memegang tangan kanannya menghentikan dia makan. Rena melihat ke arah kami.
"Kakak!"
Rena langsung memeluk Aditya. Dia begitu merindukan kakaknya itu. Dia juga bilang bahwa ibu menangis karena dia tidak pulang dan tidak ada kabar. Dan memang selama dia tinggal di rumahku dia mematikan handphone-nya dan hanya memainkan handphone ku.
"Adit, sebaiknya kamu pulang. Aku khawatir dengan ibumu."
"Nanti pulang setelah acara pengajian itu, dan kamu harus pergi bersamaku."
"Kak, tapi nanti ayah ...," Rena tidak melanjutkan ucapannya.
"Dia istriku sekarang."
"Sungguh? Akhirnya bujang lapukku laku juga," kata Rena sambil memeluk kakaknya lagi.
Aku tersenyum melihatnya. Sungguh menggemaskan adiknya itu meskipun dia sudah dewasa, tetap saja dia terlihat seperti anak kecil ketika bersama kakaknya.
***
Pengajian pun berakhir. Aku menitipkan rumahku kepada kak Tyas. Rena ikut bersama kami setelah selesai makan mi ayam tadi. Sekarang kami bertiga pulang ke kediaman keluarga Kusuma. Hingga sampai di tujuan. Aku sangat gugup. Takut terjadi lagi seperti sebelumnya. Saat pintu dibuka, seorang perempuan datang dan langsung memeluk Aditya.
"Adit, ke mana saja kamu? Aku merindukanmu."
Aditya melepaskan pelukannya dengan kasar.
"Dengar Sherlin, aku tidak pernah mencintaimu sedikit pun. Dan jangan datang lagi ke sini. Aku sudah menikahi dia," bentak Aditya.
Ternyata itu yang namanya Sherlin. Cukup cantik. Karena keributan itu, ibunya Aditya pun datang.
"Akhirnya kamu pulan, nak," katanya sambil memeluk Aditya.
Dia melihat ke arahku.
"Apa dia yang membuatmu kabur dari rumah?"
"Tidak, bu."
"Lalu kenapa kamu pergi? Kamu tahu kan pernikahanmu sudah diatur beberapa hari lagi."
"Aku sudah menikah dengan Kayla, bu"
Ibu hanya terdiam sambil menatapku. Dia pun pergi tanpa sepatah kata pun. Aku memegang tangan Aditya.
"Kamu tidak ada tempat bagi keluarga Kusuma!" kata Sherlin.
"Jaga perkataanmu," sahut Aditya.
Tak lama ayah datang. Dia begitu marah.
"Siapa yang menyuruhmu untuk datang?"
"Jika saya tidak diterima di sini, saya pergi," sahut Adit.
"Bukan kamu! Tapi wanita itu!" Ayah menunjuk ke arahku.
"Dia istriku! Jika kamu berani mengusir dia berarti kamu juga mengusirku."
"Kamu berani ya, dasar baj*ngan,"
Aditya menarik tanganku.
"Lebih baik kita pergi dari sini," katanya.
Aku hanya mengangguk. Kami pun pergi kembali ke rumahku. Kakakku masih berada di sana. Dia memilih untuk menginap karena hari sudah malam.
"Aku kira kamu tidak akan pulang dan bermalam di rumah suamimu," kata kak Tyas.
"Aku tadi datang ke rumah keluarganya Adit."
"Ya sudah ayo kita istirahat. Kalian pasti lelah."
Ini pertama kalinya aku tidur seranjang dengannya. Jantungku berdegup kencang lagi.