POV Kayla
Pagi hari tiba. Aku menggendong Clarisa keluar dari kamar. Melihat Yudha tengah asyik masal di dapur. Aku duduk dengan menghadapnya. Begitu manis. Tapi lagi-lagi aku jadi teringat Aditya.
"Aku bantu ya?" kataku menawarkan bantuan.
"Tidak usah, kamu sama Clarisa saja. Lagi pula ini sudah selesai tinggal memindahkannya ke piring," jawabnya.
Aku melihatnya membawa dua piring nasi goreng dan meletakkan satu di hadapanku. Aku tersenyum padanya.
"Selamat makan," katanya.
"Selamat makan," timpasku.
Mengambil sesendok lalu menyuapkannya ke dalam mulutku. Rasanya sungguh enak. Rasanya seperti dia, oh tidak. Ini nasi goreng lebih enak dari yang pernah aku makan. Masakanku saja kalah.
"Bagaimana masakanku?" tanyanya.
"The best!" kataku sambil mengacungkan jempol. "Enak banget, kalah masakku juga, ha-ha. Eh, tapi kenapa bu Tarmi tidak datang?"
"Dia bekerja di rumahku. Di sana ada keluargaku, jadi aku menugaskan dia di sana. Ini tempatku jika aku ingin menyendiri. Meskipun tetap bising tidak seperti di perkampungan yang damai dan sejuk."
"Wah, pasti pemandangannya sangat indah," kataku lalu menyuapkan sesendok nasi goreng.
"Kamu ingin melihat pemandangan sana?"
Aku mengangguk dengan cepat. Jarang-jarang aku main ke kampung yang masih banyak pepohonan dan persawahan.
Selesai makan, Yudha menelepon asistennya untuk menunda pertemuannya hari ini. Aku tidak menyangka dia bersedia menghabiskan waktu bersamaku. Bersama janda anak satu.
"Baiklah, kalau begitu katakan padanya untuk bertemu di luar saja. Dan tolong reservasi restoran Aha jam sebelas nanti," kata Yudha lalu menutup teleponnya. "Ayo kita bersiap sekarang," katanya padaku.
Aku hanya mengangguk mendengar ajakannya. Aku lebih banyak mengambil barang-barang untuk keperluan Clarisa dibandingkan aku. Tasku dibawakan olehnya.
"Loh, kok kamu enggak bawa apa-apa?" tanyaku ketika tasku diambil olehnya.
"Di sana kan rumahku, jelas aku tidak perlu membawa apa-apa."
"Hebat sekali ya kamu bisa membeli banyak rumah."
"Iya, sayangnya belum ada yang bisa mengisi rumahku."
"Carilah istri supaya kamu tidak kesepian."
"Sudah ada kamu untuk apa cari yang lain?"
"Ha-ha. Sejak kapan kamu menggombal seperti itu? Jangan mau sama aku yang sudah memiliki anak ini, masih banyak wanita lain yang ingin denganmu."
"Semua ingin deganku karena melihat status sosialku yang tinggi."
Benar juga. Sherlin saja sampai tergila-gila pada Aditya karena Aditya kaya raya. Sudahlah aku tidak mau memikirkannya lagi.
Tidak terasa, percakapan kami berlanjut hingga sampai di depan mobil. Tas yang sedari tadi dibawa oleh Yudha, diambil oleh Surya lalu memasukkannya ke bagasi. Mobil pun melaju.
"Sebelumnya, maaf jika aku tidak sopan," katanya membuatku mengalihkan pandanganku padanya. "Sebelumnya kamu bekerja apa?"
"Dulu aku bekerja sebagai karyawan di kafe. Lalu karena merasa dana sudah terkumpul aku beralih profesi. Membuat komik lumayan sih, makanya aku ajak teman yang paham gambar juga, jadi hasilnya dibagi dua. Cukup sih untukku sendiri karena memang aku masih tinggal sendiri saat itu."
"Hebat ya kamu."
"Terima kasih."
Tidak terasa sudah pukul setengah sebelas siang. Kami sudah sampai di restoran yang Yudha sebut tadi. Aku menolak untuk ikut bersamanya karena dia harus bekerja. Tetapi Yudha mengajakku untuk menemaninya dan tidak keberatan jika aku hadir diacara pertemuan kantor itu. Aku menyetujuinya karena Yudha bilang koleganya itu hanya seorang. Aku mengekorinya sambil menggendong Clarisa. Kami pun sampai di meja yang sudah di reservasi tadi.
"Kamu tidak merasa berat menggendongnya sedari tadi?" tanya Yudha.
"Ya, aku nikmati saja. Toh nanti anakku tidak bisa aku gendong seperti ini," jawabku.
Beberapa menit kemudian koleganya datang bersama sekretarisnya. Dia melihat ke arahku.
"Istrimu? Cantik sekali. Tetapi kapan kamu menikah tiba-tiba sudah memiliki anak," katanya begitu sudah bersalaman denganku.
"Aku temannya yang tidak sengaja bertemu, jika kehadiran saya mengganggu saya akan pindah ke meja yang lain," timpasku.
"Oh, aku kira kamu istrinya pak Yudha."
"Baik. Kita langsung saja ke inti, tidak perlu bertele-tele lagi," kata Yudha
Tak lama, makanan pun datang. Aku tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka. Dan datang di saat yang tidak tepat. Aku ingin buang air kecil.
"Maaf mengganggu, saya pergi ke toilet terlebih dulu," kataku memotong pembicaraan mereka.
"Berikan dia padaku," ujar Yudha.
"Tidak apa-apa, aku bisa ..."
"Aku tahu kamu akan kesusahan nanti, biar aku saja hanya sebentar kan?" katanya sambil mengambil Clarisa dari gendonganku.
Aku mengangguk lalu pergi meninggalkannya. Setelah selesai, aku bergegas kembali tetapi aku malah menabrak seseorang pramusaji. Aku meminta maaf, begitu juga dengannya. Ketika kembali, hanya ada Yudha yang tengah mengajak bicara dengan Clarisa.
"Bagaimana pertemuannya? Lancar?" tanyaku.
"Tentu saja," jawabnya.
Kami pun pergi. Melanjutkan perjalanan menuju tempat yang ingin aku kunjungi. Saat di jalan, aku seperti melihat Aditya menggunakan motorku. Tidak dia pasti orang lain. Motor itu kan tidak hanya satu. Aku kembali mengobrol dengan Yudha.
***
POV Aditya
Aku memberitahu kepada Bayu untuk mengundurkan rapat hari ini. Aku bergegas pergi menggunakan motor Kayla. Kali ini aku akan menemukannya. Aku tidak mau kehilangan dia lagi.
Tiba di kota U. Aku akan membawanya pulang. Datang ke salah satu restoran di kota tersebut. Mengedarkan pandanganku. Mencari sosok perempuan yang telah melahirkan anaknya.
"Ada yang bisa saya bantu, pak?" tanya seseorang pramusaji.
"Oh, ini," aku mengeluarkan ponselku lalu menunjukkan sebuah foto wanita menggendong bayi, yang tak lain foto Kayla dengan Clarisa. "Apa anda melihat mereka di sini?"
"Oh, mbak itu dari tadi pergi," katanya.
"Dengan seorang pria?"
"Iya."
Sial! Aku tertinggal. Aku ingin tahu siapa pria yang bersamanya itu. Tidak mungkin dia berselingkuh. Padahal setiap aku melihat ponselnya dulu aman dan tidak ada yang mencurigakan.
Aku melihat ada rekaman CCTV-nya di area parkir. Merogoh saku lalu mencari nomor Fikram. Kemudian aku menghubunginya.
"Di restoran yang kamu sebut ada rekaman CCTV-nya. Lihat nomor mobilnya dan ke jalur mana!" seruku begitu telepon diangkat olehnya.
"Baik. Tunggu sebentar" ujar Fikram.
Tidak membutuhkan waktu lama, dia membuka rekaman CCTV-nya dan memberitahu bahwa mereka pergi ke arah kanan yang entah ke mana sebab nomor mobilnya tidak begitu jelas. Aku mendekus kesal.. Lagi-lagi Kayla lolos.
"Oh, iya. Tentang mantan karyawanmu, kata anak buahku dia pergi keluar negeri. Tepatnya ke negeri angin," lanjut Fikram.
"Lalu? Ada lagi?"
"Sepertinya dia tahu sedang diincar. Dan itu jadi terlihat sangat jelas seperti menghindari sesuatu."
Sungguh aku ingin menginterogasi perempuan itu. Menyesal saat pengunduran dirinya yang tiba-tiba itu malah langsung disetujui. Dia harus segera ditangkap. Sebelum Fikram menutup teleponnya, dia memberitahu bahwa Bunga pergi bersama Agus yang tidak lain adalah pasangan.
Aku bergegas pergi menuju kantor SR Group. Aku yakin ini adalah ulah Raka karena dia juga menyukai istriku.