Clarisa menangis yang membuatku terbangun dari tidurku. Terkejut karena aku sedang berada di kamar. Aku langsung menenangkan Clarisa saja terlebih dahulu. Setelah Clarisa tertidur kembali, aku perlahan turun dari ranjang. Membuka pintu. Melenggangkan kaki menuju sofa tadi tempat aku tertidur. Mataku melebar dengan satu tangan menutup mulutku, melihat Yudha yang tertidur di lantai yang di alasi tikar. Tidak aku sangka dia yang memiliki banyak harta memilih tidur di luar. Yudha membalikkan badannya. Terlihat senyumnya meskipun ruangannya cukup redup.
"Ada apa?" tanya Yudha.
"Ti-tidak. Aku hanya ingin mengambil air minum," jawabku yang tergagap.
"Baiklah. Segera kembali ke kamar nanti anakmu menangis," ujar Yudha kemudian mengubah posisinya jadi duduk.
"Tapi kenapa kami tidak tidur di kamar saja, biar aku yang tidur di sini. Aku kan di sini hanya menginap. Bagaimana kalau bu Tarmi melihat majikannya yang tidur di lantai?"
"Dia sudah pergi tadi di antar oleh Agus. Tadinya aku akan pulang, hanya saja tidak ada yang menjagamu di sini."
"Eh, sebentar! Berarti tadi kamu Yud, yang menggendongku ke kamar?"
"Bukan," jawabnya singkat.
Dia berdiri lalu menghampiriku. Melihat pergerakannya, refleks kakiku mundur selangkah. Menelan saliva.
"Maaf aku tidak meminta izinmu untuk menggendongmu, aku tak tega melihatmu tertidur di sofa begitu lelap. Aku bersumpah aku tidak berbuat yang tidak-tidak!"
"Oh, iya. Terima kasih. Aku akan ke kamar dulu."
Aku berjalan dengan cepat masuk kamar. Menutup pintu. Kenapa aku tiba-tiba berdebar. Untung di sana gelap, dia pasti tidak melihat wajahku yang memerah kan? Gumamku yang masih menyandarkan punggungku pada pintu.
***
POV Aditya
Sungguh aku merasakan sakit hati lagi. Begitu sulit hubunganku dengannya. Apa kita tidak berjodoh? Tapi apa yang salah. Sudah seharian aku tidak bertemu dengan Kayla. Yang aku lakukan hanya menatap fotonya saja. Sekarang di rumahku maupun di rumah Kayla selalu terbayang akan hadirnya.
"Ke mana kamu, Kay? Aku sungguh tidak mau berpisah lagi denganmu," gumamku melihat fotonya bersama Clarisa.
Pintu diketuk. Aku menyuruhnya masuk.
"Maaf pak. Sudah pukul sembilan malam ..." ujar Bayu.
"Pulang saja. Masih ada pekerjaan sekarang," timpasku memotong perkataannya.
"Jika memerlukan sesuatu jangan sungkan hubungi saya. Saya akan segera datang."
Aku hanya berdeham menanggapinya. Aku kembali bekerja meskipun hari sudah larut malam, aku tetap tidak bisa pulang ke rumah dengan pekerjaan yang menumpuk ini. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Lagi-lagi aku begadang. Merasa pegal karena terlalu banyak duduk, aku pun memilih untuk merebahkan tubuhku di atas sofa. Seharusnya aku tidak terlalu percaya dengan wanita mana pun, karena pada dasarnya semua akan pergi meninggalkanku dengan massa yang sudah ditentukan.
Telepon berdering membangunkan tidurku. Ternyata itu ibu yang menelepon.
"Sudah pagi, bangun! Kamu pasti belum makan kan? Ibu akan membawakanmu makanan," kata ibu.
"Tidak perlu datang ke sini, bu. Aku akan mengirim Bayu ke sana dan tolong berikan aku setelan ganti padanya."
"Loh, kamu tidur di mana? Dari kemarin kamu menyuruh Bayu untuk mengambilkan pakaianmu terus."
"Sudahlah bu, aku lelah, aku tidak ingin berdebat atau mendengar ocehan siapa pun."
"Baiklah, ibu akan menyiapkannya."
Telepon pun terputus. Aku mengirimkan pesan pada Fikram. Menanyakan perkembangan tentang pencarian Kayla.
"Gila! Enggak bisa secepat itu! Anak buahku hanya ada seratus dan mereka sedang mencari di setiap kota, negara ini luas jangan khawatir pasti akan ketemu," isi balasan pesan Fikram.
Setelah membaca isi pesan itu, aku menghubungi Bayu untuk datang ke rumah ibu. Baru pukul lima pagi ternyata. Aku menghela napas lalu beranjak dari duduk melenggangkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku tidak bisa pulang ke rumah karena itu hanya akan membuatku sakit hati. Setelah selesai, ponselku kembali berdering. Terlihat nama Dika. Aku mengangkatnya.
"Maaf, bang. Aku sudah di depan rumah. Apa harus aku ke pasar dulu?" tanya Dika.
Aku hanya memberitahunya hari kemarin saja yang libur.
"Sudah ada siapa saja sekarang?"
"Aku bawa temanku, bang. Dia bisa masak juga ..."
"Carikan waiters dan kasir baru untuk membantu kalian karena sekarang aku tidak bisa membantu kalian," kataku.
"Loh, kak Vina?"
"Dia tidak akan bekerja lagi di sana. Dan saat kamu nanti akan menyetorkan penghasilan hari itu, tolong mampir dulu ke rumah Vina, jangan bilang padanya jika aku menyuruhmu,"
Aku menutup teleponnya. Duduk kembali di atas sofa. Terdengar suara pintu diketuk. Aku menyuruhnya untuk masuk. Bayu datang membawa pakaian ganti dengan bekal yang sudah ibu siapkan tadi. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Bayu tidak banyak bicara dan langsung pergi keluar. Mengganti baju lalu makan masakan yang sudah ibu siapkan.
Tidak terasa, sudah pukul tiga sore, Dika kembali menghubungiku. Aku menyuruhnya untuk datang saja ke kantorku lalu mengirimkan alamat padanya. Satu jam kemudian. Pintu kembali diketuk.
"Masuk!"
"Maaf, pak. Ada yang ingin bertemu dengan bapak ..."
"Siapa namanya?"
"Dika."
"Suruh dia masuk!"
Bayu mengangguk lalu pergi. Pintu diketuk kembali. Aku melihat ke arahnya. Terlihat Dika gugup begitu melihatku seperti ini. Tidak seramah saat aku di rumah. Aku menyuruhnya duduk di sofa. Aku beranjak dari tempat dudukku. Berpindah kursi dekat sofa.
"Ini hasil penjualan hari ini. Dan ini data pegawai baru," ujar Dika.
"Sudah bertemu dengan Vina?" tanyaku to the point.
"Oh, i-iya, bang. Eh, pak. Bang," sahutnya gugup. "Aku, eh, saya tadi ..."
"Bicara seperti biasa saja," kataku memotong pembicaraannya yang terlihat bingung. Dika mengangguk cepat.
"Aku tadi bertemu dengan kak Vina. Berbasa-basi menanyakannya kenapa tidak datang membantu hari ini. Dia menjawab sudah ada pekerjaan lain jadi tidak bisa ikut membantu. Lalu aku menanyakan kenapa abang sama istri abang tidak ada di rumah, dia bilang bang Adit dan juga kak Kay sudah pisah. Maaf aku menanyakan itu. Tapi dia juga cerita padaku dan memintaku untuk tidak mengatakannya padamu bang," kata Dika.
"Apa? Bicaralah! Aku akan membayarmu untuk itu," sahutku.
"Kak Vina cerita kalau dia mengantar kak Kay ke stasiun karena akan tinggal bersama kakaknya di kota T. Hanya itu kak Vina cerita, maka dari itu saya lama datangnya karena mengobrol dulu dengannya."
"Baiklah."
Aku mengambil cek dan menuliskan angka sepuluh juta untuknya. Dia sedang membutuhkan uang, makanya akan mudah membuatnya buka mulut. Memberikan cek itu kemudian dia pamit pergi. Aku langsung menelepon Fikram.
"Cari Kayla di rumah kak Tyas!" bentakku begitu diangkat teleponnya.
"Loh, ada apa? Bukankah kita sudah mengeceknya kemarin dan tidak ada di sana," jawab Fikram.
"Vina sendiri yang mengatakan itu! Dia tidak mungkin berbohong!"
"Baiklah!"
Fikram langsung memutuskan sambungan telepon. Mungkin dia menghubungi anak buahnya. Aku kembali duduk. Sungguh aku frustrasi dibuatnya.