webnovel

Sawo Untuk Nalini

"Permintaan apa itu, Kangmas? Katakan saja," sahut Putri Bintari. Mengetahui jika Arya Dhipa akan sering bertandang ke rumahnya, gadis itu senang bukan main. Ia berpikir akan memenuhi semua permintaannya yang lain.

"Iya, Pangeran. Sebutkan saja. Kami di sini akan menyiapkan keperluanmu," tambah Tabib Gentala. Jelas, sebagai orang tua yang memanjakan anaknya, ia akan selalu mendukung Putri Bintari.

"Tidak banyak, Paman. Aku hanya ingin ruangan kecil untuk aku mengajari tabib Nalini membaca. Sebenarnya dia sudah terlalu tua untuk belajar dari awal. Karena itu saya ingin mengajari dengan cepat." Arya Dhipa mengungkapkan keinginannya. Permintaan yang masuk akal dan tak aneh.

Tanpa curiga, Putri Bintari langsung menyetujui. "Tak usah khawatir kalau itu, Kangmas. Di sebelah ruangan obat ada kamar kecil yang biasa digunakan adik-adikku belajar. Gunakan saja tempat itu."

Arya Dhipa kembali mengucapkan terima kasih. Ia tersenyum ramah pada Putri Bintari, membuat hati gadis itu semakin berbunga-bunga.

Tak lama, empat emban terlihat masuk dan membawa bermacam menu makanan. Mereka lalu menatanya dengan rapi di atas meja.

"Silakan, Tuan. Santapannya sudah siap," ujar seorang emban. Kedua telapak tangannya ditangkupkan ke depan dada, wajahnya menunduk.

Tanpa berkata-kata, Tabib Gentala menyuruh mereka pergi dengan isyarat tangannya. Keempatnya kemudian beringsut mundur dan kembali ke dapur.

"Silakan, Pangeran. Kita makan dulu," ajak Tabib Gentala sembari menyodorkan sebuah piring dari tanah liat yang dilapisi daun pisang.

Arya Dhipa menerimanya tapi tak langsung menyendok makanan. Ia justru mempersilahkan Tabib Gentala dan Putri Bintari untuk mengambil makanan terlebih dahulu.

"Terima kasih, Paman. Tuan rumah yang memimpin, saya mengikuti saja," ujar Arya dengan nada bercanda.

Melihat Arya tak juga mengambil makanan, Tabib Gentala terpaksa memulai mengambil makanan. Putri Bintari mengikuti.

Arya Dhipa kemudian menyusul menyendok nasi beserta dengan lauk pauknya. Persis seperti apa yang diambil oleh Tabib Gentala. Nasi putih, urap kacang panjang dan semur ayam.

Ketiganya kemudian makan dengan lahap diselingi perbincangan seputar masalah di istana.

Selesai makan, Arya Dhipa segera berpamitan. Hari sudah semakin siang. Dia harus segera hadir di istana raja dan melapor.

Para emban datang lagi dan bermaksud membereskan sisa makanan.

Arya Dhipa teringat pada Nalini. Ia berpikir, gadis itu pasti tak sempat makan sebelum pergi tadi pagi.

"Bintari, apakah Kangmas boleh minta buah sawonya?" tanya Arya Dhipa tanpa malu-malu. Memang sejak kecil ia sudah terbiasa berada di rumah itu. Bahkan menganggap Bintari seperti adiknya sendiri.

"Kangmas mau sawo? Aku akan mengambilkannya," ucap Bintari dengan gembira. Gadis berwajah bulat telur itu menyuruh emban membungkuskan beberapa butir sawo yang paling matang dan manis.

"Ini Kangmas, bawa saja." Putri Bintari mengulurkan buah tangan itu. Senyum cerah dan bersemangat.

Arya Dhipa menerima dengan suka cita. Ia pun membalas senyuman Bintari dengan tulus. "Saya pamit pergi dulu. Terima kasih, Paman. Terima kasih, Bintari."

"Aku akan mengantar sampai ke regol," ujar Bintari. Ia seperti tak rela pemuda itu akan pergi meninggalkan rumahnya.

Namun, Arya buru-buru menolak. "Tidak usah, Bintari. Aku akan mengambil kudaku di halaman belakang dulu. Tak usah ikut, aku tahu kamu tak suka ke kandang kuda yang bau," cegah Arya.

Pemuda itu paham betul. Bintari sangat anti pergi ke tempat-tempat kotor dan bau. Salah satunya kandang kuda.

Bintari agak cemberut mendengarnya. Ia ingin berkata-kata lagi tapi Arya Dhipa kembali memainkan kata-katanya untuk menghibur. "Besok aku ke sini lagi. Jangan khawatir."

Seketika wajah Putri Bintari berseri-seri. Ia membayangkan pemuda idamannya itu akan datang lagi ke rumahnya esok hari. Terbersit keinginan untuk berdandan secantik mungkin saat menyambutnya nanti.

Arya Dhipa kemudian beranjak pergi meninggalkan rumah joglo. Benar saja, dia memang tidak berjalan melintasi halaman rumah, melainkan berbelok ke deretan bangunan di sebelah kiri.

Kandang kuda berada di bagian belakang. Arya Dhipa harus melintasi semua bangunan yang ada di sana untuk sampai ke tempat kudanya. Sambil berjalan, pemuda itu celingukan mencari-cari seseorang.

Tiba di bangunan paling ujung, Arya Dhipa menemukan Nalini yang sedang sibuk menjemur irisan kunyit di atas para-para.

Senyum Arya Dhipa mengembang. Kedua tangannya menyembunyikan buah sawo di belakang punggung. "Nalini!" serunya.

Nalini terkejut dan cepat menoleh pada Arya. Ia buru-buru menghaturkan sembah dan menunduk.

Arya Dhipa menarik nafas dengan jengkel. Ia sungguh ingin gadis itu memperlakukannya seperti orang biasa saja.

"Apakah kau tak bisa bersikap biasa saja padaku. Tak usah formal begitu, aku tak suka," ucap Arya dengan ketus. Wajahnya yang tadinya riang berubah masam.

"Ampun, Pangeran. Tak bisa begitu. Peraturan di sini sama dengan di Ndalem Kaputren. Saya harus menyembah para bangsawan," jawab Nalini dengan lancar. Mukanya masih menunduk, tak mau menatap.

Arya Dhipa mendengus kesal. "Sudahlah. Lupakan. Terserah kamu mau bagaimana. Ini, terima."

Nalini mengangkat kepalanya dan melihat Arya mengulurkan buah sawo. Buah manis itu diletakkan dalam keranjang kecil terbuat dari sayatan bilah bambu.

"Apa itu, Pangeran? Untuk saya?" tanya Nalini seolah tak percaya. Ia masih tak mengerti dengan perubahan sikap Arya yang dirasa selalu aneh baginya.

"Iya, untuk kamu. Memangnya ada orang lain di sini?" ucap Arya seraya terus mengacungkan buah sawo.

Nalini menerimanya dengan ragu-ragu. Hatinya gembira menerima perhatian dari Arya sekaligus takut dengan perasaannya sendiri yang mulai aneh.

"Aku tahu kamu belum makan. Aku bawakan buah biar kamu tidak kelaparan," ujar Arya. Wajahnya kembali ramah dan suaranya melunak. Senyum pun kembali terukir.

"Terima kasih, Pangeran. Aku memang belum makan," ucap Nalini lirih dan malu-malu. Gadis itu kembali menunduk dan menyembunyikan senyumnya.

Arya Dhipa melihat pemandangan itu dengan bahagia. Ia merasa menjadi lelaki berguna saat dapat memberikan apa yang diperlukan Nalini. Arya tertegun sejenak. Ternyata sedalam itu rasanya.

"Nalini, baik-baiklah di tempat ini. Besok aku akan kembali lagi," pesan Arya Dhipa sejurus kemudian. Dalam hati ia enggan meninggalkan Nalini tapi tugas sudah menunggunya.

"Baik, Pangeran. Terima kasih. Selamat jalan," ucap Nalini seraya melambaikan tangan. Senyumnya yang lembut merekah indah.

Jantung Arya Dhipa serasa mau lepas melihat senyuman semanis itu. Kepalanya mendongak. Dilihatnya langit di atas mereka seperti berubah menjadi berwarna warni. Indah sekali.

Pemuda berambut ikal itu susah payah menahan perasaan yang membuncah.

Arya Dhipa kemudian berbalik arah sambil menuntun kudanya. "Sepertinya aku menyukaimu," gumamnya setelah agak jauh.

Nalini masih mendengar Arya Dhipa menggumam samar, ia mengira ucapan itu untuknya. "Kenapa, Pangeran?" seru Nalini pada Arya yang sudah berada di pintu regol.

Arya Dhipa menengok ke belakang. "Buah sawo itu manis, kau pasti akan menyukainya."

Nalini tersenyum mendengarnya. Digenggamnya erat buah pemberian Arya Dhipa. Gadis dusun itupun berkata lirih. "Aku akan menunggumu besok ...."