webnovel

Roro Ajeng Larasati

Larasati tersenyum dari balik pintu kamarnya. Ia melihat Yang Mulia Raja Artha Pura sudah pergi meninggalkan kamarnya. Di hadapannya, seorang dayang wanita berlutut memohon ampun sambil menangis,

"Roro Ajeng Larasati, hamba mohon. Jagan lakukan ini pada hamba" rengeknya. Bagaikan suara angin, suara dayang wanita itu tak ia hiraukan sama sekali.

"Yang Mulia akan membunuh saya jika saya melakukan hal ini, Kumohon Roro Ajeng. Ampuni nyawa saya."

Larasati berdiri, ia mengambil minuman dan menaruhnya pada sebuah nampan.

"Antarkan ini dan pastikan wanita asing itu meminumnya. Jangan pernah kembali, sebelum ia meminumnya. Apa begitu sulit menuruti perintahku! Kau tahu siapa aku kan?"

"Roro Ajeng Larasati, hamba mengerti dan paham. Tapi, hamba tidak ingin membunuh siapapun. Terlebih, wanita yang anda maksud adalah calon Selir Yang Mulia Raja. Jika sampai ketahuan hamba akan dibunuh. Hamba takut Roro Ajeng."

Larasati menghela nafas dan berbaring ke tempat tidurnya.

"Jika, kau tak mau melakukannya, aku yang akan membunuhmu dan semua keluargamu. Kau boleh memilihnya."

Larasati menutup mata dan berpura-pura tidur. Dayang di hadapannya terlihat bingung. Tak ingin mengambil resiko, ia berdiri dan mengambil minuman yang telah bercampur dengan racun. Ia segera keluar. Ia sudah membulatkan tekadnya.

Ia membawa minuman itu masuk, Siane terkejut saat melihat wanita itu masuk.

"Yang Mulia, saya membawakan minuman hangat untuk anda" kata wanita itu.

Siane terkejut, ia tiba-tiba bisa mengerti bahasa yang bahkan belum pernaha ia sadari. Apa ini juga efek dari kutukan yang melekat padanya?

"Yang Mulia, ini adalah minuman untuk membuat anda merasa jauh lebih baik. Hamba tahu, ini bukan minuman yang biasa anda minum. Tapi, di tempat kami, orang sangat menyukai minuman ini. Bahkan Yang Mulia Raja pun menyukainya."

Siane tersenyum dan meminta dayang itu mengangkat kepalanya.

"Siapa namamu?" tanya Siane.

"Nama saya….nama saya" jawab dayang itu. Ia sedikit gemetar. "Aninda jawabnya lagi."

"Aku hanya menanyakan namamu, kau tak perlu ketakutan seperti itu." Kata Siane terus memperthatikan wajahnya. "Letakkan saja di meja, aku akan meminumnya. Dan terima kasih"

Aninda, mematung seolah tak bisa bergerak. Ia berfikir keras. Larasati mengingatkan agar dirinya memastikan sang putri meminum dan tidak pergi sebelum misi itu berhasil.

"Ada apa lagi Aninda?" tanya Siane dengan lembut. Itu membuat dayang yang ada di depannya semakin takut.

"Yang Mulia, hamba tidak akan pergi sebelum anda meminumnya. Adalah tugas hamba memastikan Yang Mulia mendapatkan makanan dan minuman yang cukup. Anda akan menjadi Selir. Hamba tidak ingin mendapat masalah dari Yang Mulia Raja"

Siane mengerti sekarang, ia mengambil minuman dan langsung menghabiskannya. Dayang itu terkejut dengan tindakan sang putri. Ia tampak seperti wanita bangsawan yang baik. Bukan orang jahat. Apa ia melakukan kesalahan?

~Bagaimana jika wanita ini benar-benar mati?~ Batinnya.

"Yang Mulia," kata Aninda. Sementara Siane kembali ke tempat tidurnya.

"Kenapa?"

"Tidak" jawab dayang itu lirih.

Mereka berdua hening beberpa saat. Aninda melamun dan Siane memperhatikannya.

"Mau sampai kapan kau di sini?"

Aninda terkejut. Ia tak tahu harus berbuat apa.

"Tenanglah, bawa mangkuk itu keluar dan tunjukkan kepada tuanmu. Aku telah menghabiskannya. Kau bisa tenang, dia tidak akan membunuhmu."

Deg, dayang dihadapannya terkejut. Ia tak mengira, orang yang ia racun mengatakan hal itu. Ia merasa hidupnya telah hancur. Ia telah ketahuan. Tapi mengapa? Ia tetap meminumnya.

"Keluarlah, jangan takut. Aku tak akan membunuhmu. Masalah racun ini bekerja padaku atau tidak, biar waktu yang menjawab."

Aninda berlutut dan menagis.

"Jangan menangis, orang sepertimu biasa hanya akan menjadi tumbal. Pergilah"

"Yang Mulia, terima kasih. Terima kasih" katanya sambil memberi hormat. Ia segera bangkit dan menghapus air matanya. Ia mengambil mangkuk dan nampan yang ada di meja. Ia segera keluar.

Di kamar Larasati, dayang itu menunjukkan mangkuk yang sudah kosong. Larasati tersenyum dengan bahagia.

"Bagus, kau boleh pergi." Kata Larasati pada Aninda. Ia merasa cemas dan takut. Ia segera pergi dan tidak mendekati kamar-kamar para petinggi agar tak kena masalah.

Satu jam berlalu. Larasati bangkit dan membawa beberapa orang. Ia mendekati kamar Yang Mulia Raja. Ia mulai menjalankan rencananya.

~Lampu telah padam, ini sesuai rencana. Aku kan menyeret mayat wanita ini dan membuangnya ke laut.~ batin Larasati.

Ia mengendap-endap. Dan membuka kamar itu. Ia mendekati sesosok yang sedang meringkuk di balik selimut. Ia membukanya.

"Kosong?" teriaknya.

"Oh, ternyata Anda yang ingin membunuh saya?" kata Siane yang muncul, dari tadi ia bersembunyi.

Larasati menoleh dan langsung meyalahkan penjaga.

"Ampun Roro Ajeng, saya benar-benar tak tahu bagimana ini terjadi. Ia sama sekali tidak keluar dari kamar ini. Hamba jamin"

Dengan tenang Siane menyalakan lampu.

"Tenanglah, aku hanya sedikit bersembunyi. Ternyata dugaanku benar, tubuhku diracun. Entah ini sudah racun keberapa yang akau minum. Tapi maaf, racun seperti ini tidak akan bisa membunuhku."

Larasati geram dan menghunuskan pedang mengancam.

"Budak wanita, diam dan jangan ikut campur. Wanita sepertimu tidak pantas menjadi selir. Kau adalah wanita yang menjijikan."

"Apa kau pantas?" tantang Siane."Kau menyuruh orang lain untuk meracuniku. Kau bahkan tidak lebih baik dariku. Meminjam tangan orang lain untuk membunuh."

Tanpa basa-basi, Larasati menyuruh semua orang yang ia bawa menangkapnya.

"Buka jendela, mari kita lihat apakah Tuan Putri bisa berenang di laut lepas."

Dua orang menangkap Siane dan satu lagi membuka jendela. Angin terasa sangat dingin. Meskipun tenang, laut tetaplah laut.

"Buang!" perintah Larasati.

Dua orang itu mengangkat tubuh Siane dan..

"Tidak disangka, benar-benar terbukti kau bersekongkol dengan kekasihmu untuk membunuh selirku!"

Larasati menoleh. Ia melihat kekasihnya menjadi sandera. Raja menghunuskan pedang tepat di leher Lintang.

"Jika kau membuangnya, aku akan membunuh Laksamana muda dan semua orang yang ada di sini. mengingat, kalian bersekongkol membunuh. Hari ini kau ingin membunuh selir, siapa tahu kau ingin membunuhku."

Larasati kebingungan, ia melihat seorang dayang ketakutan dan bersembunyi.

"Aninda, kau berkhinat!" teriak Larasati.

"Ampun Roro Ajeng, hamba hanya tidak ingin ada yang meninggal karena hamba."

Larasati benar-benar kesal. Semantara dua orang kaki tanganya, perlahan menurunkan tubuh Siane. Mereka berdua ketakutan.

"Bodoh! Apa kau ingin aku mati juga?" kata Laksamana Lintang.

"Bodoh!? Kaulah yang menyuruku membunuh waniita ini!"

Melihat keduanya berargumen, Raja menyela.

"Kalian bisa menghabiskan waktu bersama mendiskuisikan ini di penjara. Jangan takut, setelah tiba di istana pun kalian akan memiliki banyak waktu."

"Apa maksudmu? Kau akan memenjarakanku? Kau lupa, aku adalah adik dari Yang Mulia Permaisuri."

Lintang memprovokasi Raja, itu membuat posisinya semakin tidak baik.

"Maka kau lupa, akau adalah Raja. Tidak ada yang bisa menentangku. Permaisuri sekalipun. Tahan mereka. Siapapun yang berusaha membebaskan mereka, kalian boleh membuangnya ke laut."