webnovel

Nama Raja Tawang

"Apa? Itu tidak mungkin Yang Mulia" jawab Rendra mendadak. "Siane adalah tawananku. Apa yang akan rakyat katakan jika ayah membawanya"

"Aku adalah Raja yang memberikan keadilan bagi siapapun. Bahkan kau lihat sendiri, aku menghukum tanpa padang bulu. Dalam hal ini, wanita yang kau sebut tawanan itu adalah sumber dari masalah ini. Jadi, aku akan membawanya."

"Ha ha ha ha. Setidaknya tidak ada yang bahagia di sini kata Narawati yang baru saja kehilangan gelarnya."

Siane yang mendengar hal itu tak tahu harus berkata apa. Ming dan Aninda tampak gemetar.

"Apa ini begitu menakutkan?" tanya Siane yang digiring keluar.

"Yang Mulia, kita akan mati. Raja tawang adalah orang yang suka menyiksa orang lain. Bahkan, kau lihat sendiri. Anaknya saja ia hukum hari ini. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih kejam darinya" bisik Aninda yang berjalan di samping Siane.

"Habisalah kita. Keluar dari mulut singa masuk mulut buaya. Bahkan, kita tidak bisa mengemasi barang-barng kita. Kita adalah tawanan."

"Sudalah, aku juga tak membutuhkan semua itu" kata Siane mencoba membuat Aninda dan Ming tenang.

Tiba di luar istana, seseorang sudah menanti.

"Andakah tawanan baru raja kami?" tanya orang itu.

"Benar"

"Perkenalkan Yang Mulia, hamba Ronggo Joyo. Hamba yang akan bertanggung jawab terhadap anda"

Ronggo melihat ke arah Ming dan Aninda. Melihat tatapan Ronggo, Siane menjelaskan siapa Aninda dan Ming.

"Begitu? Baiklah mereka bisa ikut"

"Terima kasih" jawab Siane.

Segera setelah itu. Ming diberi sebuah kuda. Siane menaiki kereta kencana bersama Aninda. Tak lama, Ronggo memberitahukan bahwa mereka akan segera berangkat.

"Kita akan ada di barisan tengah. Yang terdepan adalah para pengawal dan Yang Mulia Raja Tawang ada di belakang barisan ini. Jika Anda membutuhkan sesuatu silakan sampaikan padaku"

"Aku mengerti terima kasih"

Iring-ringan Raja Tawang pun segera berjalan. Rendra yang melihat ini merasa ada yang tidak benar.

"Yang Mulia, apa Yang Mulia tidak menginginkan saya menjadi Permaisuri?" kata Kartika melihat kecemasan di hati Rendra.

"Kartika, kau adalah orang yan dipilih langsung oleh Raja Tawang. Aku yakin, kau orang yan tepat. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak senang"

Kartika yang baru saja menjadi selir merasa tidak enak hati mendengar jawaban Yang Mulia Raja. Ia pun memberanikan diri kembali bertanya.

"Apa ini karena Selir Siane? Jika Yang Mulia mau Hamba akan mencoba untuk membujuk Yang Mulia Raja Tawang. Kita akan tunggu sampai kemarahan beliau reda sehingga, kita bisa membawanya kembali. Aku berjanji tidak akan memisahkan kalian berdua."

Rendra yang mendengar hal itu tidak bicara. Ia langsung pergi begitu saja.

Kartika terdiam dan seorang pelayan mendekatinya.

"Ini tidak baik Yang Mulia Selir, meski anda adalah permaisuri, hati baginda tidak ada pada Anda"

Kartika tertawa kecil.

"Menjadi permaisuri dan menjadi kekasih adalah dua hal yang berbeda. Kelak tolong jaga ucapanmu, Marinem. Jika tidak, aku tak kan bertanggung jawab, jika ada yang mengadukanmu karena hal ini"

Marinem langsung berlutut dan meminta maaf.

"Sudahlah, aku dari awal memang tidak tertarik dengan Rendra. Aku hanya tertarik pada posisi ini. Tidak masalah ke mana hatinya pergi. Yang penting akulah Permaisuri"

Di perjalanan, semua orang yang melihat iring-irngan Raja memberi hormat dengan berlutut. Perjalanan ini akan memakan waktu satu hari. Mereka berangkat malam ini, maka kemungkinan besar mereka akan tiba besuk malam.

"Yang Mulia" suara Ronggo dari luar kereta. Ronggo mengendarai kusa tepat beriringan dengan kereta yang membawa Siane. Sementara Ming ada di sisi lain dari kereta.

"Ya, ada apa Panglima?" tanya Siane.

"Yang Mulia Raja Tawang memintaku untuk memastikan anda bisa beristirahat dengan baik. Sepanjang perjalanan, hamba melihat Yang Mulia tidak tidur sama sekali. Apa hamba perlu mencarikan penginapan?"

Siane yang mendengar itu terkejut. Penginapan? Apa seorang tawanan harus mendapat perlakuan seperti itu.

"Aku seorang tawanan, aku tidak pantas menerima hal semacam itu"

"Baik, hamba mengerti. Akan hamba sampaikan pada Yang Mulia Raja Tawang"

Yang Mulia Raja Tawang yang mendengar laporan dari Ronggo merasa tidak senang. Selama ini, tidak ada yang bisa menolak kebaikan hatinya. Banyak orang yang berusaha mendapatkan apapun darinya. Sekarang, justru saat ia sedang berbaik hati malah ditolak mentah-mentah. Itu sangat membuatnya sakit hati.

"Yang Mulia, apa yang harus hamba katakan?" tanya Ronggo yang berjalan di samping kereta kencana Raja Tawang.

"Pindahkan dia ke sini." jawab Raja singkat.

Maka ronggo segera meminta pemimpin rombongan untuk berhenti.

"Apa, pindah? Itu tidak mungkin" kata Aninda mendengar Ronggo.

"Dayang, ini adalah perintah Raja. Aku takut, jika kita tidak mematuhinya Raja akan membunuh semua orang termasuk aku dan kau" bujuk Ronggo.

"Ini pasti jebakan Tuan Putri" bisik Aninda.

"Sudahlah, aku adalah tawanannya bukan? Aku akan turun dan menemuinya."

Siane pun memutuskan untuk turun dan berpindah ke kereta Kencana milik Raja Tawang. Sesaat setelah ia berpindah, perjalanan pun dilanjutkan. Aninda yang merasa khawatir akhirnya memutuskan untuk mengiring di samping kereta Baginda Raja. Sementara Ming berada tepat dibelakang kereta Raja bersama Ronggo.

"Apa, Yang Mulia akan membunuh Tuan Putri?" tanya Ming yang begitu khawatir.

Ronggo yang mendengar hal itu kaget. Ia tidak tahu dari mana datangnya pemikiran seperti itu.

"Kenapa bengong, Panglima mohon kau beri tahu aku. Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas keselamatan Tuan Putri sejak ia masih di istana kami. Jika sesuatu terjadi padanya, aku tidak tahu lagi harus bagaimana"

Ronggo yang mendengar ucapan Ming mencoba untuk memberitahu.

"Tenanglah, Yang Mulia Raja tidak akan membunuhnya. Jika ia ingin membunuh Tuan Putri anda, pasti ia sudah melakukannya dari sejak ia masih di dalam penjara."

"Lalu apa yang akan beliau lakukan di dalam sana?"

Di dalam kereta kencana Baginda Raja duduk berhadapan dengan Siane.

"Apa kau membenciku?"tanya Baginda padanya.

"Yang Mulia Baginda, mengapa hamba harus membenci Yang Mulia?"tanya Siane Balik.

"Aku menawanmu dan anakku memasukkanmu ke penjara. Tidakkah itu alasan yang cukup?"

Siane menggeleng.

"Hamba hanya membenci mereka yang patut dan layak dibenci"

Raja semakin tertarik dan penasaran.

"Apa kau membenci anakku? Narawati?���

"Tidak, beliau yang membuat masalah pada saya sejak awal Baginda"

"Aku telah megurungnya" jawab Baginda. "Mengambil semua yang membuat ke aroganannya muncul. Apa kau sudah puas sekarang, Siane?"

Siane yang merasa ini sebuah jebakan, sebisa mungkin berusaha membuat Raja percaya bahwa ia tidak merasakan puas atau menang akan hal itu.

"Hamba tidak bermaksud menganggu siapapun, dendam pada siapapun. Sangat disayangkan, putri anda melakukan hal seperti itu. Jika nyawa saya, bisa ditukar dengan kebebasannya maka hamba bersedia"

"Kau memang orang yang baik. Hanya saja, kau salah berada di sisi Rendra" kata yang Mulia Raja yang tiba-tiba menarik tanga kanan Siane dan mencium punggung tangannya.

Siane yang terkejut tak mengira Raja yang terkenal kejam itu begitu lembut.

~Apa ini efek dari kutukan itu?~ Tanya Siane pada dirinya sendiri.

Ia ingat, kutukan itu mengatakan, ia kan terus dicintai dan diperbutkan hingga ia harus lari dari satu tempat ke tempat lain. Sebab, ia tidak akan bisa mati atau hidup bahagia dengan orang yang ia cintai.

"Mengapa kau begitu tegang?"tanya Yang Mulia Raja.

"Hamba Hanya merasa tidak pantas berada di sini, Baginda Raja Tawang"

~Tidak pantas?~ pikir Raja Tawang bingung.

~Jadi ia menolakku? Tidak ini tidak boleh dan tidak akan pernah terjadi. Aku adalah penahkluk kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, jika sampai aku tak bisa mendapatkan apa yang aku mau, maka orang lain juga tidak boleh mendapatkannya. Siane, kita lihat apa kau bisa menolakku setelah ini~

"Kau bisa memanggilku Waradana"