webnovel

My Bittersweet Marriage

Aarhus. Tempat yang asing di telinga Hessa. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk mengunjungi tempat itu. Namun, pernikahannya dengan Afnan membawa Hessa untuk hidup di sana. Meninggalkan keluarga, teman-teman, dan pekerjaan yang dicintainya di Indonesia. Seolah pernikahan belum cukup mengubah hidupnya, Hessa juga harus berdamai dengan lingkungan barunya. Tubuhnya tidak bisa beradaptasi. Bahkan dia didiagnosis terkena Seasonal Affective Disorder. Keinginannya untuk punya anak terpaksa ditunda. Di tempat baru itu, Hessa benar-benar menggantungkan hidupnya pada Afnan. Afnan yang tampak tak peduli dengan kondisi Hessa. Afnan yang hanya mau tinggal dan bekerja di Denmark, meneruskan hidupnya yang sempurna di sana. Kata orang, cinta harus berkorban. Tapi, mengapa hanya Hessa yang melakukannya? Apakah semua pengorbanannya sepadan dengan kebahagiaan yang pernah dijanjikan Afnan?

IkaVihara · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
10 Chs

SEPULUH

Marriage is not dating, it tests people to the extreme limits. Tidak akan mudah minta putus kalau ada ketidakcocokan di kemudian hari. Kalau saling mencintai masih bagus karena kata orang cinta akan mengikat mereka agar tetap bersama menghadapi semua tekanan. Masalahnya Afnan dan Hessa tidak saling cinta.

Hessa berbicara dengan ayahnya tadi malam, mencoba meminta pendapat dari sisi rasional, bukan menurutkan perasaan seperti kalau dia meminta pendapat ibunya.

"Kenapa tiba-tiba membicarakan menikah? Biasanya kamu menghindari?" Papanya tertawa kecil saat mereka duduk di kursi di teras belakang tadi malam.

"Papa jangan bilang Mama dulu. Afnan bilang ... dia ingin menikah sama Hessa." Hessa memberi tahu papanya.

"Lalu? Kamu mau?"

"Belum jawab. Gimana menurut papa?"

"Afnan? Dia laki-laki yang baik. Papa ngobrol dengannya saat dia ke sini sama ibunya dulu. Dia duduk diam di teras depan sebelum Papa menemuinya. Papa tanya kenapa dia nggak masuk dan ikut duduk dengan kalian di ruang makan. Dia bilang ... apa ya ... oh ... sebenarnya dia nggak ingin datang ke sini, karena Hessa nggak mau bertemu dengannya, tapi ibunya memaksa.

"Dia merasa nggak tepat berada di sana sementara kamu nggak ingin melihatnya. Papa rasa dia bukan laki-laki yang memaksakan kehendak. Afnan tidak memaksa kalau seseorang tidak mau menikah dengannya. Apa dia menekan kamu untuk memberi jawaban?"

Hessa menggelengkan kepalanya. Afnan bilang terserah Hessa, jawaban 'tidak' dari Hessa pun akan diterimanya.

"Kalau kamu mau menikah dengannya, dia akan menghormati keputusanmu, pilihanmu, nggak masalah kalau kamu nggak setuju dengannya dalam menentukan sesuatu. Keuntungannya juga, ibunya, wanita nomor satu dalam hidupnya, yang paling pertama dicintainya, menyukaimu. Juga adik perempuannya, fans nomor satunya, juga menyukaimu. Kalau kamu menikah dengan laki-laki lain, belum pasti ibunya suka padamu." Papanya memberi alasan yang sangat bagus untuk Hessa.

"Kalau kamu bersedia menikah dengannya, bicarakan tentang ... money, agreement on children … sebelum kalian menikah. Kebanyakan perceraian disebabkan oleh factor itu. Terutama masalah uang. Itu sensitif sekali, Hessa. Berapa banyak pasangan yang berpisah karena merasa suaminya nggak memberinya cukup uang. Padahal bisa jadi dialah yang nggak pandai mengaturnya. Boros di sana sini, menurutkan gaya hidupnya.

"Pernikahan kalian mungkin nggak mudah dijalani pada awalnya. Karena kalian baru kenal, mungkin beberapa tahun pertama masih akan penuh dengan pelajaran komunikasi, kompromi, penyesuaian diri. Tapi Papa yakin akhirnya kalian akan bahagia nanti, seperti Mama dan Papa. Tapi itu perlu waktu juga kesabaran. Yang banyak sekali."

"Tapi Afnan sudah bilang, Pa, kalau menikah dengannya harus pindah ke sana, ikut sama dia." Hessa menyampaikan satu keberatannya. Bagaimana mungkin Hessa bisa pergi jauh dari rumah dengan orang yang baru dikenalnya? Jauh dari siapa-siapa. Jauh dari keluarganya.

"Hessa nggak pernah kan jauh dari Papa dan Mama. Siapa yang nemenin Mama masak, mijitin Mama kalau Mama masuk angin. Siapa yang bikinin Papa kopi spesial kalau Hessa nggak ada?" Hessa melanjutkan.

"Hahahaha ... ya benar juga. Dulu waktu kecil kamu sering berdiri di depan pintu. Nunggu Papa pulang kerja. Rasanya capek Papa langsung hilang lihat kamu tersenyum. Padahal Papa dulu jarang bawain oleh-oleh, kalau nggak gajian. Tapi kamu nggak pernah marah sama Papa, malah seneng cuma dipangku Papa dan mendengarkan Papa cerita.

"Kamu memang anak Papa yang paling baik. Papa dan Mama selalu bisa mengandalkan kamu. Membayangkan tinggal jauh dari kamu juga sebenarnya Papa tidak pernah. Papa dan Mama akan senang saat tua ditemani Hessa.

"Tapi ada orang lain yang membutuhkanmu untuk bersama mereka. Anak-anakmu kelak. Mereka lebih membutuhkanmu. Mama dan Papa bisa tua dengan pengasuh atau di panti, tapi anak-anakmu nggak boleh. Masa depannya sangat panjang dan membutuhkanmu, ibunya, untuk menuju ke sana."

"Papa…."

"Ya?"

"Hessa sayang Papa." Hessa merasakan suaranya tersekat di tenggorokan. Selama ada papanya, Hessa selalu merasa hidupnya aman. Tidak akan ada yang bisa menyakitinya.

"Papa tahu, Hessa." Papanya tersenyum menenangkan.

"Hessa sayang banget sama Papa." Hessa merasakan air matanya mengalir.

Betapa banyak yang sudah dilakukan kedua orangtuanya untuknya. Ayahnya yang bekerja keras untuknya, pulang malam dan mencari banyak narasumber agar Hessa dan adiknya bisa hidup dengan layak. Ibunya yang selalu memastikan Hessa dan adiknya sudah kenyang dulu baru makan. Urusan ini sederhana tapi tidak pernah disadari Hessa. Hessa hanya menambah beban pikiran mamanya dengan tidak juga mau menikah. Seharusnya Hessa menikah lalu adiknya bisa segera mengiyakan lamaran pacarnya. Mama dan papanya akan menjalani hidup dengan tenang karena telah memercayakan tanggung jawab atas putri-putrinya kepada laki-laki yang mereka percaya.

"Papa ... Afnan...." Hessa berusaha membawa pembicaraan ke arah yang benar.

"Di antara semua teman laki-lakimu yang pernah datang ke rumah, Papa kira Papa bisa percaya padanya. Tapi tentu saja pertimbangan utama adalah hatimu. Kalau kamu merasa berat, nggak usah dipaksakan." Papanya menjawab.

"Apa Hessa harus hidup bersama dia di ... Aarhus?"

"Itu akan jadi pengalaman yang menyenangkan, bukan? Kamu akan melihat luasnya dunia ini, meninggalkan hidupmu yang selama ini cuma berputar di kota ini."

"Tapi, Pa, Hessa nggak kenal dia, kalau dia jahat, Hessa harus lari ke mana?"

"Papa yang akan menjemputmu ke sana. Tentu saja akan Papa patahkan kakinya lebih dulu. Tapi dia tidak akan melakukannya. Papa percaya. Ibu kalian bersahabat dan dia selalu bersikap baik pada ibunya, dia tidak akan merusak persahabatan ibunya dengan ibumu."

"Kami nggak saling cinta." Hessa menggumam agak keras.

"Hmmm ... benar. Papa nggak pernah berada dalam posisi itu. Papa dan Mama saling mencintai saat memutuskan menikah. Tapi ... Nenek dulu menikah dengan Kakek karena dijodohkan. Nenek pernah cerita bahwa dia kabur sebelum hari pernikahan, tapi tertangkap juga. Nenek nggak suka dengan Kakek dan mengeluh terus hampir sepanjang hidupnya.

"Saat kakek meninggal, kamu sudah besar waktu itu, kita lihat Nenek yang berbeda. Tidak semangat lagi, sering memeluk sarung kakek ... kita tahu itu adalah cinta. Apa pun pengertiannya."

"Jangan terlalu lama memberi jawaban, Hessa, agar Afnan nggak lama menyia-nyiakan waktunya."

Tidak ada yang lebih memberatkan Hessa daripada memikirkan meninggalkan negara ini. Who made this rule that a girl have to leave her house after marriage?

"Hessa!"

Hessa membuka mata mendengar ibunya berteriak memanggilanya. Kemudian Hessa berdiri dan berjalan keluar kamar.

(Bersambung)

Kalau kamu ingin membaca cerita ini dengan lebih cepat--sudah tamat--cerita ini sudah tersedia dengan judul My Bittersweet Marriage karya Ika Vihara. Bisa dibaca melalui aplikasi ipusnas(tanpa biaya), Gramedia Digital(Fiction Package Empat Puluh Lima RIbu bisa baca banyak judul novel selama sebulan), Google Play, dan toko buku baik online maupun offline. Kenalan yuk? Temui aku di Instagram/Twitter/FB/TikTok/Wattpad ikavihara