Esok pagi telah tiba. Edzhar membuka pintu kamar dan melihat calon istrinya masih tertidur. Dia memaklumi. Tadi malam Sherin sulit memejamkan mata. Ingin membangunkan, namun laki-laki tersebut tidak tega.
Edzhar duduk melantai di samping tempat tempat tidur. Dia memerhatikan wajah Sherin yang kebetulan tidur dengan posisi telapak tangan disatukan dan menjadi tumpuan kepalanya.
"Kasihan sekali kamu." Ed merapikan anak rambut Sherin yang mengganggu di wajah.
"Ugh!" Sherin menggeliat. Dia merasakan sentuhan di wajahnya. Perlahan dia membuka kelopak mata. Pandangan pertama yang dia lihat adalah ketampanan Edzhar. Apalagi laki-laki itu sudah mandi dan wangi.
"Kamu mau sarapan di kamar atau di luar. Tadi staff hotel sudah mengantarkan sarapan," tanya Ed penuh perhatian.
"Aku mau sarapan di luar saja." Sherin menyingkap selimut dan bangun. Di meja makan sudah terhidang nasi goreng yang dibalut dengan telur dadar.
"Sarapannya ini?" tanya Sherin. Sherin sangat menyukai makanan tersebut Sewaktu kecil almarhum ibunya sering membuat itu untuk bekal ke sekolah.
"Hmmm. Aku sengaja membuatnya untukmu. Bukan staff hotel yang mengantarnya. Aku yang turun ke dapur. Suasana hati kamu lagi kacau, kan? semoga makanan ini bisa menjadi penyemangat."
Sherin menatap Edzhar dengan mata berkaca-kaca. Selama ini dia menyibukkan diri untuk membenci pria yang sedang duduk berhadapan dengannya.
"Kamu nggak benci sama aku?" pertanyaan Sherin mengusik Edzhar.
"Untuk apa aku membencimu? Kamu nggak pernah berbuat salah padaku."
"Tapi…."
"Makanlah! Nanti keburu dingin. Kita harus ke rumah sakit setelah ini." Ed langsung memotong ucapan Sherin. Dia tahu wanita itu akan mengatakan hal-hal yang tidak enak untuk diingat. Edzhar sangat tahu alasan kenapa Sherin membenci dirinya.
***
Sherin memeluk tubuh Lynch. Wanita itu tidak mau melepaskan. Sangat takut kehilangan sang ayah. Ibu dan kakak kandungnya sudah meninggal. Hanya Lynch yang dia miliki sekarang.
"She, kalau kamu peluk Papa terus, bagaimana dia mau makan?" ledek Edzhar sambil tersenyum. Rasanya begitu senang melihat Sherin seperti itu.
Sherin melihat makanan yang ada di tangan Edzhar. "Biar aku saja yang menyuapi Papa. Kamu duduk saja!" Sherin mengulurkan tangan, siap menerima makanan dari calon suaminya.
"Baiklah. Kamu suapi Papa saja."
Edzhar menyaksikan Sherin begitu telaten menyuapi Lynch. Hati Ed bahagia. Selama ini papa angkatnya merindukan perhatian dari Sherin.
"Aku akan membelikan minuman hangat untuk kamu. Tunggu di sini ya!" Ed berpamitan pada Sherin. Hal itu tidak lepas dari perhatian Lynch. Sherin pun menjadi salah tingkah. Sejak kemarin dia merasakan getaran aneh di hati setiap kali menerima perlakuan hangat dari Edzhar.
"Cepatlah kembali!" sahut Sherin tanpa melihat.
15 menit setelah menghabiskan makanan, Edzhar dan suster masuk secara bersamaan. "Sudah waktunya makan obat, Tuan Lynch." Perawat mendekati pasien, sementara Edzhar memberikan teh ginseng hangat kepada Sherin.
"Minumlah! Ini akan membuat tubuhmu semakin fit. Kamu terlihat kelelahan," ujar Edzhar. Sherin menerima minuman tersebut. Tidak terlalu suka, namun dia berusaha untuk menghabiskannya.
"Hari ini Tuan Lynch sudah bisa pulang. Kondisinya sudah sangat membaik," terang suster membuat Sherin kesenangan dan reflek memeluk tubuh papanya. Dia berjanji dalam hati akan memberikan perhatian yang lebih lagi kepada Lynch.
"Aku nggak akan tinggal di kondominium lagi, Pa. Aku akan menemani Papa di rumah."
"Benarkah?" binar kebahagiaan tersirat di wajah Lynch. Selama lima tahun ini dia kesulitan membujuk anaknya pulang. Sekarang Sherin yang mengajukan diri.
"Aku rasa kondominium terlalu sempit untuk aku dan Edzhar. Kami butuh tempat yang lebih luas," sahut Sherin membuat dua pria di dekatnya terbahak. Bagaimana bisa Sherin berkata seperti itu di saat tempat tinggalnya sangat besar dan mewah.
"Papa senang mendengarnya. Setidaknya Papa nggak harus keluar rumah jika ingin mengunjungi cucu."
"Cucu?" ulang Sherin dan Edzhar serempak. Membuatnya saja belum terpikirkan. Sherin tidak akan mau disentuh sebelum dia dan ED saling mencintai.
"Iya cucu. Kalian tidak berniat menunda, kan? usia Papa sudah tua."
Sherin dan Edzhar bersila pandang. Memikirkan pernikahan saja sudah rumit. "Pa, anak itu titipan dari Tuhan. Kita nggak bisa mengatur kapan bisa memilikinnya. Yang paling penting sekarang, Papa sehat dan kita bisa pulang. Lusa aku dan Sherin sudah menikah. Perkara cucu, kita pikirkan nanti saja." Edzhar tidak mau berjanji. Selain hubungannya dengan Sherin yang masih rumit, dia juga harus menenangkan sang ayah. Kalimatnya sudah menjadi jawaban yang tepat.
"Papa minta maaf karena sudah pingsan." Lynch melihat Edzhar. "Kemarilah, Nak!" pria tersebut meminta Ed mendekat. "Papa sangat takut saat mendengar berita kecelakaan itu. Papa takut kehilangan kamu bukan karena Sherin. Dari awal Papa susah menyayangi kamu seperti anak sendiri. Papa bersyukur karena kamu ketinggalan pesawat. Itu cara Tuhan untuk menyelamatkan kamu dari maut."
"Iya Pa. Setidaknya Sherin nggak akan menjadi janda sebelum menikah," sahut Ed membuat dia dan Lynch tertawa bersama. Sementara Sherin bersedekap dada sambil menggerutu.
"Sejak tadi aku jadi bahan bercandaan terus!" sungut Sherin. Enggan melihat dua pria tersebut, dia melemparkan pandangan ke sembarang arah.
"Tolong bersabar, Ed! Kamu tahu sendiri kalau Sherin memang sangat manja dari dulu. Setidaknya Papa nggak akan menanggung beban sendirian. Sudah ada kamu yang akan menjadi korban karena kekesalannya," sambung Lynch membuat Sherin semakin kesal. Putrinya itu mengentakkan kaki dan meninggalkan ruangan.
"Dia marah, Pa." Ed tidak enak hati. Dia juga tidak tega melihat Sherin merajuk. Wanita itu sudah tertekan sejak kemarin. Dia harus memikirkan cara untuk menghibur calon istrinya.
"Kejarlah dia! Kemarahan Sherin nggak akan bertahan lama. Papa mau istirahat sebentar sebelum pulang."
"Iya Pa."
Edzhar keluar. Celingak celinguk mencari keberadaan Sherin, tetapi tak kunjung ditemukan juga. Edzhar merogoh ponsel dari saku dan menghubugi Sherin.
"Kamu di mana?" tanyanya lembut. "Aku akan ke sana sekarang. Jangan ke mana-mana lagi!" ucap Ed setelah Sherin memberitahu keberadaannya.
Edzhar berjalan cepat menuju taman rumah sakit. Ternyata ada acara di sana. Sekelompok pemuda dari gereja sedang melakukan amal dengan membagikan makanan sehat untuk para pasien. Sherin pun terlihat duduk di bangku taman sambil memerhatikan acara tersebut. Bibir wanita cantik itu tersenyum tipis. Selama ini dia sibuk menyenangkan diri sendiri dengan cara berfoya-foya. Sherin melupakan banyak kegiatan yang dulu sering dia lakukan bersama keluarga.
"Aku sudah terlalu jauh berjalan. Aku sibuk mengejar kesenangan sampai lupa bahwa di sekitarku banyak sekali yang membutuhkan pertolongan." Sherin berucap pelan, namun mendapatkan jawaban dari belakang.
"Kalau begitu, setelah kita pulang ke Jakarta, kita bisa mengunjungi salah satu tempat untuk berbagi dengan yang lain." Suara khas Edzhar menyapu indera telinga Sherin. Wanita itu langsung membalikkan badan dan terkesiap.
"Ed?! Sejak kapan kamu berada di belakangku?"
"Sejak kamu tersenyum saat melihat mereka." Ed berpindah dari belakang bangku. Dia duduk di samping calon istrinya. "Bagaimana? Apa kamu mau membuat acara ucapan syukuran di panti? Memang sih pernikahan kita bukan impian kamu. Tetapi, anggab saja kita berbagi karena Papa sudah sehat."
Sherin mengganggukan kepala. "Aku mau, Ed."
"Calon istriku ternyata masih baik," ucap Edzhar membuat Sherin merajuk lagi.
"Itu pujian atau sindiran?" kesalnya.